🍁 49 | Pelakunya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Revan sesekali melihat ke belakang, berbekal senter dia terus memastikan kalau Vanilla berada di belakangnya itu tetap baik-baik saja. Meskipun, tautan tangan mereka belum terlepas sama sekali dari awal permainan sampai sekarang.

"Lo yakin jalannya di sini?" tanya Vanilla yang terlihat kehabisan napas. Kakinya sudah baik-baik saja dan antusias saat mendengar akan diadakan permainan setelah makan malam.

"Yakin. Kan gue yang buat jalannya," balas Revan yang membalikkan badannya, menarik lengan gadis tersebut kuat untuk membantunya melewati sebuah batang pohon yang tumbang di depan mereka. Lalu, kembali berjalan seperti biasa.

Vanilla tersenyum tipis, "Sepertinya ke arah sana." Sebelah tangannya yang bebas menunjuk ke kanan yang segera disetujui oleh Revan.

Mereka hanya perlu menemukan bendera yang dipasang di sekitar sini. Dalam artian lebih luas, dari base sampai ke hutan alam yang telah mereka batasi sebagai sarana permainan, diletakkan tiga bendera yang akan menentukan pemenang utamanya.
Sesekali terdengar suara jangkrik dengan sol sepatu mereka yang bergesekan dengan daun-daun yang gugur di tanah.

"Kalau dari sini ... berarti harusnya benderanya ada di sana. Evan! Itu benderanya!" kata Vanilla yang dengan semangat menepuk lengan atas pemuda di sampingnya. Tanpa sadar menarik tangan mereka untuk segera ke sana.

Revan mencabut bendera tersebut dan tersenyum tipis menyerahkannya kepada Vanilla, "Lo pegang saja. Kita balik, ya."
Gadis itu mengangguk lucu.

"Ayo, pulang. Mau jagung bakar."

"Oke. Jagung bakar." Revan mengulang kalimat Vanilla.

“Sama lo.”

“Heum?”

“Makannya sama lo.”

“Iya, makannya sama gue.”

Alessandra jengah melihat sosok pemuda di depannya ini yang melangkah bak tiada dosa, seenaknya memotong daun yang mengusik pemandangannya dan melompat ketika ada pohon tumbang di depan mereka.

"Jatuh lo, terluka masuk lobang, baru tahu lo," desis gadis tersebut yang cukup tertinggal di belakang teman ributnya ini. Ntah bagaimana ceritanya Jason membagi kelompoknya dengan Akarsana yang sudah berbalik melihatnya dengan tajam.

"Lo kenapa kek kura-kura, dah. Gercep, woi. Gue tinggal mampus lo, kesesat."

Perempuan itu mendengus, "Lo yang aneh. Pelan-pelan, kek. Lo kira gue mau gitu masuk hutan malam-malam gini kalau bukan dipaksa? Mending tadi gue balik tenda."

"Ya sudah, balik saja sekarang. Nggak perlu ribut kek gitu."

"Lo duluan yang ngajak ribut ya, anak setan."

"Sorry, gue anak manusia. Lo kali," balas Akarsana yang masih diam di posisinya sedangkan Alessandra berusaha melewati batang pohon tersebut untuk sejajar dengan pemuda itu.

Akarsana bukan dengan sengaja mencari perkara dengannya sekarang ini.

"Lo kenapa sih? Daritadi aneh banget," kata Alessandra yang akhirnya menyerah untuk menyimpan perkataannya sendiri. Delikannya tertuju penuh untuk pemuda itu. "Gue tahu lo nggak suka satu tim sama gue, ya, sama gue juga ogah, tapi gue nggak buta kalau lo marah-marah nggak jelas kayak gini karena masalah sepele itu," sambungnya lagi yang berhasil membuat Akarsana tertegun.

Ya, memang mereka adalah musuh bebuyutan official di kelas mereka. Asal ketemu selalu berantem sampai guru masuk atau lelah sendiri. Mungkin karena terlalu sering adu bacot sehingga bisa merasakan yang mana memang murni untuk berargumen atau hanya mencari pelampiasan.

"Mona ...," desis pemuda itu perlahan. "nenek sihir satu itu yang sengaja ngejatuhin Vanie ke lubang subuh tadi."

"Heh! Serius lo?! Wah, gila! Mana anaknya? Gue gibeng beneran juga dia, dari kemarin suka banget cari masalah," kata Alessandra yang sudah berbalik kembali ke base untuk menampar gadis licik itu.

Akarsana langsung menghentikan aksi nekat itu, "Nggak bisa. Yang ada lo yang bakalan kena sanksinya, nggak ada bukti kalau dia yang ngelakuin itu. Karena, jalannya yang licin dan tidak ada bekas jejak sama sekali. Kejadian tersebut diasumsikan bahwa itu adalah keliruan Vanilla sendiri."

"Licik memang dia, ya. Terus gimana sekarang?"

Bendahara OSIS itu tersenyum menyeringai, tidak terlihat aneh sama sekali untuk gadis itu karena memang sudah terlalu biasa, "Lo bakalan tahu. Namun, sekarang lo nggak mau cabut benderanya. Sudah jauh-jauh sampe sini masa balik tanpa bendera."

Alessandra mendengus berjalan tiga langkah dan mencabut bendera tersebut. Matanya menyorot tajam ke arah pemuda itu dan memberikan suara yang tegas.

"Pastikan kalau gue bisa cekek nenek sihir itu kalau ketangkap busuknya."

"Aman."

To Be Continue

Good night, guys

Hari ini lumayan padat jadwalnya bareng dengan kemarin.

Hehe

See ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro