🌤 Epilogue

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Satu tahun kemudian
Medan, Indonesia
Kuala Namo International Airport

Revan berdiri dengan banyak orang lainnya, matanya masih melihat pintu otomatis yang menjadi jalan keluar untuk kedatangan internasional. Sudah banyak penumpang pesawat yang keluar dari sana dengan barang bawaan mereka, beberapa kali dia melihat pramugari dan pilot keluar dengan koper mereka.

Tandanya, ini sudah lama sekali.

Sebuah tepukan halus di bahunya menyadarkan dia dari kecemasan, maniknya disuguhkan dengan satu gelas plastik dengan asap mengepul di atasnya.

“Kak Marc belum keluar juga, ya?” Vanilla menyerahkan minuman hangat itu ke tangan kekasihnya. Lalu, berdiri di sampingnya, ikut menunggu kedatangan kakak kelas mereka itu.

“Belum, yang lain kemana?”

“Sudah duduk makan ayam di lantai atas. Katanya sudah lapar banget.”

Revan mengangguk mengerti, ini sudah jam setengah delapan, “Kamu nggak ikutan? Bareng mereka dulu aja, kan ada si kembar. Nanti aku nyusul.”

Satu tahun juga hubungan mereka, semakin terbiasa menggunakan panggilan tersebut.

“Nggak. Mau ngobrol sama kamu, bosen banget di sana. Aless sama Akarsana adu mulut mulu,” balasnya.

“Mau ngobrol apa?”

“Heum. Apapun,” kata Vanilla yang tersenyum ketika jemari Revan menyelip di antara jarinya. Kekasihnya selalu tahu apa yang dia butuhkan.

“Kamu ingat waffle yang kamu beli dua hari yang lalu? Dimakan Mama tiga per empatnya,” kata Revan yang membuka obrolan.

Vanilla terkekeh pelan, “Kukira kamu makan langsung.”

“Nggak, aku letakkin di meja dapur bentar, sembari aku ambil hape di kamar. Baliknya Mama lagi makan,” ceritanya lagi.

“Lain kali aku beliin lebih banyak, deh. Yang kemarin rasanya enak, kan?”

“Enak. Kayaknya Mama suka banget malah.”

“Aku beliin yang rasa lainnya, deh. Kamu lebih suka yang tiramisu daripada coklat, kan?” Vanilla membalas sembari melihat pintu otomatis yang tertutup rapat.

“Iya. Tiramisu dari mana?” tanyanya lagi.

“Eum … Italia? Ya, kan?”

Revan mengangguk, “Pernah kepikiran ingin ke Italia?”

Vanilla menggeleng, dia langsung melambaikan tangannya ke atas ketika terlihat pemuda yang berpakaian sweatshirt dengan koper di sampingnya, “Malahan aku lagi pengen ke Amsterdam sama Kanada.”

“Okay. Setelah aku kerja, kita ke sana. Ajak Om sama Tante juga.”

“Plan selanjutnya? Italia dan Amsterdam, ya?”

Mantan Ketua OSIS itu tersenyum dan menyetujui usulan gadis tersebut. Mereka memang suka membuat daftar keinginan yang ingin dilakukan, dikunjungi, atau lainnya. Seperti, enam bulan yang lalu, Revan mengisi daftar tersebut dengan kencan di pantai untuk hari jadi satu tahun mereka.

Terkabulkan dengan beruntungnya bertepatan pada hari Minggu. Jadi, tidak mengusik apapun.

“Yo, Bang! Pulang-pulang lo makin berubah aja,” kata Revan yang mengundang dengusan kesal dari mahasiswa Amsterdam itu.

“Halo, Hyung Woo. Sudah lama nggak ketemu,” sapa Vanilla yang peka dengan keberadaan pemuda lainnya di samping Marcus. “Barengan datangnya?” tanyanya.

“Kan, Hyung Woo sedang liburan ke sana. Makanya, barengan datangnya. Ya udah, yang lain tungguin di atas. Lo berdua lambat banget soalnya.”

“Iya, deh. Tapi, kan, lo santai aja tuh. Mentang-mentang ada pacar di samping,” balas Marcus yang masih doyan menjahili adik kelasnya ini yang sudah memasuki bulan-bulan ujian nasional.

“Nggak gitu juga konsepnya. Tapi, lo memang lama, sih, gue sama Vanie rencananya mau beli boba, pun, kelamaan.”

Vanilla menggeleng, sejak kapan mereka berencana membeli sesuatu. Itu pasti akal-akalan pacarnya saja.

“Setelah anterin gue pulang.”

“Anterin si pengangguran internasional ini pulang dulu, ya. Baru nanti kita kencan,” tawar Revan yang dihadiahi tepukan keras di punggungnya. Lalu, si pelaku langsung menyelonong memakai eskalator naik ke atas.

Vanilla tersenyum tipis, “Iya. Kencannya di rumah saja, ya. Aku masih belum paham dengan integral sama limit.”

“Nanti aku ajarin, sekalian mau main game sama Kak Lian.”

Ya, hanya itu. Tidak ada yang terlalu berlebihan karena keduanya sudah sepakat untuk menjalani hubungan ini apa adanya. Namun, dengan cara mereka sendiri dan tetap terasa berharga untuk perasaan mereka masing-masing.

Memang pacaran itu menyenangkan dan juga termasuk kategori yang memerlukan perhatian.

Namun, bagi Vanilla dan Revan, keduanya memikirkan masih ada hal lain yang harus dilakukan. Mereka akan menghadapi ujian nasional sebagai tes terakhir mereka, membangun masa depan yang cerah untuk masing-masing dan mereka berdua tentunya.

Karena, pada dasarnya, kehidupan bukan hanya tentang cinta. Masih ada hal-hal lainnya yang harus diperhatikan.

Bisa mencintai dan bertumbuh bersama itu adalah sebuah kesuksesan yang another level.

The End

Good afternoonnnn

Dengan bersamanya epilogue ini, ini beneran tamat, end, kkeut!

Makasih banyak sudah mendukung Nginep sampai detik terakhir. Komentar kalian bener-bener mood banget untukku supaya tetap ngelanjut.

Hehe, see you at another works!

See ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro