29-Buah dari Rasa Sabar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Jadilah pasangan yang asik diajak berkomunikasi, sebab menua bersama harus bersama dia yang sefrekuensi.

MALAM Minggu identik dengan kemacetan, apalagi di malam itu para muda-mudi berkeliaran hingga membuat sesak jalanan. Baik pasangan halal ataupun yang masih berpacaran, semua tempat mendadak ramai.

"Menurut Abang mereka pasangan suami istri atau masih pacaran?" tanyaku saat melihat sepasang insan yang tengah asik mengobrol seraya menikmati makanan yang terhidang.

Bang Fariz tak langsung menjawab, dia lebih memilih untuk memasukan satu suap bakso malang ke dalam mulutnya terlebih dahulu. "Jawabnya nanti pas mereka selesai makan dan bayar di kasir."

Keningku mengkerut. Tak mengerti dengan penuturannya. "Maksud Abang gimana sih?"

Saat ini kami memang sedang makan di kedai bakso malang, yang berada tak jauh dari taman kota yang sebelumnya sudah kami singgahi.

"Biasanya kalau yang bayar cowok berarti mereka masih pacaran, kalau yang bayar cewek berarti mereka suami istri, dan kalau bayarnya patungan artinya mereka cuma sebatas teman."

"Teori dari mana itu? Tiap kita makan di luar yang bayar Abang, padahal kita suami istri. Gak valid berarti asumsinya."

Bang Fariz malah tertawa tanpa dosa. "Sepertinya kamu lupa, kalau suami kamu ini pelitnya nauduzbilah. Jangankan pegang dompetnya, tahu jumlah gajinya aja gak. Lain cerita kalau sekarang."

Aku berdecak. "Lagi pula, kalaupun aku pegang uang Bang Fariz aku akan lebih milih Abang yang bayarin."

"Kenapa gitu?"

"Supaya terlihat lebih berwibawa dan nggak terkesan istri yang pegang kendali keuangan. Lebih enak dilihat juga, karena, kan emang sewajarnya laki-laki yang bayar," jawabku.

"Apa itu juga alasan kamu gak mau pegang semua gaji Abang?"

Aku mengangguk mantap. "Masalah keuangan itu terlalu sensitif, apalagi dalam rumah tangga. Aku gak mau ada pertanyaan, kok uang yang Abang kasih sudah habis? Dipakai apa saja? Dan lain sebagainya. Untuk menghindari hal-hal semacam itu, Abang cukup kasih uang disaat aku memerlukan."

"Abang gak akan mempertanyakan itu sama kamu," kilahnya tegas.

"Manajemen aku dalam mengatur keuangan nol besar, aku sangat boros. Itu fakta, dan Abang tahu akan hal tersebut. Sedangkan Bang Fariz lebih bisa diandalkan jika mengatur keuangan, antara pemasukan dan pengeluaran bisa dikondisikan. Jadi, lebih baik aku serahkan pada ahlinya, bukan begitu?"

"Bukankah bendahara dalam rumah tangga itu seorang istri? Abang yang mencari, kamu yang mengelolanya."

Aku manggut-manggut. "Rata-rata begitu, tapi karena aku sadar akan kemampuan diri dan juga kelemahan yang aku miliki. Makanya aku lebih memilih untuk menyerahkan masalah keuangan sama Bang Fariz."

"Terus maksud kamu ingin dinafkahi sebagaimana istri pada umumnya, itu gimana?"

Aku meminum jus strawberry terlebih dahulu lalu berkata, "Cukup nafkahi aku sesuai dengan kemampuan Abang, dan jangan pakai gopean. Hanya itu, mau dikasih per hari atau per minggu untuk uang belanja pun gak masalah."

"Abang pusing, lebih baik Abang transfer setiap bulan. Kalau kurang, tinggal bilang, kalau lebih kamu simpan. Selesai. Abang gak perlu repot-repot kasih kamu jatah setiap hari," sahutnya.

Pola pikir Bang Fariz benar-benar sudah berubah total. Tidak seperti dulu yang sangat amat hati-hati dalam hal mengeluarkan uang, apalagi jika ada pengeluaran tak terduga yang melebihi batas wajar.

"Gitu juga gak papa, tapi aku harus bikin pembukuan setiap bulannya, dan aku akan melaporkan itu sama Abang, supaya gak ada kesalahpahaman. Sekarang Abang bisa bilang, gak akan tanya soal uang itu habis dipakai apa aja. Ke depannya, kan kita gak akan pernah tahu," terangku.

Aku sangat menyadari kelemahanku dalam mengelola keuangan. Maka dari itu sejak sudah bisa menghasilkan uang sendiri, aku memiliki pembukuan yang memuat tentang pemasukan serta pengeluaran. Semuanya tertulis di buku tersebut. Tujuannya untuk membentengi diri agar tidak terlalu boros, serta untuk evaluasi agar di bulan berikutnya tidak melakukan tindakan boros lagi.

Tak heran mengapa setiap belanja, baik bulanan maupun harian aku selalu menggunakan catatan. Ya, salah satunya karena untuk meminimalisir pemborosan.

"Itu terserah kamu, kamu yang lebih tahu. Mulai sekarang dan seterusnya uang nafkah akan Abang transfer. Sebaiknya kamu bikin ATM baru, dua kalau perlu," sahutnya.

"Satu juga cukup, Bang."

"Abang lebih menyarankan dua, satu untuk kebutuhan kita sehari-hari, satunya lagi untuk kebutuhan kamu pribadi."

"Apa itu nggak berlebihan?"

Bang Fariz menggeleng pelan. "Dulu Papa melakukan hal itu, Abang baru tahu sekarang-sekarang ini dari Mama. Nafkah itu beda sama kebutuhan sehari-hari. Kalau nafkah ya hak istri, kewajiban yang harus Abang penuhi. Sedangkan kebutuhan sehari-hari, itu juga merupakan kewajiban Abang, tapi, kan dipakai untuk kita berdua. Kalau memang Abang mampu, kenapa nggak? Itu merupakan salah satu cara untuk membahagiakan kamu. Kalau istri bahagia, rezeki suami juga akan lancar jaya."

"Abang lagi gak sawan atau kerasukan, kan? Aku takut kalau Abang kayak gini."

Bang Fariz menarik tanganku lantas menggenggamnya. "Seharusnya Abang sudah melakukan hal ini dari awal kita menikah, tapi karena rasa takut dan trauma, Abang melupakannya. Maafin Abang yah."

Bang Fariz menatapku begitu intens, senyumnya pun merekah indah. "Kita mulai semuanya dari awal, kita saling berbenah dan memperbaiki hubungan ini. Komunikasikan semuanya secara terbuka dan terang-terangan. Abang nggak mau kesalahan kita sebelumnya kembali terulang, apalagi masalah finansial kerapkali jadi alasan utama perpisahan."

"Ini bukan test uji kematrean, kan? Aku nggak mau yah Abang sampai berpikir aku matre dan cuma bisa ngabisin uang Abang aja. Nggak mau!"

Bang Fariz terkekeh pelan, dia pun mengelus lembut puncak kepalaku. "Nggaklah, buat apa juga diuji? Toh, kamu sudah terbukti bisa setia dan bertahan di sisi Abang yang pelit dan perhitungan ini. Sekarang bukan saatnya untuk Abang menguji, tapi saatnya untuk kamu menikmati buah dari kesabaran kamu selama ini."

"Bang Fariz jangan bikin aku terharu dong, malu. Masa iya aku nangis di tempat umum," protesku seraya menghapus cairan bening yang tiba-tiba keluar.

"Jangan nangis ah, dikira Abang jahatin kamu lagi," ucap Bang Fariz diakhiri sebuah kekehan.

Aku tertawa kecil. "Ini tuh air mata bahagia, Bang Fariz."

"Alhamdulillah, semoga seterusnya hanya air mata bahagia yang keluar dari mata kamu. Abang gak mau lagi jadi alasan tangis kesedihan kamu."

Aku mengangguk serta mengaminkan.

Bahagiaku bukan karena nominal uang, tapi karena kepercayaan yang Bang Fariz berikan. Sekarang dia bisa terbuka dan leluasa dalam hal keuangan. Tidak lagi, dibayang-bayangi ketakutan.

Aku memang pernah tertekan hidup bersama dia yang sangat pelit dan perhitungan. Alhamdulillah berkat kuasa Allah yang begitu mudah membolak-balikkan hati manusia, Bang Fariz bisa berdamai dengan masa lalunya.

Sabar memang tidak terbatas, tapi kadang kitanya merasa sudah berada di luar kapasitas. Kuncinya harus senantiasa ikhlas, agar hati kita menjadi luas.

Padalarang,
Sabtu, 27 Mei 2023

Kalau kayak gini bikin adem hati, kan? 🤭 ... Lihat pasutri yang bisa duduk tenang dan saling mengutarakan pemikiran itu enak dipandang. :')

Lanjut atau cukup?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro