❦ Still [20]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kini giliran kita." 

Laki-laki bermarga Lee itu menggenggam pistolnya, sedikit resah. Kini tinggal dirinya, Jungwon, Riki, Taehyun serta Kai saja di rumah sakit. Ah, jangan lupakan sang Suster yang asanya masih belum pupus untuk keluar dari ruangan penjara, tempat dimana ia dan si hewan buas terkunci. 

"Ayo, jangan khawatir begitu. Yeonjun hyung, Jay, Sunghoon dan yang lainnya pasti sudah menghubungi polisi. Kita sebentar lagi selamat, tinggal keluar dari bangunan rumah sakit ini saja." papar Taehyun.

Setelah satu helaan napas, Heeseung mengangguk, "Ya, ayo bergerak."

Akhirnya mereka keluar dari ruangan, bergegas melintasi ruang penjara yang masih berisik dengan suara peluru yang meluncur. Entah berapa banyak amunisi yang Suster Sarah bawa. 

Merinding? Tentu saja. 

Pasalnya dua makhluk yang masih tengah saling menyerang dalam ruang penjara itu bermandikan darah. Segel kunci penjara itu memang sangat kuat, tampak telah ditembaki berkali-kali tetapi masih belum terbuka. 

Yah, mungkin sedikit lagi. Beberapa tembakan lagi. 

Suster Sarah meludahkan darah, "Tidak boleh pergi! Kalian harus dihukum!"

Riki dan Jungwon bergidik, menatap figur Suster yang kini berubah horor. 

"Jangan dipedulikan, jalan saja." perintah Taehyun dingin.

Heeseung yang memimpin, pasalnya ia merasa bertanggungjawab sebab ia yang tertua disini. Langkah kaki mereka berderap, menaiki tangga berpilin, lalu menyongsong keluar dari pintu utama rumah sakit. 

Langit belum cerah, fajar bahkan belum bernapas. Lapangan berumput luas di hadapan mereka gelap sekali. Padahal kebebasan sudah menanti di ujung sana. 

"Senter?" tanya Heeseung. 

Kai menggeleng, "Sepertinya senter terakhir sudah dibawa oleh kelompok sebelum kita."

Heeseung menghela napasnya lagi, entah untuk kali ke berapa.

"Tidak apa-apa, kalau bersama kita pasti bisa menemukan jalannya walau gelap."

Lelaki itu memberanikan dirinya sendiri, mengacungkan senjata ke arah depan, untuk jikalau ada Suster lain disana dia akan menembaknya dengan mudah. Begitu pikirnya. 

Mereka bergegas, setengah berlari menginjaki rerumputan yang agak basah, walau pandangan mereka bagai buta sebab gulitanya malam. Langkah terus berlanjut, bagai berpacu dengan ketiadaan. Napas mereka kiranya sudah mulai putus-putus.

Tetapi mereka masih berlari. Terus. Hingga mereka sadar bahwa mereka telah melewati gerbang rumah sakit dan mulai memasuki hutan. 

"Sebelah sini!" 

"Sebentar.." Kai menyandarkan dirinya pada sebongkah batu besar, mengatur napasnya yang berantakan. 

Heeseung menggeleng kukuh, "Kita harus bersegera menjauh, ayo, aku yakin anak sungainya pasti berada di dekat sini."

Pemuda Kang yang sedari tadi bungkam pun tak menoleh, terus menaati jejak Heeseung.

Kai mau tak mau harus melangkahkan kakinya lagi, ia sudah kelelahan. Namun, ia harus mengikuti jejak Heeseung kalau tak ingin tertinggal. Sebab pemuda yang tertua ini tampak sedikit ... kesetanan. Raut kalut luar biasa dan tungkai yang terus berlari tanpa peduli apakah dia sendiri penat atau tidak. 

Apakah Heeseung ketakutan? 

Ketiga pemuda itu dengan cepat melintasi anak sungai, mengikuti arusnya yang mereka yakini akan menuntun mereka menuju Sungai Han.  Suara debur arus sungai yang deras mampu membuat kalbu sedikit tenang. 

Tidak apa-apa, mereka pasti bisa lepas dari kekangan Suster malam ini. 

Ketiganya terus melangkah tanpa menoleh ke belakang punggung mereka. 

Ya, ketiganya. 

Mereka meninggalkan dua pemuda lain jauh di belakang. 

✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈«

"Kami bilang, pergi." suara dingin perempuan itu tak membuat keduanya beranjak. Justru masih diam membeku. 

"T-tidak mau! Jawab dulu, kenapa kalian masih disini?" suara Jungwon bergetar. Bercampur sudah kesal, marah dan gusar. 

Riki mengangguk kecil, "Bukannya anak-anak perempuan seharusnya sudah pergi lebih awal?"

Eunha berdecih, "Jangan keras kepala, pergi. Sebelum Suster Sarah berhasil  keluar."

"Kak! Mana mungkin kita meninggalkan kalian, k-kalau Suster Sarah nanti..."

Kemudian, kata-kata yang ingin Jungwon ucapkan pada akhirnya tak lolos. Kenapa kakak-kakak perempuan ini tak mau pergi? Apa mimpi mereka untuk bebas sudah lenyap? Apa mereka berkeinginan bunuh diri? 

Entah apa yang hinggap di benak mereka, tetapi mereka terus menggeleng kukuh saat diajak pergi oleh Jungwon dan Riki. Tepat di depan gerbang utama rumah sakit. Beberapa langkah menuju kebebasan mereka. Kakak-kakak perempuan ini menolak kebebasan itu mentah-mentah. 

"Mau kalian bersujud atau bertaruh demi apapun saja, kami enggan beranjak." ujar Yuju, memalingkan muka. 

"Kak ... kenapa?"

Hening tiada berbuah jawaban. 

"Jawab, dong!" desak Riki. 

Yuju pun bergumam, "Anggap saja ... untuk menebus dosa kami."

Jungwon tercekat, "Dosa? Apa yang kalian lakukan sebelumnya sudah kami maafkan dan sudah lebur, tak semestinya disebut dosa!"

"Kau bisa saja bilang begitu. Tapi rasa bersalah dalam diri kamilah yang membuat hal itu pantas disebut dosa." 

"Jadi biarkan kami disini, menebus dosa kami pada kalian. Apapun yang terjadi pada kami nanti, seharusnya setimpal untuk menghilangkan rasa bersalah ini." imbuh Sowon. 

Tiba-tiba saja, suara tembakan dari dalam bangunan rumah sakit terdengar. 

Satu kali. Tidak, dua, tiga, bahkan berkali-kali. 

Dan suara itu kini terdengar dari depan pintu utama rumah sakit. Disitulah, Suster Sarah yang berhasil keluar dari ruang penjara yang ia ciptakan sendiri. Kepalanya berlumur darah, mungkin mata cokelatnya yang dingin itu terluka. Begitu pula, sebelah lengannya tampak robek parah, terkoyak dan mengucurlah darah dari sana. 

Mengenaskan. 

Tetapi wanita tangguh nan bertekad itu masih hidup. Tekad untuk membunuh para cecunguk yang membuat seluruh pasien kabur. 

"Tidak boleh kabur!" jeritnya murka, "Akan kubuat kalian memekik sakit sepuas kalian sebelum akhirnya kucincang usus kalian!"

Para perempuan itu kemudian kembali menatap dua anak laki-laki yang tampangnya ketakutan ini. 

Eunha menepuk bahu Jungwon lalu berbisik, "Bukankah kami ini bagaikan putri salju? Putri salju yang mati demi temannya. Putri salju yang tenang menghadapi kematiannya, lalu pergi mengikuti malaikat pencabut nyawa ke tempat yang jauh, tempat yang lebih bebas. Seperti itulah, tak ada yang perlu disesali dari kematian sang putri, karena sejatinya ia telah bahagia."

Pemuda Yang itu tertegun. Apa-apaan. Ini benar-benar semacam deklarasi bunuh diri. 

Tembakan lagi. Suster Sarah yang tengah menyeret kaki berdarahnya itu membidik dan meloloskan sebuah peluru. Sayangnya meleset. 

Kemudian Eunha tersenyum, lalu berkata, "Pergi, kami akan tutup gerbangnya sehingga Suster tak mampu mengejar kalian berdua."

"Tapi aku tak mau pergi kalau kalian..."

"Shh, jadilah anak baik dan menurutlah."

Suara besi berat bergerak, gerbangnya perlahan menutup, bersamaan dengan fajar yang mulai menerbitkan semburat cahaya pada nabastala. 

Suster Sarah membidik tepat pada dua anak laki-laki di seberang gerbang. 

Dan, bersamaan dengan lolosnya peluru itu, Eunha mendorong Jungwon dan Riki kuat-kuat, kemudian gerbang besi pada akhirnya menutup sempurna disertai jeritan murka sang Suster. 

Jungwon dan Riki terjatuh ke belakang. Yang termuda mengerang sedikit, kemudian panik karena mendengar suara tembakan beruntun dari balik gerbang. 

"Hyung, kalau kita bisa pergi dan memanggil polisi dengan cepat, pasti mereka bisa selamat." Riki berdiri, mengatur napasnya sejenak. 

"B-benar.."

"Ayo," Riki mengulurkan tangannya, "Hyung? Apa ini?"

Jungwon mengibaskan tangannya lalu tertawa canggung, "Tidak."

"Tembakan Suster yang tadi mengenaimu?!" 

Baiklah, kini Riki sungguhan panik. 

Peluru itu bersarang di bahu Jungwon, darahnya mengalir deras dan sekarang Jungwon sudah tampak sangat pucat dan hampir pingsan. 

"Enggak apa-apa, enggak sakit kok. Ayo,"

Jungwon menekan bahunya, memaksakan senyum.

"Sungguhan tidak apa-apa?" suara Riki bergetar. 

Yang termuda kini memapah yang terluka, berjalan perlahan dalam hutan yang masih gelap. Ah, Heeseung, Taehyun dan Kai pasti sudah jauh di depan mereka. 

Luka Jungwon masih terus mengalirkan darah, menyebabkan pemuda itu kini menjadi sangat lemas. 

"Kugendong saja, naik ke punggungku."

Menurut, Riki kini menggendong Jungwon di punggungnya, berjalan sedikit lebih cepat. 

"Kau tahu dimana anak sungai kan?" tanya Riki. 

Yang ditanya hanya menjawab dengan gumaman tak jelas, tetapi Riki paham ia barusan berkata 'Iya'. 

"Jangan tutup matamu, terus bicara padaku."

Riki melangkah melintasi hutan sembari terus berkonversasi dengan Jungwon, berharap ia tak akan pingsan, meskipun suara Jungwon terlalu lirih untuk didengar.  Sebab Riki tak tahu akan bagaimana jadinya apabila Jungwon pingsan. Riki sama sekali tak tahu menahu tentang rute menuju Sungai Han. 

Ia terus melangkah, jauh. Ia rasa. 

Lalu pada akhirnya tungkainya berhenti, pemuda kelahiran 2005 itu mengatur degup jantungnya. Jujur saja, jantungnya masih begitu pair. 

"Hyung, anak sungainya dimana?" tanyanya begitu napasnya kembali teratur. 

Namun, sunyi. Tak ada jawaban lirih Jungwon seperti sebelumnya. 

"Hyung? Hyung!"

Riki sedikit menggoyangkan tubuh Jungwon, tak ada pergerakan. Jungwon sudah tak sadar.  Apa pada akhirnya ketakutan Riki terwujud? 

Gelap. Senyap. Tak tahu arah. Sementara kakaknya dalam keadaan sekarat. Dan ia sendirian. 

Riki panik. 

Ia akhirnya menangis. Membasahi kaus putihnya yang kini berubah merah sebab darah Jungwon. 

"Hyung, bagaimana ini..?"

✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈«

[ Kaze's note :  Hai kalian :') 

Aku mau minta maaf sebesar-besarnya karena udah buat kalian nunggu dan aku ingkar janji, telat sebulan. Ini semua salah aku yang salah lihat pengumuman, aku pulangnya ternyata April bukan Maret huhu. Maaf banget ya kalian. Maaf juga kalau bab ini  kurang bagus, kurang ngena, kurang bangeeet soalnya aku cepet cepet nulis, kepikiran kalian yang nungguin :"

Dan terima kasih banyak juga masih nungguin dan dukung cerita aku yang masih kurang banget. Terima kasih!  Aku akan usahain untuk segera tamatin cerita ini sebelum aku kembali sibuk :") Nantikan kelanjutannya ya~]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro