🍁 54 | Lampu Hijau

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Berbeda dengan Vanilla yang membuang waktu Minggunya dengan tidur bagaikan hibernasi seekor beruang kutub, Revan telah bangun jam tujuh. Meskipun selalu dikatakan tidak becus oleh anggota Dreamers apalagi Marcus dan Akarsana yang memang julid sejak dini, dia selalu menanamkan kalau istirahat secukupnya dan kembali produktif.

Seperti sekarang ini yang dia lakukan, protein shake yang dibuatnya di rumah dan diminum sepanjang perjalanan ke rumah seseorang.

Kak Lian
[Besok pagi jam delapan, datang sini ke rumah gue]
[Main basket bareng]
[Dilarang ngajak kawan]

Tidak butuh sampai jam delapan pagi tepat sesuai ajakan Areliano. Buktinya, hanya butuh sepuluh menit untuk sampai di depan rumah yang masih tampak belum bernyawa itu. Setelah mengatur letak posisi mobil yang dibawanya dengan rapi, dia memencet bel.

“Eh? Nak Revan.” Elina Lavanya Pratama segera membuka pintu rumah dan mendorong pagar dengan pakaian yang sederhana khas rumah. "Mau ketemu dengan Vanie, ya? Anak gadis Tante masih tidur. Sebentar, Tante bangunin."

"Nggak perlu, Tan. Revan mau main sama Kak Lian, main basket bareng."

Wanita yang tidak lagi muda itu mengangguk paham dan menutup kembali pintu rumah serta pagarnya setelah sang tamu masuk ke dalam, "Sudah sarapan?"

"Sudah, Tante." Ketua OSIS itu menjawab dengan tenang. Seisi dalam rumah itu terlihat sepi dan tenang.

"Si Abang sama Kakak sudah ke belakang bareng Ayah mereka. Nak Revan ke sana saja langsung. Tante mau masak dulu."

Kadang Revan selalu mengira kalau rumah Vanilla akan sangat ramai bak pasar malam karena memiliki anggota keluarga yang lebih banyak darinya. Namun, sepertinya rumah laki-laki itu pun tak kalah ramai. Meskipun, hanya dipenuhi dengan adu bacotan dia dengan Ibunya sendiri.

Mungkin Minggunya kediaman gadis ini dipenuhi dengan kegiatan masing-masing anggota. Seperti, Vanilla yang masih terlelap di kamarnya sedangkan Elina dan lainnya sudah bangun untuk memulai hari.

Begitu pikiran Revan.

Berbeda dengannya yang memang sudah terlatih sejak menginjak kelas 5 sekolah dasar, Thalita Wening selalu membangunkannya tidak lebih dari jam tujuh pagi untuk mengajaknya olahraga keliling komplek perumahan. Alhasil, rasanya aneh kalau terlambat bangun.

"Kak, shoot!"

Dang!

Sayup-sayup Revan mendengar beragam suara dari pintu belakang rumah keluarga Huang satu ini. Semakin dia mendekati pintu yang dibuka lebar itu seolah mengajaknya untuk memasuki dunia di sana, semakin dia bisa mendengar suara pantulan bola di atas tanah serta sahutan dari Brian.

"Three points!"

Pemuda itu melihat dari bawah teras yang dibuat senyaman mungkin, Areliano berhasil mencetak skor dengan sempurna di atas garis yang telah ditetapkan. Danish menghampirinya, high-five dengan senyuman riang di sana.

"Eh? Nak Revan sudah datang. Sudah makan?" Revan mengangguk dan tidak lupa menyalami pria yang duduk di atas kursi rotan dengan cangkir kopi pahit pagi di samping meja bundar yang kecil.

"Sudah, Om. Maaf, Vanie terluka saat di Brastagi kemarin."

Brian kembali membalas, "Nggak apa-apa. Kemarin Vanie sempat cerita ke Abang-abangnya. Lalu, diceritain lagi ke Om. Bukan salah Revan, kok. Om malahan pengen terima kasih ke Nak Revan karena sudah menemukan anak gadis Om."

Revan menjadi senyum sungkan. Padahal, jelas-jelas itu salahnya karena lalai menjaga gadis tersebut. Dia bagaikan terikut sakit ketika melihat Vanilla yang biasanya bersemangat, rewel, dan memberikan energi positif ke sekitarnya menjadi lemah tak berdaya.

"Yo, bro! Datang juga lo!"

Areliano datang menghampiri mereka berdua.

"Papa kira Revan tadi datang untuk cari Adek."

"Bukan, main sama Kakak dengan Abang juga. Basket," balas Areliano yang mendesis ngeri dalam hati. Bisa mampus Revan kalau cari Vanilla sampai ke rumah ketahuan sama Abang. Bisa-bisa tinggal nama terus Adek gue ditinggal jodoh.

Areliano sedang ngawur.

"Ya sudah, kalian main sana. Papa masuk dulu, mau sarapan."

"Oatmeal doang, ya, Pa. Nggak boleh makan yang lain dulu," salip Danish setelah memasukkan bola ke dalam ring.

"Iya, Bang."

Satu hal yang membuat Revan takjub, halaman belakang rumah ini dibuat dengan banyak pertimbangan. Sepertinya Elina dan Brian seakan mengetahui kalau kedua anaknya suka dengan basket. Lalu, ada sebuah trampolin besar diletakkan di ujung dan perangkat BBQ diletakkan di tempat yang terpisah.

Di bawah teras belakang juga disediakan banyak kursi dari beragam bentuk dan tingkat kenyamanannya. Seperti Brian yang sepertinya suka dengan kursi rotan sedangkan anak-anaknya menyukai duduk di atas sofa tebal.

Kata Revan, sih, ini salah satu cara mereka menyalurkan rasa sayangnya kepada ketiga anak mereka.

"Mikirin apa lo? Buruan main sini. Yang kalah kudu ke depan perumahan beli jajan sama track mile di gym rumah." Areliano membuyarkan lamunannya.

Ceritanya hari ini seperti sport day?

Ya tidak ada masalah, Revan juga suka olahraga basket. Kalah atau menang tidak masalah, yang penting fair play.


Revan menatap canggung Jovan yang sudah kembali dengan tentengan hasil pertandingan basket dadakan tadi pagi. Vanilla juga sudah mandi dan bersih tengah duduk di ruang keluarga menonton kartun anak-anak pagi. Sedangkan, Elina dan Brian mondar-mandir di dapur dan ruang makan, ceritanya tengah kencan ala anak rumahan di usia yang sudah diatas kepala empat.

"Dek, ini jajan. Kalau mau dingin, letakkin di kamar Kakak."

Jovan bersikap acuh tak acuh setelah menyalami kedua orang tua mereka tentunya. Sedangkan, Areliano hanya memberikan senyuman tampan dan naik ke lantai atas bersama Vanilla.

Revan bukan orang yang memiliki segudang negative thoughts. Tapi, dari kemarin malam sejak dikirimkan pesan itu kepadanya, dia tahu itu bukanlah sekedar ajakan untuk bermain basket dikala kegabutan menyerang.

Dan, memang itulah yang terjadi.

Dua puluh menit yang lalu setelah permainan itu selesai dengan Revan keluar sebagai pemenangnya--Revan tahu itu akal bulus kedua laki-laki ini--Jovan langsung mendekatinya dengan serangan pertanyaan yang mendadak.

"Lo suka sama Adek gue?"

Khas Jovan Danish Huang sekali. Kalau kata admin sosmed yang tukang julid, mungkin quote untuk Jovan adalah No Kecot, No Bacot, dan langsung to the point.

Akan berlebihan kalau Revan bilang dia nyaris jantungan. Tapi, itulah yang terjadi.
Tentu saja, topik bahasan mereka sejak dia mengenal Jovan tidak pernah jauh dari Vanilla Fransisca Huang yang saat itu masih ke alam mimpinya.

"Hah?"

Demi laporan proposal untuk festival akhir semester yang masih di tangannya dan belum tersentuh, Revan mendadak tuli.

"Lo suka apa nggak sama Adek gue?" tanya Jovan setelah berdecak kesal. "Jelas konteksnya itu Vanilla bukan Areliano."

Itu adalah sarkasme.

"Vanie ... dia baik, Bang. Lalu, anaknya juga pintar dan mampu membawa dirinya dengan baik di lingkungan. Gue suka dengan caranya memberikan perhatian dengan caranya sendiri, apa adanya di depan semua orang. And, ... I think I can like her."

"Heum," jawab Jovan singkat. Namun, tidak jelas.

Pemuda itu berdiri dan menepuk celananya karena hasil duduk di atas lapangan basket. "Tetapkan kembali hati lo, kepada siapa. Kalau gue tahu Adek gue sakit karena lo, gue nggak segan-segan sama lo, Van." Pemuda itu melangkah masuk ke dalam dengan Areliano yang menyangga badannya ke samping ambang pintu.

Mereka berdua sepakat untuk membeli jajan sesuai perjanjian.

"Lo bisa manggil gue Bang Danish kayak Lian dan Vanie manggil gue."

Revan tertegun, melihat punggung si saudara paling tua di kediaman ini.

Itu adalah lampu hijau dari Jovan, kan?

To Be Continue

Hello, guys

Sky update setelah sekian bulan purnama. Cape juga.

Hehe

Bentar masih ada satu chapter lagi

See ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro