14-Berunding

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Mahar bukanlah tanda jadi dalam jual beli, maka tak seharusnya dipatok dengan harga tinggi.

KEBANYAKAN orang tua zaman sekarang lebih merasa malu jika anaknya dinikahkan secara sederhana dengan mahar semampunya. Namun, mereka tidak pernah merasa malu jika anaknya menjalin hubungan haram, bahkan tak jarang malah dibangga-banggakan.

Para orang tua terkesan asing dengan agamanya sendiri, mereka begitu gencar mengompori sang putra dan putri untuk berpacaran padahal agama sudah sangat tegas melarang. Giliran pihak laki-laki ingin menghalalkan, malah diberi syarat yang memberatkan. Sangat bertolak belakang kala si pria mengajak keluyuran, langsung diberi lampu hijau tanpa banyak tuntutan.

"Apa Mas gak bisa sedikit bernegosiasi dengan pihak keluarganya Mbak Rumi? Seratus juta bukanlah uang yang sedikit."

"Mas sudah berusaha semampu Mas, tapi orang tua Rumi bersikukuh dengan keputusannya."

Aku memijit pelipis yang mendadak berdenyut nyeri. Mendengar penjelasan Mas Rezza membuat kepalaku semakin pusing.

Dituntut untuk memberikan uang seratus juta sebagai mahar, belum lagi harus memfasilitasi biaya pernikahan. Ditambah pula dengan hantaran yang kuyakini akan memakan uang cukup besar. Biaya nikah zaman sekarang memang tidak murah.

Menikah itu mudah, tapi akan menjadi susah jika kasusnya seperti yang Mas Rezza dan Mbak Rumi alami. Orang tua yang tidak kooperatif serta banyak menuntut.

"Tabungan yang Mas punya berapa?" tanya Bang Fariz akhirnya ikut angkat bicara.

Saat ini kami sedang berada di kediaman Bapak dan Ibu, sengaja berkunjung untuk membahas ihwal permasalahan Mas Rezza. Namun, kebetulan orang tuaku sedang berada di kebun, jadi hanya ada ketiga kakak lelakiku saja.

"Mungkin hanya setengahnya dari mahar yang orang tua Rumi minta," jawab Mas Rezza terdengar lesu tak bertenaga.

Rasa pening yang kurasa kian menjadi mendengar pengakuan Mas Rezza. Kalau seperti itu, jelas masih kurang banyak. Pantas Bapak dan Ibu berani mengambil keputusan untuk menjual tanah mereka.

"Memangnya Mbak Rumi gak bisa membujuk orang tuanya? Setidaknya jangan sebanyak itu. Dikira Mas Rezza ini anak konglomerat kali."

"Sudah dicoba berulang kali, tapi gak membuahkan hasil sama sekali," sahut Mas Rezza terdengar putus asa.

"Belum nikah sudah banyak nuntut, kamu yakin bisa hidup di bawah tekanan dan bayang-bayang calon mertua kamu nantinya, Za?" cetus Mas Razzy yang sedari tadi menyimak.

"Orang tua kalau kasih syarat yang memberatkan, itu tandanya mereka gak setuju sama hubungan kalian!" timpal Mas Khairi.

"Lebih baik putus daripada kamu gila karena harus memenuhi permintaan mereka. Perempuan masih banyak, gak hanya Rumi aja," imbuh Mas Razzy memojokkan.

"Kami berpacaran sudah lama, masa iya harus kandas. Lagi pula kami saling mencintai," sahut Mas Rezza menolak mentah-mentah saran yang dilayangkan Mas Razzy.

"Dalam pernikahan cinta itu hanya 10% saja, sisanya komitmen, komunikasi, dan saling percaya. Menikahi perempuan yang kamu cintai itu harapan, tapi mencintai perempuan yang kamu nikahi itu merupakan kewajiban. Jangan terlalu dibutakan sama cinta yang belum jelas akan kamu miliki, Za," saran Mas Khairi terdengar lebih ramah di telinga.

"Kalau ngomong doang sih gampang, tapi buat ngejalaninnya gak sesederhana itu, Mas!"

"Mas Rezza gak kasihan sama Ibu dan Bapak? Mereka kelimpungan nyari uang tambahan, apa gak sebaiknya turuti saran Mas Razzy dan Mas Khairi," kataku sehalus mungkin. Takut memantik kemarahan Mas Rezza.

"Apa kamu gak bisa memposisikan diri sebagai Mas, Nia?!"

Bibirku langsung terkatup sempurna, bahkan kepalaku pun menunduk seketika.

"Apa yang Nia bilang benar. Seharusnya kamu bisa lebih bersikap dewasa, Za. Gak semua hal yang kamu inginkan bisa kamu miliki, mungkin Rumi memang bukan jodoh kamu," sela Mas Khairi.

Tanpa sepatah kata pun Mas Rezza berlalu memasuki kamar, dari sudut mata aku bisa melihat raut kemarahan di sana. Aku hanya mampu beristigfar dalam hati, Mas Rezza memang sumbu pendek. Gampang tersulut emosi.

Bukan maksud hati memojokkan, tapi kurasa itu memang jalan keluar terbaik. Aku sama sekali tak bermaksud untuk menyinggung Mas Rezza, tapi aku tak tega melihat Ibu dan Bapak yang kebingungan mencari dana. Mereka sudah tua, masa iya harus terus direpotkan dengan masalah anak-anaknya.

"Fariz bantu biayai pernikahan Mas Rezza," putus Bang Fariz membuat bola mataku hampir meloncat dari tempatnya.

Apa aku tidak salah dengar?

"Gak usah, biar ini jadi urusan kami. Kamu gak perlu ikut pusing tentang masalah ini, Riz," ungkap Mas Khairi.

"Fariz serius ingin membantu, daripada Bapak dan Ibu harus menjual tanah mereka, lebih baik pakai uang yang ada saja," tuturnya begitu lancar.

Mas Razzy menggeleng tegas. "Duit sebanyak itu mubazir kalau cuma buat biaya nikah. Lebih baik dipakai usaha jangka panjang yang jauh lebih menjanjikan."

"Abang punya uang sebanyak itu memangnya?" tanyaku penasaran.

Seketika tawa kencang Mas Razzy dan Mas Khairi pun terdengar. Apa yang tengah mereka tertawakan?

"Dasar bocah! Aset suami kamu itu gak kehitung, Mas yakin uangnya juga gak berseri, dan bodohnya kamu masih nanya gitu? Ngaco kamu!" sembur Mas Khairi.

Mataku mengerjap beberapa kali. Menuntut penjelasan lebih dari suamiku yang misterius ini. Jangankan aset dan tabungan, gaji yang Bang Fariz terima pun tak pernah kuketahui jumlahnya.

"Sudah, Riz, kamu gak usah repot-repot keluar uang. Kalaupun Mas punya juga gak akan Mas kasih, bukannya pelit tapi Mas kurang suka dengan cara orang tua Rumi yang seperti tengah memeras Rezza. Mas khawatir jika hubungan mereka dilanjutkan, pasti akan banyak tekanan dan tuntutan yang Rezza rasakan," terang Mas Razzy.

Ujian dalam pernikahan itu memang beragam, dan salah satu pemicunya datang dari pihak mertua. Aku cukup mengerti akan keresahan yang Mas Razzy dan Mas Khairi rasakan, sebab aku pun merasakan hal yang serupa.

Bang Fariz mengangguk pelan. "Tapi kalau perlu apa-apa kabari Fariz aja yah, Mas."

Mereka mengangguk dan tersenyum.

"Mas minta tolong sama kamu bisa, Nia?" tanya Mas Khairi.

"Apa?"

"Coba kamu bicara dari hati ke hati sama Rumi, sedikit bernegosiasi. Sebagai sesama perempuan pasti akan lebih saling mengerti dan memahami," jelasnya.

"Aku gak terlalu dekat sama Mbak Rumi, Mas. Hanya sekadar tahu nama, ketemu juga masih bisa dihitung jari. Akan canggung pasti," sanggahku.

Selama menjalin hubungan dengan Mas Rezza, Mbak Rumi memang jarang sekali berkunjung ke rumah kami. Kalau pun sengaja main, aku selalu mengurung diri di kamar. Aku termasuk orang yang sulit bergaul, dan tak mau ikut campur dengan hubungan orang lain.

"Coba dulu aja, siapa tahu berhasil," imbuh Mas Razzy.

"Kalau gagal gimana?"

"Belum apa-apa sudah pesimis. Lemah!"

Aku memutar bola mata malas. Sangat tak suka dengan kalimat ejekan yang Mas Razzy layangkan.

Padalarang,
Sabtu, 01 April 2023

Gimana nih, masih adakah yang setia menemani perjalanan Fariz dan Kirania?

Lanjut atau cukup?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro