👒 ANTARIKSA 14 👒

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

****

Semua penghuni kelas Akselerasi masih tinggal di kelas saat kelas lain sudah sepi. Seperti hari-hari sebelumnya, pelajaran yang harus mereka kejar tidak sedikit. Dengan beberapa teori serta rumus yang harus mereka hafalkan juga. Maka jangan terkejut, saat melihat tubuh anak-anak Aksel yang kerempeng, tapi memiliki otak yang cemerlang.

“Mala, lo pulang sama siapa? Gue tadi baru ke toilet, tapi di luar sepi. Kayaknya Kak Gerry udah pulang,” bisik Melody pada Nirmala saat Bu Wati sibuk dengan ponselnya.

Nirmala enggan menjawab, dia hanya menggeleng pelan. Tidak ingin terlalu dalam memikirkan tentang kekasihnya itu. Meski sebenarnya ia juga banyak berharap Gerry bisa sehangat dulu.

Melody mencebik saat sisi lain Nirmala muncul, tidak akan peduli sekitar saat jam pelajaran sedang berlangsung.

*****

“Lo nggak ke sekolah, Bos?” tanya Haikal yang sedang mengapung di atas kolam renang.

“Ngapain balik ke sana? Sekolah juga udah bubar dari tadi.” Gerry kembali menyelam setelah keluar ke permukaan untuk menjawab Haikal.

“Biar gue aja yang jemput Nirmala,” sahut Soni yang hanya berdiam diri di atas sofa. Memetik gitar untuk mengiringi lantunan lirik yang ia ucapkan.

Haikal mengubah posisinya, menatap terkejut pada sosok Soni yang paling pendiam di antara mereka. “Lo suka sama Nirmala?” Soni tersenyum simpul atas pertanyaan Haikal.

“Kalau lo mau belajar pacaran, mending cari cewek lain, Son. Jangan coba-coba rebut milik temen sendiri.” Wildan ikut menimpali. Ia berdiri di tepi kolam bersama Haikal, menunggu jawaban Soni.

Lelaki itu malah tertawa. “Kalian nggak usah ngaco. Gue nggak tertarik sama cewek lemah kayak Nirmala. Sekalipun gue belum pernah pacaran, gue bisa bedain mana cewek yang pantes buat gue jadiin pacar. Umur Nirmala juga masih jauh dari kata ‘cukup’. Buat kalian juga, jangan mudah tertarik dari fisik seseorang, tapi lihat juga dalamnya.”

“Iya, Ustadz Soni,” jawab Haikal malas sembari menarik Wildan ke dalam kolam.

“Jadi gimana, nih? Nirmala gue yang jemput?” Soni berteriak agar suaranya terdengar oleh semua temannya.

“Nggak usah, palingan juga bareng sama Damar. Lo lanjutin nyanyi aja. Nggak usah bawel.” Gerry kembali menyelam ke dalam kolam setelah menjawab pertanyaan Soni.

Soni kembali memainkan jari lentiknya pada senar gitar cokelat tua itu. Teman setia dalam berbagai waktu. Mengikis waktu dengan melodi-melodi indah. Ia sudah muak dengan segala sikap Gerry.

*****

“Lo nginep sini, ya? Sekali-kali gitu, Mala,” harap Melody penuh.

“Oke ...,” jawab Nirmala, “lain kali. Gue coba tanya ayah sama ibu dulu. Gue itu nggak terbiasa tidur di rumah orang, Mel. Di rumah nenek aja gue nggak bisa tidur,” sambungnya.

Melody hampir saja berteriak girang saat malamnya akan berbeda jika Nirmala tinggal semalam di sini. Akan tetapi, jawaban Nirmala mengurungkan kebahagiaan Melody yang belum tercipta.

Nirmala mengambil tempat di atas pembaringan milik Melody. Menggunakan alas kepala saat tubuhnya menelungkup. “Mel, Kak Gerry kenapa, ya? Kenapa dia jadi kasih jarak sama gue? Atau penyakitnya ... kambuh?” tutur Nirmala yang membuat Melody menatapnya tercengang.

“Penyakit? Memang Kak Gerry sakit, La? Perasaan tuh anak selalu segar bugar.” Melody mengikuti posisi Nirmala.

“Gue tau dari Damar kalau Kak Gerry ada kanker, Mel. Dia selalu tertawa untuk menutupi luka yang sebenarnya. Damar juga berusaha buat Kak Gerry selalu merasa dirinya berharga di sisa umur yang nggak tahu kapan berakhir,” terang Nirmala.

“Gue nggak nyangka, astaga,” desis Melody.

“Pertama gue juga pikir itu nggak bener, Mel. Tapi gue denger dari orang terdekatnya sendiri. Kak Gerry nggak tahu kalau gue udah tahu masalah ini. Gue mau jadi orang terdekatnya, Mel. Saat dia butuh teman atau seseorang yang bisa menghapus rasa sakit dengan kehadiran gue. Dan sebelum gue kasih kebahagiaan itu, Kak Gerry udah ngejauh dari gue.”

“Mungkin dia nggak mau jadi beban buat lo, Mala. Dia juga pasti berat di posisi kayak gini. Ingin berbagi pun nggak akan ngilangin penyakitnya. Lo doain yang terbaik aja buat dia, gue bantu.” Melody menyentuh pundak Nirmala untuk memberi keyakinan.

Nirmala menarik sudut bibirnya sembari menatap Melody. “Thanks, Mel, tapi kayaknya gue emang salah masuk ke dalam kehidupan Kak Gerry. Dari awal harusnya gue sadar dan sekarang itu semua sudah terlambat.”

Melody merubah posisi dengan menghadap langit-langit kamarnya yang tak bercorak, hanya warna putih yang ada. “Makanya gue takut sama bangsa cowok. Mereka itu kayak ular sawah, nggak berbisa tapi mematikan. Gue sempat mau kasih peringatan juga buat lo, tapi gue pikir kalau kita dulu nggak sedekat sekarang,” ujarnya kemudian.

Lama mereka terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Nirmala pikir setelah Melody dan Mail berbaikan, mereka bisa menjadi sepasang kekasih seperti yang ia dan Damar rencanakan. Namun, setelah mendengar perkataan Melody barusan, ia akan kasihan pada Mail jika menjadi sasaran Melody. Bukan Mail yang akan membunuh Melody dengan bisa cinta, tapi Melodylah yang akan menerkam Mail dengan cakaran elang. Pikiran itu spontan membuat tubuh Nirmala menggeriap.

“Kenapa lo?” tanya Melody yang menangkap gerakan Nirmala meski sangat pelan.

Nirmala menampilkan cengiran seraya terkekeh. “Nggak apa-apa, kok. Anterin pulang, yuk, Mel. Udah jam delapan aja, sih.” Nirmala bangkit dari tempat tidur setelah melihat jam dinding kamar Melody.

“Makanya gue bilang tidur sini aja. Nyokap lo pasti ngizinin.” Melody duduk memperhatikan Nirmala yang merapikan isi tas ranselnya.

“Emang lo mau nganterin gue pulang tengah malem? Ayok, ah!” Nirmala segera menarik tangan sahabatnya itu. Apa pun rayuan Melody tidak akan merubah keputusannya untuk pulang.

*****

“Ini pesanannya, Non.” Seorang lelaki dengan kulit cokelat gelap itu memberikan kotak dari plastik pada Jasmin.

“Terima kasih,” ucap Jasmin. Pelayan itu menunduk kemudian menjauh dari hadapan Jasmin, Gibran serta Kenanga Sari Alessandra–Mommy Jasmin. Mereka bersiap menuju tempat pemotretan Jasmin.

“Apa itu, Jasmin?” tanya Sari dengan logat kebarat-baratan seraya merebut paksa kotak yang dipeluk oleh putrinya itu. “Don’t eat carelessly, Jasmin! Bisa saja makanan itu akan merusak tubuh ideal kamu. Bukan begitu, Gibran?” Sari menengok pada Gibran yang sudah terlebih dulu ditatap tajam oleh sang kekasih.

Susah payah Gibran membasahi tenggorokan yang tercekat. “Yes, Mom,” jawabnya. Urusan Jasmin bisa diatasi dengan satu lusin boba.

Mom, ini aku pesen buat Mommy. Bukan buat aku,” desis Jasmin. Tidak menyangka jika Gibran lebih memihak pada mommy-nya.

What is that? Mom sepertinya tahu apa yang kamu pegang itu.” Sari menajamkan indra penciumannya. Lalu membuka kotak itu secepat badai berlalu.

Sedangkan, putri semata wayangnya melebarkan lubang hidung atas sikap orang yang paling berharga sepanjang jalan kenangan. Untungnya, ia tidak meniru semua yang ada pada diri Sari. Jasmin lebih condong kepada daddy–Mario Steven Antariksa. Cuek dan sedikit bicara. Berbanding jauh dengan Sari yang selalu berkomentar atas apa yang tertangkap oleh penglihatan dan pendengaran, semua itu tidak akan luput dari komentar pedas Sari.

Are you kidding me, Dear?” Sari menatap bingung pada Jasmin. “Untuk apa kamu membeli cake aneh seperti ini? Jangan makan makanan seperti itu!” Sari meletakkan benda persegi dengan macam-macam kue yang sudah Jasmin pesan ke atas meja marmer dengan sedikit keras.

“Cobain dulu, Mom. Ini tidak seburuk yang ada dalam pikiran Mom,” bujuk Jasmin pelan.

No, thanks. Kita harus berangkat sekarang.” Sari melangkah meninggalkan ruang tamu terlebih dahulu.

Gibran mengumpulkan suara sebelum memanggil Jasmin dengan sangat lembut. “Sweety ....”

“Pacaran aja sana sama Mom!” bentak Jasmin cepat seraya mengejar Sari. Tidak lupa kotak yang berisikan cake tadi juga ia bawa.

“Astaga, kenapa kotak kusam itu kamu bawa, Jasmin? Banyak kuman yang menempel. Buang aja!” Belum juga Jasmin mendaratkan pantat di atas jok mobil, suara lembut itu kembali menggema.

“Cobain dulu, Mom.” Dengan terpaksa, Jasmin memasukkan potongan brownies bertabur keju ke dalam mulut Sari. “Jangan asal komen dulu sebelum tahu gimana dalamnya. Tampilan boleh jelek, tapi kualitas harus oke.”

Jasmin menatap sekilas pada Gibran yang baru saja masuk dan duduk di depan, di samping pak sopir. “Jalan, Pak!” titahnya.

“Kamu beli di Amindu, 'kan? Rasanya meleleh banget di mulut, Sayang. Lagi, ya, masih lapar.” Sari mengambil potongan brownies baru dengan tisu.

“Ini punya ibu temen aku, Mom. Aku udah lihat cara pembuatan serta kebersihannya. Semua aman.”

“Oke. Mom percaya sama kamu.” Pernyataan Sari dengan mulut penuh makanan hanya didengar oleh Jasmin. “Mulai besok, Mom mau jadi pelanggan. Bilang sama ibu teman kamu itu, nanti biar diambil sama Slamet lagi.”

“Siap, Mommy!” jawab Jasmin bahagia. Rencananya berhasil meski sebelumnya harus melihat drama dari Sari.

“Minggu depan Mom ada arisan di rumah. Tolong kamu pesankan sepuluh atau berapalah. Per cake satu box. Apa Mom harus ke sana sendiri?”

“Biar aku aja, Mom.”

Sari mengangguk, ia sudah selesai makan, dan sekarang beralih melihat i-phone untuk melihat jadwal kesibukan Jasmin. Hati Jasmin bahagia, akhirnya ia bisa membantu keluarga Nirmala.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro