Extra Part #2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

She is Sarah Arthawijaya. Yang penasaran siapa cast yang aku masukkan, namanya adalah Maria Ehrich. 😊

Anyway, silakan tinggalkan jejak dulu sebelum baca part ini ya, readers. 😘
-----------------------------------------------------------

Takeru memasukkan gawai ke kantong baju setelah membaca pesan yang dikirim manajer. Satoru dengan efektif mengusir wanita itu keluar apato sekaligus mengganti kata sandi hunian Takeru. Dia tak ambil pusing bagaimana Miho bisa masuk ke apato. Aktris cantik itu punya seribu cara licik untuk mendapatkan hatinya, meski Takeru tak pernah menggubris.

Dan cara licik itu baru saja memakan korban. Takeru memijit pangkal hidung. Pikirannya masih berantakan dengan kedatangan Sarah yang sangat mendadak, di saat kondisinya berpotensi memunculkan salah paham besar. Dalam hati Takeru merutuki Miho yang agresif merayunya di apato. Begitu masuk, lelaki itu langsung ditubruk Miho yang nyaris telanjang. Wanita itu mabuk berat dan berusaha merayunya habis-habisan.

Takeru hendak mengusir Miho saat Sarah tiba dan melihat pemandangan yang menjijikkan itu. Astaga, bagaimana dia akan menjelaskan pada sang sahabat peristiwa yang sebenarnya? Baru mau dijelaskan saja asma Sarah sudah kambuh. Dan Takeru tahu persis sumber kekambuhan sakit menahun sahabatnya.

Netra lelaki jangkung itu melirik pintu ruang gawat darurat yang masih tertutup rapat. Pasca pingsan di elevator apato, Takeru langsung melarikan gadis itu ke rumah sakit. Sudah hampir satu jam berlalu sejak Sarah mendapat penanganan medis, tapi gadis itu menolak mentah-mentah kehadirannya di bilik medis.

“Bagaimana keadaan Sarah-chan?”

Takeru menoleh, mendapati Satoru sudah berdiri di hadapannya. Pria itu mengulurkan gelas kertas berisi kopi yang diterima Takeru penuh terima kasih. Berhadapan dengan Sarah yang ngambek berat ternyata sangat menguras emosi.

“Buruk,” jawabnya singkat.

Satoru terkejut, “Kondisi Sarah-chan parah?”

“Bukan! Bukan itu!” Takeru melambaikan tangan kesal, “Chibi-chan baik-baik saja. Dia sudah tertangani. Tapi kondisinya buruk untukku. Dia tak mau kutemui.”

Satoru menghempaskan tubuh ke kursi di samping Takeru, “Dia pasti sangat terguncang sekarang. Jauh-jauh terbang dari London hanya untuk melihat pujaan hatinya bermesraan dengan wanita lain.”

“Satoru-san, aku tidak bermesraan dengan Miho!” Takeru jengkel.

“Apapun penjelasanmu, itulah yang terlihat kasat mata oleh Sarah-chan, Tuan Besar,” sindir Satoru.

Takeru meremas rambut. Bingung bagaimana harus mengambil sikap. Dia tahu Sarah datang ke Tokyo untuk memberi kejutan. Naasnya justru gadis itu yang mendapat guncangan. Dan Sarah masih mutung, menolak bertemu dengannya, yang makin memicu kekhawatiran Takeru.

“Tak menghubungi Paman Jeremy dan Tante Sonya?” Satoru berujar. Dia sudah mengenal baik suami-istri Arthawijaya, sama seperti dia mengenal akrab pasangan Kinomiya.

“Aku bisa dicincang Paman Jeremy jika ketahuan melukai hati anak gadisnya,” keluh Takeru.

“Lah, kau kan, memang sudah melukai hatinya? Terima resikonya, Brother,” ledek Satoru.

Takeru melirik manajernya. Jemarinya sudah gatal ingin mencekik leher gemuk itu. Bukannya memberi saran pertolongan, pria itu malah memojokkannya.

“Orang tuamu tahu Sarah-chan dirawat di rumah sakit?”

Takeru menggeleng, “Aku belum memberitahu mereka. Otou-san sama beringasnya dengan Paman Jeremy jika sudah menyangkut Chibi-chan. Heran aku, yang anak mereka itu aku apa Chibi-chan, sih?” gerutu Takeru.

Manajer gembul itu terbahak, “Kau harus meminta maaf pada Sarah-chan. Gadis itu sangat baik. Jangan buat dia menangis.”

“Manajer, bagaimana caraku meminta maaf? Bertemu denganku saja dia tak mau,” keluh Takeru keras. Tubuhnya menggelosor di kursi besi. Pusing memikirkan tingkah aneh Sarah yang mendadak jadi manja tak ketulungan.

Gadis itu belum pernah protes sama sekali tentang hubungannya dengan lawan jenis selama hampir seumur hidup persahabatan mereka. Justru Takeru yang sering uring-uringan jika Sarah memamerkan kedekatan dengan teman lelakinya di London. Namun sekarang sahabatnya itu mendadak merajuk parah pasca adegan panas yang dipertontonkan Miho.

“Kau ada saran untukku?” Takeru penuh permohonan pada Satoru.

Pria tambun itu meringis. Gelengan kepalanya menjawab pertanyaan sang model orbitan. Dia berdiri, “Aku akan melihat keadaan Sarah-chan dulu. Kalau denganku, dia pasti mau bertemu.”

“Tolong bujuk dia, Manajer,” pinta Takeru.

“Aku tak janji.” Satoru melambaikan tangan dan segera silam ke balik pintu ruang gawat darurat.

Gadis yang hendak dijenguk Satoru ternyata berkondisi baik-baik saja. Sempat pingsan di apato, Sarah pulih cukup cepat. Selang oksigen sudah dilepas namun dia masih harus menginap semalam untuk observasi. Gadis itu melambaikan tangan yang tertancap jarum infus kala melihat kedatangan Satoru.

“Fujiwara!” sapanya riang.

Berbeda dengan Takeru, Sarah bukan peranakan Jepang meski berkali-kali mengunjungi Negeri Sakura. Embel-embel sufiks di belakang nama tak pernah digunakan gadis itu tiap memanggil kenalan Jepangnya.

“Bagaimana kabarmu?” Satoru menjabat tangan Sarah yang bebas infus.

“Baik. Dokternya sangat tampan, kau tahu?” Sarah menyeringai lebar.

Alis Satoru terangkat, “Kau pingsan gara-gara adegan tak senonoh Takeru-kun tapi masih bisa bergenit-genit dengan dokter?”

“Hei, aku tak bergenit-genit dengan dokter,” protes Sarah, “Lagi pula siapa juga yang pingsan karena Take?”

Satoru tergelak. Dia mengenal Sarah sama lamanya dengan mengenal Takeru. Mereka pasangan bersahabat yang aneh. Tak saling memiliki tapi tak mau kehilangan. Benar-benar anak muda yang konyol.

“Takeru-kun tak ada hubungan apapun dengan Miho-san,” jelas Satoru tanpa diminta.

“Aku tak peduli.” Sarah memalingkan muka, “Mau dia berkencan dengan seratus wanita pun bukan urusanku!”

Satoru tersenyum simpul, “Berbohong itu tidak baik, Nona.” Ditepuknya lembut punggung tangan Sarah.

Gadis berambut cokelat itu masih tak berpaling. Namun mata jeli Satoru mampu menangkap isi hati Sarah yang tercermin jelas di wajah cantiknya. Sepasang netra cokelat yang mulai bersinar hangat tak luput dari pantauan pria gembul itu. Seolah Sarah merasa lega mendapat penjelasan tentang Miho.

Satoru tersenyum geli. Perasaan Sarah sangat jelas terpampang, tapi gadis itu masih menyangkal. Sekelebat ide melintas di benaknya. Pria itu menyeringai lebar. Eksekusi idenya pasti berjalan dengan lancar jika Sarah masih merajuk pada Takeru.

“Kurasa aku harus pergi sekarang, Sarah-chan.” Satoru bangkit, “Mau kupanggilkan Takeru-kun?”

Pria itu menunggu reaksi Sarah. Matanya bersinar puas saat melihat gelengan kepala gadis itu. Dia bertanya sekali lagi untuk memastikan, “Kau yakin?”

“Aku masih malas bertemu Take,” gumam Sarah.

Satoru manggut-manggut, “Sikapmu sangat benar. Kadang lelaki harus diberi pelajaran agar tak melepaskan berlian yang dimiliki demi kristal kaca murahan.”

Sarah menelengkan kepala bingung, “Fujiwara, apa maksudmu?”

“Tak ada apa-apa. Baiklah, semoga kau lekas pulih, Sarah-chan. Besok mau kukirim orang untuk menjemputmu?”

Sarah mengiyakan cepat, “Terima kasih, Fujiwara.”


“Sepertinya Sarah-chan benar-benar marah besar padamu.”

Takeru terhenyak, “Dia masih tak mau bertemu denganku?”

“Aku sudah membujuknya, tapi gadis itu keras kepala.”

Takeru mengusap wajah. Lemas.

“Sepertinya aku sangat menyakiti hati Chibi-chan. Dia sangat lembut, tak pernah marah. Dan sekarang aku mengacaukannya.”

Satoru mengamati lekat wajah artis asuhannya. Tujuh tahun bersama memberi banyak informasi tentang Takeru Kinomiya, termasuk hal-hal privasi yang jarang diumbar lelaki itu pada manajernya. Namun Satoru adalah orang dengan kejelian luar biasa. Serapat apapun Takeru menyembunyikan perasaannya – yang terbukti sukses mendukung karier modeling lelaki itu – tetap saja bagi Satoru, lelaki itu bak buku yang terbuka lebar.

“Abaikan saja Sarah-chan. Kau punya kehidupan dewasa sendiri, Takeru-kun.” Hasutan pertama dimulai.

“Tapi ....”

“Sarah-chan kan, bukan kekasihmu. Kenapa kau mempedulikan kemarahannya? Kau toh, juga tak punya perasaan apapun pada gadis itu.”

Takeru tertegun. Tergelitik rasa tak terima akan pernyataan Satoru, tapi tak bisa melakukan penyangkalan apapun. Masih ada yang mengganjal di hatinya. Hanya saja model tampan itu enggan mengutarakan pada sang manajer.

“Tapi dia sahabatku, Satoru-san. Dia belum pernah marah seperti ini sebelumnya,” dalih Takeru.

“Hanya sahabat?” pancing Satoru.

Lelaki tampan itu diam. Satoru tersenyum simpul, sudah tahu jawaban untuk pertanyaannya. Ditepuknya bahu model asuhannya.

“Jangan sampai menyesal, Takeru-kun. Kali ini kau mungkin belum kehilangan dia. Tapi suatu hari kelak, jika kau tak segera mengikatnya, kau benar-benar akan kehilangan Sarah-chan untuk selamanya.”

Kali ini Takeru ternganga lebar. Dia melompat dari kursi saking kagetnya, “Manajer, apa ... Apa maksudmu?”

Satoru turut berdiri, “Akan kubantu kau mendapat maaf dari gadis itu. Asal ....”

“Ya?” Takeru tak sadar melontarkan pertanyaan. Membuat pria gendut itu ingin terbahak melihatnya.

“Asalkan kau benar-benar jujur dengan perasaanmu pada Sarah-chan. Bagaimana?”









Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro