🍁 44 | Debaran yang Menyenangkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alessandra yang duduk di dekat pos satpam bersama dengan Cassandra yang berdiri bersandar pada dinding pos, si adik berdecak jahil saat melihat sosok gadis dai ujung parkiran datang dengan tas yang lebih mini, "Wuih, yang datangnya barengan sama pacar. Beda, dong sama kita yang datangnya dijemput supir. Aduh! Sakit, Vanie."

"Sembarangan banget ngomongnya, Evan sendiri yang mau jemputin. Ya sudah, daripada Kak Lian ngambek seharian karena gue bangunin paksa," balas Vanilla setelah berhasil memukul lengan kiri atas sahabatnya.

Cassandra diam-diam tersenyum mendengar Vanilla memanggil ketua kesiswaan mereka dengan nama panggilan manis.

"Trus, barang-barang lo kemana? Nggak mungkin lo cuma bawa tas kecil ini doang kan?" tanya Alessandra lagi, matanya memicing meminta penjelasan.

Vanilla tersenyum tipis, "Sama Evan. Katanya langsung dibawa ke bus."

"Bus yang mana? Bus yang akan kita tumpangi aja belum datang kecuali bus untuk anggota OSIS," kata Cassandra dengan dahi yang mengerut, tidak peduli dengan outer jaket yang diikat di pinggang terbang karena angin dingin jam enam itu.

"Ya, itu. Bus OSIS, gue nggak tahu juga kenapa gue bisa masuk ke sana. Katanya, kalian juga ikut masuk." Vanilla menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Dia hanya kebingungan menjawab pertanyaan tersebut. Karena, memang benar Revan yang menurunkan seluruh bawaannya dan langsung menyimpannya di bagasi bus khusus anak OSIS.

"Sudah, lo duduknya di sini. Miss Mina sama wali kelas lo sudah tahu tentang ini, barengan sama sahabat kembar lo."

Kalau Revan sudah bicara seperti itu, dia tidak bisa ngomong apa-apa lagi, kan? Lagipula, dia ditempatkan dimana saja tidak masalah selama bersama dua sahabatnya ini.

Maka itu, jadilah dia duduk di barisan tengah dengan Akarsana sebagai seat-mate-nya. Di seberangnya ada Kembar Andra, Ketos dan waketos pencar duduk di depan dan di belakang bagian kursi penumpang. Jason juga duduk di bagian depan. Vanilla juga sempat melihat Jihan dan Alvaro duduk di barisan paling belakang dan sudah mengacau di sana dengan bernyanyi tidak jelas. Marcus dan Chris duduk di depan mereka.

"Teman-teman, kita jalan sekarang," kata Revan setelah menghitung anggota bus tersebut. Dia juga mendapatkan informasi dari empat bus lainnya bahwa semuanya telah lengkap dan siap berangkat. Sebagai Ketua OSIS tentu dia memiliki seluruh ketua yang ditugaskan menjaga satu bus dengan seorang guru di sana.

Miss Mina tidak bisa ikut ke bus OSIS, meskipun dia adalah pembina mereka. Dia tetap merupakan seorang guru dan menjadi wali kelas sepuluh. Dan, ditugaskan ke bus lainnya selagi bus OSIS tidak ada guru yang menjaga.

"Lo pusing, nggak? Mau duduk di sini? Gue bisa tukaran sama lo," kata Akarsana yang memulai topik pembicaraan dengan Vanilla yang bagaikan baru saja keluar dari goa setelah puluhan tahun mendekam di sana.

"Oh? Nggak kok. Gue nggak pusing, nggak mual juga."

"Kalau mau muntah, ngomong ke gue. Ada plastik di sini," balas Akarsana lagi dan menjadi diam sesaat karena Vanilla sibuk melihat pemandangan kota dari jendela, meskipun dia tidak duduk di bagian dalam.

"Cih, sok perhatian." Alessandra berdecih diam-diam mengundang tatapan sinis dari Akarsana.

"Heh, yang di sana. Coba diam, sudah jadi penumpang gelap bukannya jaga sikap. Gue turunin juga lo di simpang ntar," kata bendahara tersebut sewot, dia sudah nyaris berdiri dari tempatnya kalau tidak ditahan oleh Vanilla sedangkan Cassandra tidak peduli dengan drama picisan memilih sibuk mengemil kripik kentang, mendengar lagu sambil melihat pemandangan luar.

Alessandra memiringkan posisi badannya, "Lo juga nggak perlu banyak gaya, sudah tahu Vanie ada yang punya."

"Gue tahu. Lo rasa kenapa gue tanya ke dia sebagai seat-mate?" tanya Akarsana yang membungkam bibir gadis yang menjadi teman sekelasnya sekaligus teman ributnya tiap bertemu seperti sekarang.

"Revan yang minta, dia bakalan sibuk. Jadi, dia minta ke gue untuk nemanin Vanie."

Sambungan kalimat dari Akarsana membuat Vanilla langsung bersandar di kursi penumpang, menutup seluruh wajahnya dengan outer yang sengaja dilepas untuk meredam malu.

Semoga tidak ada yang mendengar perkataan lancang Akarsana.

Lima bus sudah sampai ke lokasi, perjalanan selama dua jam itu cukup membuat sekujur tubuh penumpang kaku dan tidak sabar merenggangkan sendi-sendi mereka begitu keluar dari sini. Vanilla hendak turun dari bus setelah melihat sebagian besar sudah turun duluan termasuk Kembar Andra--Alessandra rewel untuk tidak sabar melihat pemandangan langsung--matanya bertemu dengan Revan yang juga sedang menunggu yang lain keluar.

Dia sempat bertukar tempat dengan Akarsana di tengah perjalanan tadi. Karena, Revan memanggil mereka untuk koordinasi lanjut sekalian brieving.

"Lo nggak apa-apa, kan? Mual gitu? Om ngasih tahu ke gue, saat perjalanan jauh ke Siantar lo mau muntah soalnya," kata Revan yang berjalan mendekat kearahnya.

"Nggak. Gue aman-aman aja. Kemarin itu karena ada bunga, gue kurang suka sama baunya. Omong-omong, keadaan bus ini seru banget," balas Vanilla yang menyampirkan outernya di lengan.

"Ah! Iya, nggak ada guru, sih. Makanya bisa gini. Tahun lalu juga ada Miss Mina, juga bisa asyik-asyikan."

"Jihan sama Hyung Woo yang bikin lawak. Bisa-bisanya Jihan mau-mau saja diajak goyang ngebor," sahutnya lagi dan diiringi dengan tawa kecil yang tidak disadarinya kalau Revan ikut tersenyum.

Vanilla yang sadar kalau hanya tinggal mereka di sini langsung berucap, "Eh? Gue turun duluan, ya."

Gadis itu sudah akan berbalik badan dan turun dari pintu belakang bus. Tangannya tercekal oleh genggaman erat, begitu wajahnya berbalik. Ada Revan yang melihatnya dengan teduh.

"Lo bangunin tendanya nanti dekat-dekat sama tim OSIS, ya. Kali ini agak berbahaya dari tahun lalu yang memang ngadainnya di villa. Kali ini beneran di tenda sama lapangan kosong, mana ada hutan lagi di belakang. Kalau lo butuh apa-apa, ngomong ke gue. Sama Akarsana terus Bang Marc," kata Revan lagi. Entah kenapa Vanilla bisa mendengar itu semua terasa melambat. "Gue sudah janji sama Om bakalan pulangin lo dengan keadaan yang sama gue jemput lo dari rumah tadi pagi, Vanie."

Tolong, kalau sekarang Vanilla berkata hatinya sedang bagaikan mengadakan pesta festival seperti ramainya di Disneyland yang dia lihat lima tahun silam, apakah wajar? Alasannya karena ucapan tulus dari ketua di depannya ini.

"Jangan minta tolong sama Rangga, nggak ada guna. Dia cuma mau modusin anak gadis orang. Jihan sama Alvaro bisa, deh, kalau minta tolong bantuin bangunin tenda, bekas anak pramuka mereka. Kalau sama Hyung Woo, selama lo bisa ngomong bahasa Inggris, semuanya bakalan lancar."

Sambungan kata dari Revan membuat Vanilla tertawa lepas. Tentu dia mungkin hanya akan merepotkan pemuda di depannya dan Akarsana. Mengingat hanya mereka berdua yang paling dekat dengannya. Ketua OSIS itu mengacak rambut Vanilla, menggandeng tangannya berjalan ke pintu belakan bus.

"Barang-barangnya lo ntar gue yang bawain. Sahabat lo tadi ke sana," kata Revan yang menunjuk ke sisi kanan setelah turun dari bus. Vanilla mengangguk, melepaskan tautan tangan mereka yang mendadak memberikan kehampaan berarti untuk keduanya.

Rasanya yang tadi itu nyaman. Meskipun harus bersembunyi melakukannya.

"Gue duluan. Bubay. Aless! Tungguin!" pekiknya yang berlari ke arah kedua sahabatnya yang sudah berdiri di lapangan kosong. Sedangkan, Revan ke arah sebaliknya untuk meminta Jason merapatkan barisan.

Tanpa keduanya tahu, seseorang di belakang bus melihat kejadian itu dan menggeram rendah melihat keduanya yang terlampau dekat.

Vanilla Fransisca Huang, awas lo.

To Be Continue

Hello, sekian lama bisa update lagi.

See ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro