Part 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wanita itu berdiri di tengah apato. Meneliti seksama ruangan yang enam bulan ke depan akan menjadi tempat tinggalnya. Dia sudah tahu rata-rata hunian di kota super sibuk itu pastilah kecil. Tapi dia benar-benar tak menyangka akan mendapat apato semungil itu.

“Pihak pemberi beasiswamu pintar sekali memilih hunian,” sindir Jeremy.

Sonya manyun. Dia memang mendapat fasilitas apato selama menempuh pendidikan di Negeri Sakura. Tapi kenapa apatonya beda jauh dengan milik Jeremy?

“Jangan bandingkan dengan tempatku!” Jeremy memperingatkan seolah mengerti isi pikiran Sonya.

Wanita itu meringis. Dia memindai penjuru ruangan. Tak perlu repot-repot berkeliling karena apato itu sangat kecil. Hanya ada dua ruang yang disekat rak artifisial. Ruangan yang paling besar diisi dengan single bed, satu set meja dan kursi kecil yang bisa difungsikan sebagai ruang tamu sekaligus tempat belajar, dan konter dapur. Dua sisi dindingnya disulap menjadi rak tanam tempat menyimpan buku dan keperluan lain. Sementara ruang yang lebih kecil adalah kamar mandi dan tempat mencuci yang sudah dilengkapi fasilitas mesin cuci.

Sonya beranjak ke ranjang yang menempel ke dinding dengan kaca bermodel sliding. Tak ada balkon tapi dinding kaca itu bisa menampilkan pemandangan indah Shinjuku. Cukup sepadan.

“Kubantu bongkar koper, ya?”

Sonya mengangguk tanpa terlalu memperhatikan apa yang dikerjakan Jeremy. Dia masih terpaku pada ukuran apato yang begitu mungil dan tengah memikirkan peletakan barang-barangnya.

“Jer gimana kalau ....” Sonya menoleh. Darahnya serasa berhenti mengalir, “... Berikan itu padaku!”

Jeremy – dengan wajah mupeng – memelototi sepasang pakaian dalam yang cantik. Bra berenda merah dan celana dalam senada bertengger di tangan. Sonya gerak cepat merampas dua kain mungil itu berikut kopernya yang tengah dibuka Jeremy.

“Cantik ...,” gumam Jeremy.

Wajah Sonya memerah, “Diam elo!”

Tersadar dari keterpukauan, Jeremy mengeluh pendek, “Kok, elo-gue lagi, Sayang?”

“Siapa suruh bongkar isi tas orang sembarangan?” Sonya menjejalkan dalaman itu ke koper dan menutupnya rapat-rapat.

“Kenapa malu, sih? Toh, suatu hari kelak juga bakal aku lihat terus,” kata Jeremy kalem.

“Tak ada suatu hari kelak!” balas Sonya.

“Loh, kau nggak mau jadi istriku?”

Hening. Sonya bengong. Jeremy nyengir lebar. Akhirnya wanita itu bersuara.

“Candaanmu lucu sekali,” dengus Sonya.

Jeremy menanggapinya dengan senyum. Diacaknya rambut Sonya penuh kasih, “Suatu hari kelak kau bakal jadi istriku juga, Son.”

Wanita itu tertegun.

“Kenapa?” tanya Jeremy.

Sonya tersipu malu, “Tak apa-apa.”

Lelaki itu melihat arlojinya. Sudah jam makan siang, “Sayang, bongkar kopernya nanti saja, ya? Kita makan siang dulu?”

Sonya mengitari konter dapur. Membuka kulkas kecil dan menunjukkannya pada sang kekasih, “Kosong nih, Jer. Kulkasnya ngambek kasih kita makanan.”

Jeremy menarik tangan wanita semampai itu, “Waktunya makan di luar!”


Makan di luar versi Jeremy adalah ... Benar-benar makan di luar!

Sonya kaget setengah mati mengetahui Jeremy membawanya ke Shinjuku Central Park; lengkap dengan sekresek besar bento, kudapan, dan minuman. Dan menyeretnya duduk di tanah berumput, bergabung dengan banyak orang yang melakukan hal serupa.

“Kau tahu betapa bahagianya aku sekarang?” Jeremy menyentuh helaian lembut rambut Sonya, “Sangat lama aku memendam rasa. Tak tahu kapan bisa mengatakannya padamu.”

Mereka sudah mulai menyantap bento. Sonya hampir menandaskan separuh makanannya sebelum mengomentari pernyataan Jeremy,  “Aku pun sama.”

“Oh ya?” Lelaki itu tampak tertarik.

Kepala berambut hitam itu mengangguk, “Sejak pertama kali bertemu, aku sudah menyukaimu. Kau itu menarik. Tapi aku tak berani mendekatimu karena ... Yah ... Kau sangat populer di kampus. Aku tak yakin mampu bersaing dengan para mahasiswi cantik yang sangat agresif itu.”

Jeremy ternganga. Diusapnya pipi merona Sonya, “Astaga, jika tahu kau juga punya perasaan yang sama denganku sejak awal, kenapa aku harus menunggu selama ini?”

“Takdir?” Sonya memberikan opsi.

Jeremy terbahak, “Kau benar. Jalan takdir kita harus begini. Seandainya aku masih sepengecut dulu, tak mungkin kita bisa ada di sini sekarang.”

“Mungkin saja. Tapi sebagai teman.”

Jeremy menggeleng-gelengkan kepala takjub. Digamitnya tangan Sonya. Menarik wanita itu berdiri. Mereka meneruskan perjalanan menyusuri Shinjuku Central Park yang ramai. Tak jauh dari tempat mereka adalah sebuah tenda putih raksasa dengan logo font Malaysia Fair berwarna kuning emas terpasang di depan tenda.

“Apa kita perlu memberitahu Nad dan Theo?” Jeremy menarik Sonya memasuki tenda yang ramai orang.

Harum makanan langsung tercium di udara, memenuhi tenda dengan atmosfer yang membuat lapar. Bahkan perut Jeremy mulai keroncongan lagi padahal sudah diganjal bento dan kudapan.

“Kau mau?” lelaki itu menarik Sonya ke stand bak kut teh, salah satu menu Tionghoa yang populer di Malaysia.

“Masih lapar?” Sonya tercengang.

“Lapar makanan iya. Lapar dirimu juga iya,” seloroh Jeremy.

Pukulan keras mendarat di punggung Jeremy. Lelaki itu meringis. Lama bersahabat dengan Nadine menularkan virus vandalisme ke wanita yang terkenal elegan dan anti kekerasan itu.

“Bisakah kau sedikit serius, Jer?” desis Sonya.

“Aku dua rius malah.” Cengiran lebar Jeremy muncul, “Kau tahu sudah berapa ratus malam harus kulalui dengan hanya memimpikanmu?”

“Astaga, Jeremy Leonard Arthawijaya?!” Sonya merah padam. Ke mana perginya lelaki yang pendiam, pemalu, tak banyak ulah itu?

Jeremy menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Sonya, “Persiapkan saja dirimu, Sayang. Mulai hari ini kau akan melihat Jeremy yang asli ....”

“Oh, jadi selama ini kau palsu?” potong Sonya.

“Mana berani aku memalsukan diri di hadapanmu?” sanggah Jeremy, “Aku hanya sedikit menutupi sifat asliku saja.”

“Sifat asli?” cibir Sonya, “Sifat mesum lebih tepat untuk itu, Jer.”

“Nah, itu sudah tahu.”

Sonya geleng-geleng kepala. Lelaki itu berubah jadi dandere (1)  hanya dalam kurun waktu beberapa bulan saja? Sepertinya iklim dan suasana Jepang telah membangkitkan jiwa erotisme dalam diri Jeremy yang lama tertidur.

“Kita ambil makanan lagi saja. Kau aneh kalau lapar.” Sonya membelokkan topik percakapan.

Jeremy terbahak keras. Sonya segera memesan seporsi besar bak kut teh untuk Jeremy lalu menyeret lelaki itu keluar tenda. Cuaca sejuk musim gugur segera menyambut. Mendinginkan beberapa otak yang sedang kepanasan.

“Jadi bagaimana, kita beritahu geng gesrek itu apa nggak?” Jeremy mengulang pertanyaan sambil menyeruput kuah bak kut teh.

“Menurutmu?” Sonya balik bertanya.

Jeremy melihat arloji. Masih sore hari di Indonesia, “Kita telepon mereka.”

Kebetulan yang sangat menyenangkan. Theo, Nadine, Renata, dan Aryan sedang berkumpul bersama. Sepertinya mereka sedang berada di apartemen Aryan melihat suara latar mereka yang sunyi.

"Woi, Bro, tumben jam segini dah onlen lo?" Theo menyapa heboh.

Jeremy meringis, masih tetap sama saja sahabatnya ini. Di sebelahnya tiba-tiba Nadine mendesak muncul.

“Jeeeeer ... Elo ke mana saja? Sombong ya, gue chat nggak pernah bales? Nggak kasian lo sama calon ponakan, nih?"

Alis Jeremy terangkat. Calon ponakan? Sepertinya ada sesuatu yang tak dia ketahui selama hiatus dari obrolan daring dengan keempat sahabatnya di Indonesia.

"Elo hamil, Nad?" Jeremy penasaran.

“He-eh ... Gue hamil.”

"Selamat, ya, Nad, udah berapa bulan?"

"NAD, ELO HAMIL?!” Sonya merampas gawai Jeremy dan mengaktifkan mode pengeras suara.

Jeremy mengusap rusuknya yang tersodok sikut Sonya. Seringainya muncul melihat reaksi heboh sang kekasih mendengar berita kehamilan Nadine. Namun, tiba-tiba tertegun kala sebuah bayangan muncul di otaknya.

Sonya dengan perut buncit dan gaun hamil warna pastel. Tersenyum lembut sembari menelepon. Mengelus perutnya penuh kasih dan berbicara dengan para sahabatnya. Memberitahu betapa bahagia dia mengandung anak Jeremy.

Sonya mengandung anaknya ... Jeremy termangu. Bayangan yang sangat indah. Mendadak Sonya imajinatif menghilang berbarengan dengan suara membahana Nadine di telepon.

"Sonya? Elo gi sama Jer sekarang?"

"Udah jangan bahas itu dulu, beneran elo hamil?"

"Tunggu ... Tunggu ... Ini beneran elo sama Jer?" Terdengar suara Renata nimbrung di obrolan.

"Udah, deh, nggak usah bahas itu dulu. Pertanyaan gue belum elo jawab. Nad, elo hamil?"

"Yupi, elo betul. Gue udah hamil tiga minggu.” Suara Nadine ceria.

"Nad, elo gesrek bener! Nggak nyangka bisa hamil juga. Tokcer banget si Aryan.” Tawa Sonya berderai.

“Apa maksud elo nggak nyangka gue hamil?”

“Elo Ratu Preman tukang bully bakalan punya anak. Kena karma elo sekarang, nggak bisa bully anak orang sembarangan lagi,” kekeh Sonya.

“Eit ... Siapa bilang gue nggak bisa bully orang lagi? Siap-siap saja, balik ke Indonesia pacar elo bakalan gue siksa sampai ngenes.”

“Eh, jangan dong! Kasihan Jer kalau elo siksa ....”

Sonya terkesiap. Tangannya membekap mulut cepat. Terlambat! Keceplosannya sudah didengar geng Indonesia.

“HAAAAAH ... ELO PACARAN SAMA JER?! WOY ... MANA JER? KASIH TELEPONNYA KE DIA!”

Empat suara berseru histeris. Sonya refleks menjauhkan gawai dari kuping. Suara mereka bagai geledek menyambar di siang bolong. Pasrah, Sonya mengembalikan gawai ke Jeremy.

“Jer?” Sonya takut-takut.

Jeremy menjawil pipi wanita cantik itu, “Jangan khawatir, semua bakal baik-baik saja.”

“Eh cieee .... Beneran pacaran nih, mereka berdua.”

Sonya menepuk jidat. Lupa jika panggilan telepon itu masih dalam mode pengeras suara. Kali itu Jeremy yang berbicara.

"Yoi, kita udah pacaran sekarang. Jangan tebas gue pas mudik nanti ya, Nad? Aryan, amankan istri elo dari gue. Sekalian aja elo doain biar tahun depan kami bisa segera nikah."

“Kami?!”

Jeremy mengubah panggilan telepon menjadi panggilan video. Empat sahabatnya terlihat berkerumun depan layar gawai. Lelaki itu menyeringai jahil. Ditariknya Sonya ke pelukan. Tanpa aba-aba mencium kuat-kuat bibir wanita itu. Tepat di depan layar gawai. Di hadapan keempat sahabatnya.

Dan histeria pun terdengar keras.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(1) Dandere adalah orang yang cenderung pendiam dan pemalu namun pada saat yang tepat dapat melakukan hal tak terduga pada orang yang disukainya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro