tiga belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

The first

~~~~~

Kami menjalani masa pacaran dengan normal. Sangat normal, seperti biasanya, seperti saat berteman. Pagi-pagi dia menjemputku untuk pergi kerja, lalu malamnya dia menjemputku pulang kerja, dan kami akan mampir makan malam dulu. Bedanya hanya panggilan aku-kamu yang kadang masih keceplosan pakai gue-lo, dan kebiasaan barunya, memelukku sebelum aku masuk ke rumah setiap malam. Aku sih suka, soalnya pelukannya nyaman dan hangat, dan selalu membuatku merasa disayang.

Hari ini, Leon datang menjemputku pulang seperti biasa.

"Makan apa kita?"

"Mami minta aku ngajak kamu makan malam di rumah."

Aku mengangkat alisku, agak terkejut. Secepat itu?

"Iya, Mami sudah nggak sabar mau nanya-nanya kamu."

Aku membelalakkan mataku, tiba-tiba merasa ngeri.

"Nanya-nanya?!" Leon tertawa.

"Santai, Nin. Mami aku nggak makan orang. Apalagi orang itu perempuan yang aku pilih."

Aku tidak bisa menahan garis senyum di wajahku. Sumpah, makin lama aku makin kayak perempuan tolol, senyum-senyum sendiri kayak orang gila.

Kami tiba di rumah Leon sebelum matahari terbenam. Leon langsung mengajakku ke dapur, dan di sana ada Anastasia Barata yang sedang mengaduk sesuatu dalam panci. Anastasia Barata memasak?

Dan aku pikir semua orang kaya tidak memasak sendiri. Ternyata aku salah.

"Mam."

"Tante."

Tante Anas menoleh dan langsung tersenyum lebar melihat kami.

"Kalian sudah pulang. Ini bentar lagi siap. Kalian keliling-keliling dulu aja, sekalian tungguin Papi dan yang lain pulang. Leon, kamu bawa Nina jalan-jalan dulu aja, keliling-keliling rumah."

"Ya, Mam."

"Ada yang perlu dibantu, Tan?"

Tante Anas menggoyangkan tangannya yang memegang sendok sop.

"Nggak usah, bentar lagi selesai. Kamu jalan-jalan aja sama Leon."

Aku akhirnya mengangguk, dan Leon membawaku keluar dari dapur.

"Ke mana kita?" tanyaku saat Leon membawaku menaiki tangga menuju lantai atas.

"Jalan-jalan."

"Kenapa rumah kalian besar sekali?" tanyaku polos.

"Ini rumah warisan turun temurun. Kakek buyutku membeli tanah ini saat harganya belum semahal sekarang. Dan kakek buyutku punya enam saudara, yang semuanya tinggal bersama di sini, makanya dibuat besar. Waktu itu memang keadaannya Kakek buyutku yang pekerjaannya paling lumayan."

"Oh... Lalu ke mana saudara-saudaramu yang lain?"

"Pada akhirnya, tidak mungkin membiarkan lebih dari satu kepala keluarga menetap dalam satu atap. Kakekku cerita, waktu itu sempat ribut besar, karena semua saudaranya merasa berhak memiliki rumah ini, sampai akhirnya kakek buyut yang memutuskan. Satu per satu pindah, dan akhirnya yang mendapat rumah ini adalah putra sulung kakek buyutku, yaitu kakekku."

"Lalu diwariskan untuk ayahmu?"

Leon mengangguk.

"Setelah ini akan diberikan untuk Bang Hari."

Aku ikut mengangguk, mengerti.

"Jadi jika kita menikah, kita tidak akan tinggal di sini."

Aku otomatis menarik nafas lega.

"Syukurlah..."

"Kenapa?" tanya Leon sambil mengangkat alisnya.

"Rumah ini besar sekali. Aku nggak sanggup menyapunya."

"Kan ada asisten rumah tangga."

"Kalau dia pulang kampung?? Kan aku harus sapu sendiri..."

Tak kuduga, Leon malah tertawa.

"Kamu tau, rumah ini adalah kebanggaan keluarga Barata. Semua memperebutkannya. Tapi kamu malah menolaknya mentah-mentah."

"Hah? Aku nggak peduli. Selama rumah itu nyaman, berisi orang-orang yang aku sayangi, dan tidak terlalu besar, itu cukup."

Leon langsung menarikku dalam pelukannya.

"Tunggu ya, Nina. Aku akan memberimu rumah yang nyaman, yang berisi orang-orang yang kamu sayangi."

Aku melepaskan diriku dari pelukannya, walaupun masih menyentuh pinggangnya, lalu menatap matanya.

"Termasuk kamu."

Leon seperti tersentak kaget, namun setelah itu pandangannya melembut dan ia tersenyum.

"Iya, termasuk aku."

Leon menggandeng tanganku dan membuka pintu di ujung koridor. Aku ikut masuk dan menyadari kalau aku masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar yang sangat laki-laki sekali, sebenarnya. Nuansanya seperti tai cicak, hitam-putih. Dindingnya dicat putih dengan furniture berwarna hitam legam. Ranjang besar di tengah ruangan berwarna hitam, dengan sprei putih dan selimut besar berwarna hitam yang terlipat rapi.

"Kamarmu?"

"Ya."

"Cukup rapi."

"Thank you."

Leon membalik tubuhku untuk menghadapnya, dan aku baru menyadari kalau pintu kamarnya sudah ditutup, sehingga aku hanya berdua dengannya di dalam kamar.

Leon menunduk dan mengecup dahiku lembut. Aku memejamkan mataku, menikmati sensasi sentuhan lembut bibirnya di dahiku, yang membuat perutku melilit dan jantungku menabuh drum dengan penuh semangat. Apalagi dengan sensasi menggelitik akibat jambangnya yang mengenai kulit wajahku.

Bibirnya turun dan mengecup ujung hidungku, dan aku hanya bisa pasrah, menikmati sentuhan bibirnya di sekujur wajahku. Aku merasakan jemarinya mendorong daguku naik, dan bibirnya menyentuh ujung bibirku. Jantungku berdebar semakin kencang, penuh antisipasi.

Lalu bibirnya menyentuh bibirku, lembut sekali. Tapi jantungku rasanya mau copot saking cepatnya dia berdetak.

Aku belum pernah berciuman bibir sebelumnya, dan aku terkejut, ada bagian selembut ini pada tubuh manusia. It feel different, and i like it.

Bibir kami hanya menempel selama beberapa lama, dan Leon menjauhkan kepalanya dariku.

"Sorry, seharusnya aku tidak melakukannya."

Aku langsung merengut. Kenapa dia minta maaf? Apa menciumku itu suatu kesalahan? Aku kesal. Rasanya seperti ditolak.

"Kamu nggak suka?" tanyaku kesal.

"Bukan begitu."

Jemari Leon mengusap wajahku dengan lembut, dan matanya menatap wajahku dengan penuh kasih sayang.

"Kita kan baru pacaran. Aku tidak mau terburu-buru."

"Aku tidak keberatan." Oke, sekarang aku terdengar seperti merajuk.

"Aku hanya tidak mau aku lepas kendali dan menyakitimu."

"Kamu nggak nyakitin aku."

Leon terkekeh pelan, lalu menarikku dalam pelukannya, sehingga aku bisa mendengar debaran jantungnya yang cepat.

"Nina, Nina. Kamu nggak tau betapa inginnya aku melakukan itu."

"Melakukan apa?"

"Menciummu."

"Cium saja. Aku tidak keberatan."

Leon menatap wajahku tidak percaya.

"Kamu tidak keberatan?"

Aku menggeleng. Aku suka ciumannya. Mana mungkin aku keberatan dicium olehnya?

Leon menangkup wajahku dan mendaratkan bibirnya di pipiku.

"Pipimu halus, seperti kulit bayi," katanya, membuatku terkikik geli karena gerakan bibirnya di pipiku.

Tiba-tiba dia mengangkatku, dan aku dibaringkan dengan lembut di ranjang. Leon menatapku dengan sorot mata lembut, dan pelan-pelan mendekatkan dirinya padaku. Aku otomatis memejamkan mata dan menunggu.

Bibirnya kembali menyentuh bibirku dengan lembut, namun kali ini dia tidak diam. Leon mengulum bibirku, seakan-akan dia sedang menikmati permen favoritnya, dan aku merasakan jutaan kupu-kupu berterbangan dalam perutku. Rasanya luar biasa. Leon menggigit bibir bawahku dengan lembut, membuatku tanpa sadar mengerang. Aku mencoba meniru caranya mengulum bibirku, dan aku gembira saat mendengar erangan keluar dari mulutnya. Namun tiba-tiba dia melepaskan diri dariku. Aku kaget dan merasa kehilangan.

"Sorry, kita terlalu jauh."

Leon duduk di pinggir ranjang, berusaha menetralkan nafasnya yang memburu, dan aku duduk di belakangnya.

"Kamu nggak suka?" tanyaku. Leon menatapku seakan aku adalah alien.

"Aku sangat menyukainya. Tapi aku tidak mau kelewatan. Aku takut tidak bisa mengendalikan diri."

Dia mengulurkan tangannya dan mengusap pipiku dengan lembut.

"Aku mohon jangan tertawa. Tapi ini pertama kalinya aku mencium perempuan, dan aku takut saat aku mulai merasa naik. Kamu mengerti maksudku kan?"

Aku membelalak melihatnya. Pertama kali??

"Jadi aku yang pertama??"

Leon mengangguk.

"Kamu yang pertama. Dalam banyak hal, kamu yang pertama buatku. Kamu yang pertama membuatku jatuh cinta, kamu perempuan pertama yang mau jadi temanku, kamu perempuan pertama yang jadi pacarku, dan kamu perempuan pertama yang menyentuh bibirku."

Jemari Leon yang agak kasar mengusap bibirku dengan lembut, seakan-akan takut aku terluka jika dia mengeluarkan tenaga sedikit saja.

"Dan aku benar-benar berharap kamu akan jadi satu-satunya."

Aku terharu. Serius.

"Kamu juga yang pertama buatku," akuku. "Bukan pacar pertama sih, tapi kamu ciuman pertamaku," lanjutku, dan setelah itu aku langsung menundukkan wajahku karena malu.

Leon mengusap wajahku dan mendorong daguku ke atas supaya kembali menatapnya.

"Sungguh?"

"Iya. Dan jangan melihatku seperti itu. Aku malu."

"Boleh aku menciummu lagi?"

Aku mengangguk malu. Dan tak perlu waktu lama, sampai bibir kami kembali bertemu.

Rasanya sungguh manis. Semanis rasa cinta pertama.

Tbc

Cerita ini ratenya 15++ jadi adegannya nggak akan nyampe gimana-gimana. Kalau kalian baca lapak sebelah juga, pasti tau kalau Leon itu orangnya lumayan lurus 😳

Kalau aku nggambarinnya berlebihan, tolong kasih tahu ya.

Sorry for typos.

Thank you sudah mampir. Sampai jumpa di part berikutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro