❦ Epilog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hidup itu butuh perjuangan. 

Begitu kata-kata orang dewasa yang sering didengar Jungwon. Dulu, ia tak bisa mengerti frasa sederhana itu. Jadi, ia merajut hari-harinya tanpa tujuan yang berarti. Mungkin, tepat setelah ia memungut kepingan kelabu dalam satu episode hidupnya ini, seharusnya frasa pertama tadi menjadi sesuatu yang berarti. 

Jungwon merasa, berhasil kabur dari Niñogiz membuatnya seakan terlahir dua kali. 

Yang lainnya pun merasa begitu. Tak ada yang perlu disesali. Akhirnya, hal ini menjadi hal yang layak untuk dirayakan. 

Dua belas pemuda itu memesan kue dan banyak makanan manis. Mereka juga mengundang pria yang membantu mereka agar makan bersama. 

"Bisakah kau duduk di tempat lain saja?" tanya Heeseung tanpa menatap wajah Jungwon yang baru saja duduk di sebelahnya. 

Jungwon hanya menelengkan kepala, "Kenapa begitu?"

"Jangan di dekatku."

"Memangnya kenapa?"

Heeseung membuang muka. Kalau diingat lagi, pemuda Lee ini tampak menghindarinya sejak beberapa hari ke belakang. Jungwon sama sekali tak tahu sebabnya. Apa Jungwon pernah membuat kesalahan sebelumnya? 

Yeonjun menghampiri, lalu mengacak rambut Heeseung dengan brutal. 

"H—hei!"

"Anak ini masih merasa kalau kau tertembak itu karenanya." papar Yeonjun sambil tersenyum nakal. "Manis sekali, bukan?"

"Maafkan aku.. gara-gara aku, kau.." Heeseung menunduk. 

Jungwon tertawa kecil, lalu memeluk Heeseung dari samping. "Enggak usah merasa bersalah, sekarang aku sudah sehat. Lagian, nggak sakit kok!"

"Eyy, Heeseung manis sekali." goda Yeonjun, masih mengusak rambut Heeseung

"Hentikan! Nanti kalau rambutku rontok, nggak lucu kan!"

Sebelum mendapat bogeman mentah dari Heeseung, Yeonjun segera melarikan diri sambil menyunggingkan senyum nakal kemudian duduk di sebelah Soobin. 

"Beomgyu! Kau akan kehabisan kue kalau kau tidak cepat-cepat datang!" seru Soobin. 

Yang namanya baru saja dipanggil keluar dari kamar dengan raut tak bersemangat. "Duh, aku mimpi buruk lagi."

"Serius? Meteor lagi?" tanya Yeonjun. 

Beomgyu menggeleng, "Enggak tahu. Aku lihat ada orang berpakaian serba hitam yang sebelah matanya berwarna merah menyala, berdarah-darah dan sebelah lengannya terbuat dari besi. Dan ada beberapa orang lain di belakangnya, serupa. Menyeramkan."

"Pasti kau hanya butuh terapi. Sihyuk-nim! Bisakah kau memberikan pengobatan buat anak ini?"

Pria itu tersenyum teduh dan mengangguk pelan, "Apapun yang kalian butuhkan."

"BERISIK!"

Semua orang dalam ruangan menghentikan aktifitas mereka saat mendengar pekikan Sunoo. Dalam hati mereka membatin, ada apa lagi dengan anak ini? 

"Jangan mengatakan segalanya seolah kau tahu apapun yang bakalan terjadi! Memangnya kau peramal?!" bibir Sunoo mengerucut, ia duduk di sebelah Riki lalu mengambil sendok dan mencuil kue. 

Riki memutar bola matanya malas, "Sekarang apa lagi?"

"Makhyuk jeyek ichu,"

"Habiskan dulu kuenya baru bicara."

Kemudian setelah menelan kue, Sunoo melanjutkan, "Makhluk jelek itu! Dia masih terus-terusan bilang kalau kita dalam bahaya dan bakal mati! Siapa yang nggak kesal?"

Yah, meskipun pada akhirnya mereka berhasil kabur dari rumah sakit jiwa, segalanya masih membekas. Kejiwaan mereka belum sepenuhnya sembuh. Beomgyu yang beberapa hari ini masih bermimpi buruk, Sunoo yang masih sering berhalusinasi, kemudian sekarang Sunghoon yang mematung di samping jendela. Memandang sesuatu di luar sana, seolah itu adalah pemandangan paling menarik di dunia. 

"Hyung!" Jungwon menggoyangkan lengan Sunghoon, dan tak mendapatkan reaksi.

"Sebentar.."

"Ada apa, sih?"

"Ada yang.. ngawasin kita."

Jungwon lalu menyibak tirai, sinar matahari yang masuk segera membuat matanya memicing. Namun, yang ia dapati di luar sana hanya kekosongan belaka. 

Jungwon mendengus, "Kau pasti berhalusinasi, seperti Sunoo-hyung."

"Hmm.. tapi sungguhan tadi.." Sunghoon menelengkan kepala, memastikan keadaan di luar jendela. 

"Ayo, kau mau kehabisan kue?" Jungwon menarik lengan Sunghoon menjauh dan menutup tirainya. 

Semuanya akhirnya benar-benar duduk, menyantap makanan yang mereka pesan sembari bertukar kata dan cerita. Yang sebenarnya lebih mengarah pada menjelekkan si pria berinisial CHS kemarin. Mereka terbahak saat mengisahkan perihal bagaimana mereka menghabisi pria itu, dan terlupa akan kehadiran Sihyuk. 

"Kemarin, saya menemukan tulang tengkorak di kamar." ucap pria itu pada akhirnya. 

Oh, gawat. Pria ini mengetahuinya.  Apa pria ini akan melaporkan pada polisi kalau merekalah sebab kematian CHS? 

Kalau begitu, mereka tak boleh mengakuinya, cari sebuah alasan untuk menutupi kesalahan. Ini adalah peraturan pertama dalam menghindari hukuman. 

"Lalu kenapa?" timpal Riki santai. 

Sihyuk menghela napasnya, "Kemarin lusa, kalian tidak ada di rumah seharian."

"K—kami pergi beli eskrim di alun-alun kok!" Kai berujar kikuk. 

"Rumah sakit jiwa itu terbakar, dan tulang tengkorak ketua rumah sakit tidak ditemukan sampai sekarang walaupun polisi sudah memeriksa keseluruhan wilayah tersebut." jelas Sihyuk. 

"Terus kenapa?" mungkin nada bicara Riki menjadi agak sinis sekarang. Ia sedikit gugup kalau boleh jujur. 

"Itu ulah kalian, bukan? Dan tengkorak di kamar, itu milik ketua rumah sakit, bukan?" tanya Sihyuk, masih dengan nada kalemnya. "Anak-anak, tolong beritahu saya kalau saya salah paham."

Melihat Sihyuk yang tenang begitu, mereka jadi merasa berdosa kalau menutupi perbuatan mereka yang benar adanya. Lagipula, mereka tak ingin berbohong pada pria yang sudah membantu mereka tanpa syarat ini. 

"Tidak,"

"Ya, Taehyun?"

Taehyun menunduk, menghindari tatapan Sihyuk, "Kau tidak salah paham. Itu memang perbuatan kami."

"Begitu.."

"Dan.. kami sama sekali tidak menyesal melakukannya."

Lalu hening. Atmosfernya jadi sedikit berat. Semuanya canggung. Kecuali Sunoo dan Beomgyu yang tak ambil peduli dan mengunyah stroberi dengan santai. Keduanya justru hampir menyemburkan tawa melihat ekspresi teman-teman mereka yang menurut keduanya sangat lucu dan patut dipotret untuk dijadikan meme. 

"Saya paham."

Pandangan mereka terangkat, ke arah Sihyuk yang masih tersenyum simpul. Apa maksud dari perkataannya barusan? 

Ekspresi pria setengah baya itu sulit diartikan. Sangat tenang. Setenang seorang ibu yang berhasil menemukan anaknya yang tersesat. 

"Saya tak akan melaporkan pada polisi, tenang saja." Sihyuk beralih, meminum mix juice di meja.

"Terima kasih,"

"Lagipula, alasan saya melakukan ini semua, sebab putra saya juga mengalami hal yang sama, tahun lalu."

"Hal yang sama?" tanya mereka bersamaan. Penasaran. 

"Ya, putra saya juga pernah diculik dan dibawa ke rumah sakit jiwa itu. Tetapi dia berhasil kabur."

"Sungguhan?!" Beomgyu saking terkejutnya sampai menggebrak meja. Mulutnya masih belepotan krim kue. 

Sihyuk tertawa canggung, "Ya, syukurlah. Dia kabur bersama teman sekamarnya, walau tak semuanya berhasil keluar. Bukan apa-apa kalau dibandingkan kalian yang berhasil kabur bersama keseluruhan pasien."

"Tidak seluruhnya.."gumam Jay sendu. 

"Ada yang berhasil kabur sebelum kita? Sulit dipercaya." Soobin kemudian melahap potongan kuenya bulat-bulat. 

"Temannya yang tak berhasil keluar itu, malang sekali. Mungkin kalian kenal seseorang dengan nama Min Yoongi?"

Sekali lagi mereka dibuat terkesiap. 

"T-tentu saja."

"Syukurlah. Kalau kalian mengenalnya, berarti dia masih hidup. Pasti putraku senang mendengarnya dan ingin segera menemuinya." Sihyuk tertawa ringan. 

Sementara pemuda-pemuda di hadapannya mengatupkan mulut rapat-rapat. Apa yang harus mereka katakan pada Sihyuk? Bahwa mereka melihat Pak Min dibawa pergi. Namun, mereka masih sangsi akan kematiannya, tak yakin apakah ia terbunuh atau tidak. 

Jadi, mereka akan menutup mulut saja untuk sementara. 

✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈«

Sore itu, dia melihat sosok anak lelaki yang melambai padanya dengan senyum lebar di seberang trotoar, di halte bus, perempuan itu meragukan penglihatannya. Ia sudah mendengar segala berita di koran maupun televisi, tapi, benarkah yang ada di seberang jalan itu..? 

Sampai akhirnya sosok mungil itu memberengut kesal dan berteriak, "Kak! Ini sungguhan aku! Masa nggak percaya, sih!"

"Jungwon?" perempuan itu masih mematung di tempatnya. Senyumnya perlahan mengembang. 

"Iya, aku Jungwon, adikmu yang paling kau cintaa~"

Memalukan sekali, perempuan itu ingin berjalan menjauh dan berpura-pura tak kenal saja saat adik laki-lakinya berkata demikian. Tapi rasa rindunya mengalahkan perasaan malunya. Ia merindukan adiknya yang memalukan. 

Tapi ia menahan kakinya saat lampu pejalan kaki menyala merah, menandakan untuk berhenti. Dan hatinya seolah mencelos saat melihat Jungwon di seberang tengah berlari ke arahnya dengan bersemangat. Sementara itu, di jalanan, sebuah truk tengah melaju ke arah bocah itu, tanpa dia sadari. 

Refleks, perempuan itu ikut berlari ke arah adiknya. Ia mempercepat langkah saat menyadari jarak antara mereka dan truk tersebut makin menipis. 

"Kakak—hei!"

Sebelum ia mengutarakan kata-katanya, Jungwon ditarik —atau lebih tepatnya diseret lalu dilempar ke pinggir jalan oleh kakaknya itu. Tepat waktu. Tak ada yang cedera. 

"Bocah-bocah! Jangan main-main di jalanan! Berbahaya!" pengemudi truk itu berteriak kesal sebab ia terpaksa mengerem mendadak —menyebabkan truknya hampir oleng. 

Kakak Jungwon segera berdiri, mengibaskan pakaiannya dan menghadap si pengemudi, "Maafkan adik saya yang ceroboh." lalu membungkuk dalam-dalam. 

Saat mengetahui Jungwon hanya melongo tak paham, perempuan itu segera memaksa adiknya untuk ikut membungkuk. 

Setelah puas menggerutu, pengemudi truk itu membawa ergi kendaraannya dari sana dan lalu lintas kembali lancar. 

"Kau ini! Aku tahu kau bodoh tapi jangan menyeberang jalan seenaknya begitu! Kau kan sudah bukan anak kecil lagi! Setelah diculik lama, kau malah ingin menyusul ajal?"

Di depan kakaknya yang mengomel, Jungwon hanya mengerjapkan matanya polos. Dia kan sungguhan tidak sadar. Dia hanya terlalu senang bertemu dengan kakaknya. 

Setelah puas mengomel, kakak perempuan itu terdiam, tampak sedikit mengatur napasnya. Sepertinya mengomel terlalu cepat tadi. Bagaimana lagi, dia sangat khawatir. Masa baru saja melihat adiknya setelah diculik entah kemana, ia akan melihat adiknya tertabrak truk? Kan tidak lucu. 

Lalu ditatapnya lamat-lamat wajah Jungwon. Perempuan itu sadar betul, banyak luka tergores disana. Bahkan tangan Jungwon tadi terasa kasar sebab banyak bekas lukanya. Ia dengar dari berita pula, anak-anak yang diculik disiksa dengan hebat. Persis seperti mimpi kakeknya sebelum meninggal. Hingga akhirnya anak-anak itu perlahan menggila. 

Apa adiknya sekarang juga sudah berubah jadi gila? Ah, sejujurnya dia tak peduli, karena yang di depannya ini masihlah adiknya yang imut dan nakal. 

Lalu, pada akhirnya lengan perempuan itu membungkus tubuh Jungwon, memeluknya erat. "Mungkin kedengaran menggelikan, tapi sungguh, aku merindukanmu."

Langit sore itu cerah sekali, ditaburi beberapa semburat awan berwarna jingga. 

Jungwon tertawa kecil, ia bahagia. Sungguh.

"Aku juga." kemudian lengannya ikut membalas pelukan yang diberi kakaknya. 

Keduanya meluapkan rasa rindu mereka dalam pelukan erat yang berlangsung lama itu. 

"Jarang-jarang kau memelukku, kak. Rasanya nyaman sekali." ucap Jungwon. "Tapi jni erat sekali, aku susah bernapas."

"Berisik!"

Jungwon terkekeh sebentar, lalu meringis. "Kak, kemarin bahuku tertembak, loh. Kalau kau memelukku begini, rasanya berdenyut-denyut. S—sakit!" Jungwon memekik tertahan saat kakaknya justru mengeratkan pelukannya. 

"Aku nggak peduli. Aku kan lagi kangen."

"K—kejam!"

Kakaknya akhirnya melepaskan pelukan itu lalu meraih tangan Jungwon dan membawanya pergi dari sana. Jungwon meringis meraba-raba bahunya, semoga jahitannya tak terbuka. 

"Ayo bertemu ibu," ajaknya kakaknya. 

Jungwon mengangguk antusias hingga poninya ikut bergoyang. Rasa rindunya pada ibunya sangat membuncah sekarang. Pertama-tama, sepertinya Jungwon harus meminta maaf dahulu karena ia tak menghadiri pemakaman kakeknya. 

Sepanjang perjalanan, Jungwon terus mengoceh tentang hal-hal yang terjadi selama berada di rumah sakit jiwa itu. Lalu bagaimana ia dan teman-temannya menghabisi si ketua, tentu saja setelah meminta kakaknyaitu untuk merahasiakannya dari semua orang. 

"Wah, aku sangat merindukan wajah Ibu."

"Setelah ini, kau pasti akan sangat dimanja oleh Ibu."

Senyuman Jungwon merekah lagi, "Kalau begitu aku akan meminta Ibu memasakkan kare yang sangat banyak. Lalu aku juga mau donat cokelat! Lalu dakgalbi dan tteokbokki. Oh ya, kak, aku juga berpikiran untuk pindah sekolah!"

"Kau ini.. " kakaknya menggeleng pasrah, "Baru datang kenapa merepotkan sekali?"

"Begini begini kau juga merindukanku kan?" Jungwon menyeringai nakal. 

"Diam!" kakaknya menampar bahunya. 

"Sakit!"

Dan beberapa saat sebelum matahari beranjak ke peraduannya, keduanya sampai di depan rumah. Tak banyak yang berubah. Aroma rumahnya yang khas itu, benar-benar Jungwon rindukan. 

Lalu, saat ia melihat wajah ibunya dan maniknya yang berair, Jungwon segera menghambur ke pelukannya. Saat rindunya telah terlunaskan, disitulah Jungwon sadar. 

Berakhir. Semuanya sudah berakhir. Setelah ini, segalanya akan baik-baik saja. 

Tidak akan ada yang mencambuk punggungnya lagi. 

Tidak akan ada yang membuatnya menyayat pergelangannya lagi. 

Tidak akan ada yang membuatnya merasa paranoid lagi. 

Semuanya sudah berakhir. 

Pada mentari yang berubah menjadi warna oranye, ia tersenyum. Merasa sangat bersyukur dan diam-diam memuji Tuhan dalam hati. Pada akhirnya, hidupnya yang biasa-biasa saja ini terasa sangat spesial. Pada akhirnya, Tuhan memberinya kesempatan untuk mencecap kebebasan dan bahagia. 

—tamat. 










[ Kaze's note ; wah, cerita ini selesai lebih cepat daripada perkiraan saya. Kepada semua orang yang telah mendukung, membaca, memberi bintang dan meninggalkan komentar, terima kasih banyak! Sungguh.

Akhirnya anak-anak gila kita bebas dari kekangan! Semuanya berkat bantuan kalian! Terima kasih banyakkk, aku cinta kalian <3

Sebelum itu, apa ada yang sadar? Ada yang ketinggalan, tapi bukan kepala pak ketua rumah sakit? 

Heheh, sampai jumpa! ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro