4. Ilya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Melihat sosoknya sekali lagi membuatku mengingat apa saja yang terjadi pagi ini. Benakku mengingatnya dalam tempo yang lebih lambat, memberiku gambaran lebih jelas akan apa yang terjadi tadi pagi.

Pemuda itu, tadi pagi, berdiri di hadapanku, dengan tongkat teracung, menghadapi monster yang berlari dengan kecepatan penuh tanpa takut.

Diam-diam, aku menatap tongkat perak di tangannya. Tongkat perak itu tampak tanpa dosa. Orang yang melihat kondisi pemuda ini dan tongkatnya akan menyimpulkan dengan cepat bahwa dia orang tunanetra dan tongkat itu adalah alat bantunya berjalan.

Tapi aku tahu lebih baik karena aku sudah melihat wujud sebenarnya dari tongkat itu. Kejadiannya memang berlangsung sangat cepat, tapi aku tak ragu sedikit pun.

Tongkat perak itu tak sebersih kelihatannya.

Dengan mata sendiri, aku melihat pemuda itu menarik sebilah pedang. Gerakannya sangat cepat, bahkan ayunannya pun tidak kusaksikan sendiri saking cepatnya, tapi sesaat sesudah angin kencang yang entah dari mana berembus itu, aku melihat bilah pedang berwarna perak di tangannya, sedetik sebelum dia menyarungkannya kembali, memalsukan pedang itu sebagai tongkat.

Tidak salah lagi, tongkat perak itu adalah pedang.

Baiklah, seberapa banyak tunanetra yang bisa menggunakan pedang? Maksudku, orang-orang seperti itu hanya ada di film dan novel laga. Tidak mungkin dia bisa berpedang kecuali ... jika dia memang tidak buta.

Selain pertanyaan apakah dia buta atau tidak, pikiranku diganjal sesuatu yang lain yang lebih besar.

Pemuda ini juga bisa melihat monster-monster itu, sama sepertiku.

Tidak, dia bahkan juga bisa membunuh salah satunya.

Kata-kata aneh yang kudengar tadi pagi lantas berdengung sekali lagi di dalam kepalaku.

Roren?

Culata?

Semakin lama terdiam, aku semakin dibuat bingung. Terlalu banyak pertanyaan.

Sebenarnya siapa pemuda itu?

"Terima kasih, Mas." Pemuda itu lantas memasukkan shampo yang tadi dipilahnya ke dalam keranjang belanja. Sementara pemuda itu terus berbelanja, satu petugas swalayan terus mendampinginya memilih-milih barang, mencegahku untuk mendekat dan bicara dengannya.

Sambil memilih barang yang dipesan tante Ifa, aku terus mengawasi pemuda itu diam-diam.

Aku sudah mendapatkan seluruh barang dalam daftar ketika sang pemuda dan petugas swalayan itu pergi ke kasir. Dengan tingkah senormal mungkin, aku mengikuti mereka berdua. Aku mengantri tepat di belakang pemuda itu, dalam diam menyusun kata-kata yang akan kuutarakan padanya nanti, sambil menyerahkan barangku pada petugas kasir.

Aku menghambur pergi dari meja kasir setelah seluruh barang-barangku terbayar dan langsung menyusul sang pemuda sebelum dia menghilang tiba-tiba lagi. Beruntung bagiku, kali ini dia tidak pergi. Kami hanya terpaut sepuluh langkah dariku dan beruntungnya lagi, dia searah denganku.

Degup jantungku meningkat sedetak. Kini aku dapat kesempatan untuk bicara.

Apa yang harus aku katakan lebih dulu?

Sayang, tidak ada banyak waktu bagiku untuk berpikir lebih jauh karena pemuda itu tiba-tiba saja berbelok ke arah yang berlawanan dengan rumahku.

"Tunggu!" seruku dan pemuda itu berhenti. Dia tidak menoleh. "Ya, Kakak yang bawa tongkat! Tunggu!"

Kali ini pemuda itu berbalik dan masih seperti tadi pagi, kedua matanya tertutup. Ketika aku menghampirinya, meski matanya tertutup, keheranan dapat terukir jelas dalam setiap gurat wajahnya.

"Saya?" Pemuda itu menunjuk dirinya sendiri dengan tongkat karena sebelah tangannya sibuk membawa belanjaan.

"Ya. Kakak ini." Aku menghela napas. "Kakak ingat saya?"

"Ingat?" Pemuda itu mengulangi pertanyaanku. "Maaf, apa kita pernah bertemu sebelum ini?"

Dia tidak ingat? "Tadi pagi Kakak menolong saya."

Kebingungan masih belum terhapus dari wajah pemuda itu. "Menolong kamu dari apa ... kalau boleh tahu?"

Nah, bagaimana aku menjelaskan yang satu ini? "Menolong saya dari ... sesuatu yang Kakak sebut ...." Aku mengingat-ingat, menimbang apakah dengan menyebutkan ini aku tidak akan dianggap gila. "Culata?"

Ekspresi bingung pemuda itu menguap, berganti ekspresi dingin yang membuatku tegang.

"Kakak ...." Aku menelan ludah, berusaha sebaik mungkin memilah kata karena atmosfer di sekitarku yang membeku. "juga bisa melihat mereka?"

Diam.

"Kakak juga ...." Aku tidak bisa menemukan kata yang pas. Kata itu sedikit riskan diucapkan di luar seperti ini. Dalam diam, aku menatap mata terpejam pemuda itu yang semakin lama terlihat semakin dingin, berharap dia mengerti maksudku. "Sebenarnya ... mereka itu—

Ucapanku terpotong saat melihat makhluk tinggi besar yang melintas di belakang pemuda ini. Aku memutuskan kontak mata tepat sebelum mata makhluk itu menangkap basah aku yang menatapnya. Tapi seperti biasa, tindakan itu sia-sia.

[Makan malam!] Alih-alih menjauh, makhluk itu malah mendekat, melangkah dengan pasti ke arah kami.

Degup jantungku tak beraturan dan mendadak saja aku lupa cara bernapas saat makhluk itu kian dekat. Saat aku dicengkam ketakutan, pemuda itu malah berbalik, menghadapi makhluk itu, dan mencampakkan belanjaannya.

Kemudian, adegan tadi pagi sekali lagi terulang di depan mataku.

Secepat kilat, tangan pemuda itu mengayun, menggenggam tongkatnya dengan kedua tangan, mengeluarkan bilah tajam keperakan dari balik badan tongkatnya yang sampai detik tadi terlihat tak berbahaya itu.

Tanpa ragu, ia mengayunkan pedang ke arah makhluk yang sudah tiba di hadapan kami itu. Tubuh monster itu, makhluk yang berukuran dua kali lebih besar dari kami itu, langsung terbelah dua hanya dalam satu sabetan pedang.

Aku beringsut mundur dan memekik kaget saat kedua potongan tubuh makhluk itu jatuh tak bergerak ke trotoar. Sekali lagi cairan perutku bergolak saat menyaksikan darah berwarna ungu gelap itu menetes perlahan, menguarkan bau luar biasa busuk ke udara.

Meski sudah dua kali terjadi, aku tetap tidak terbiasa melihat pemandangan ini.

Berulang kali aku menatap mayat monster dan punggung pemuda itu bergantian. Menelan ludah, aku mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya.

"Apa ... tidak akan ada yang menyadari mayat itu?" tanyaku takut-takut.

Diam. Pemuda itu hanya menyarungkan pedangnya kembali, menjadikannya sekali lagi sebagai tongkat perak tak berdosa.

Sekarang aku benar-benar yakin, aku tidak sedang bermimpi.

"Kakak ini ... sebenarnya siapa?" Pertanyaan itu meluncur keluar dari mulutku begitu saja, tanpa bisa dicegah.

Diam lagi, kali ini dalam waktu yang cukup lama.

Ketika kukira pertanyaan-pertanyaanku malam ini tidak akan terjawab, pemuda itu akhirnya bersuara. "Aku hanya punya satu saran," ujarnya dengan tingkat kesopanan yang menurun, mengabaikan pertanyaan-pertanyaanku tadi. "Lupakan semua kejadian ini. Anggap saja kamu tidak pernah lihat, termasuk yang tadi pagi."

Termasuk yang tadi pagi? "Kalau begitu ...." Kelegaan membanjiriku. "Kakak ingat yang tadi pagi?"

"Baru saja aku mengingatnya." Dia memalingkan separuh wajahnya kepadaku, memperlihatkan senyuman mengejek yang sama sekali tak sesuai dengan imejnya yang tanpa sadar sudah terbangun sebagai pemuda tunanetra ramah di dalam pikiranku. "Kamu gadis yang menjegalku tadi pagi dan lari seperti pengecut."

"Itu ...." Aku kehilangan kata-kata.

"Jangan tidak enak hati seperti itu!" tukas pemuda itu dengan nada suara menghina yang sama sekali tak dilembut-lembutkan. "Pengecut memang sikap bawaan manusia dari lahir, tidak perlu malu sama sekali. Lagipula kamu menjegalku untuk menyelamatkan nyawamu sendiri."

"Saya bukannya ...." Aku semakin kehilangan kata-kata.

Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin orang yang kedua matanya tertutup bisa tahu aku sedang tidak enak hati dan bagaimana mungkin dia bisa tahu tadi pagi aku lari seperti pengecut padahal aku tidak bersuara sama sekali sebelum menggenggam bajunya?

Apa dia sebenarnya tidak buta?

"Ada apa? Kamu mau mengelak? Kamu tahu kamu tidak perlu membela diri kan?"

Imej baik pemuda itu benar-benar telah hancur di dalam kepalaku dan kini sedang terbentuk imej buruk tentang dirinya di dalam pikiranku: seorang tukang ejek bermulut pedas.

"Sudahlah, seperti saranku tadi ...." Senyum sirna dengan cepat dari bibirnya. "Lupakan semua kejadian ini dan terus larilah. Kamu punya kecepatan lari yang cukup bagus."

"Saya ... tidak bisa." Lari sama sekali tak bisa menyelesaikan masalahku, tapi tingkat keyakinan dalam suaraku benar-benar menyedihkan. "Suara mereka ... ada dalam kepala saya."

"Abaikan saja." Pemuda itu melangkah pergi. "Ada banyak manusia sepertimu dan bisa hidup dengan mengabaikan mereka."

Hah? "Ada ... banyak manusia seperti saya? Yang bisa melihat mereka?"

"Ya, jadi jangan merasa istimewa." Pemuda itu semakin jauh. "Karena bukan hanya kamu yang menghadapi masalah seperti ini."

Sepertinya aku tidak bisa memaksanya untuk tinggal lebih lama lagi. Setiap kata dari mulut pedasnya sudah membuatku berhenti berharap. Jika pandangannya sudah serendah itu, tak ada yang bisa kulakukan selain menjauh, meski aku mungkin akan kehilangan satu-satunya teman senasib yang bisa menolongku.

Sebelum pemuda itu menghilang di dalam bayangan, aku sempat berteriak, menyuruhnya untuk berhenti dan ternyata pemuda itu mendengarku. Dia berhenti dan berbalik.

"Siapa nama Kakak?"

Pemuda itu menelengkan kepalanya, menimbang-nimbang selama sesaat. "Ilya."

Meski ternyata dia bukan pemuda yang sebaik citra yang ia tunjukkan pertama kali, dia tetap sudah menolongku dua kali hari ini. Aku tetap berhutang padanya.

"Terima kasih karena sudah menolongku dua kali." Tanpa menunggu jawaban, tanpa menunggu reaksinya, aku pun segera pergi dari tempat itu, tak pernah berbalik lagi.

Siapa dia sebenarnya, apakah dia benar buta, dan bagaimana bisa dia membunuh makhluk-makhluk itu dengan sangat mudah, serta apa arti Culata dan Roren, semua itu kukira akan menjadi misteri selama sisa hidupku karena kukira itu adalah pertemuan terakhir kami.

Namun siapa sangka aku bisa sangat salah soal itu?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro