24 Oktober, 13:22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Katakan sekali lagi, apa maksudmu, kak!?"

Untuk pertama kalinya, Agnes tidak peduli kalau-kalau teriakannya itu menembus pintu ruang pantry, atau malah menggema di lorong pojokan lantai 4 di gedung kantor tersebut. Toh, paling disana cuma ada si office girl yang sangat diakrabinya, atau ada teman satu divisinya yang numpang merokok sambil menyenderkan badannya di tepi tralis, menunggu waktu istirahatnya habis.

Kembali ke topik awal; oke, sekarang laju nafas Agnes sudah kembang-kempis sendiri mendengar deklarasi sang kakak di seberang telepon. Andai, andai saja si kakaknya itu, Ingrid, ada di jarak tempurnya, Agnes pasti akan mengejarnya sampai ia dapat memukul (dengan sangat halus) punggung si wanita yang kini berumur 28 tahun itu.

Terkadang, ia bisa saja menyebut hubungan mereka sebagai kakak-beradik lebih berat ke skala perang gerilya dibandingkan adem ayem tentrem. Tidak, bukan berarti Agnes tidak menyukai satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa itu. Hanya saja, Agnes hampir tidak punya kuasa ketika si kakak sudah dengan seenak jidat memulai aksi. Ya, jidat kakaknya itu memang lebar, dan kakaknya itu sangat bangga dengan hal tersebut. Sering dia akan nyengir lebar dan bilang: 'kelapangan dahi merupakan ukuran dari besarnya kompetensi'.

Halah, omong kosong.

"... Ya, jadi kamu paham kan, Nes? Kakak udah sewa tempat di restoran Affogato jam 8 malam." Agnes masih dalam dengan gerutunya, yang kini perlahan menjelma menjadi desis. Kalimat sumpah serapah sudah ada di ujung lidahnya. Tetapi, dia cuma akan jadi bahan olok-olokan kantor kalau ia mulai mengurutkan nama-nama tertentu di kebun binatang.

"Orangnya juga bakal datang, jadi kakak harap kamu datang, ya? Sekedar kenalan aja kok."

"Apanya yang sekedar, sih!? Kakak 'kan tahu kalau aku-"

"-nggak mau nyoba pacar-pacaran? Iya, kakak tahu." nadanya terlampau ringan. Kakaknya itu pasti sekarang sedang duduk dengan senyum secerah mentari (walau baru saja si adik dipenjara dari pilihan). "Alasan yang tepat untuk mulai berkenalan dengan orang baru!"

"Kak, kamu juga nggak tahu preferensi-ku!"

"Agnes, cuma sekedar kenalan aja kok. Habis itu kamu boleh pulang," Omong kosong nomor dua dari sang kakak telah diluncurkan. Kata siapa dengan mudah ia akan pulang dalam hitungan menit? Kakaknya tidak akan puas apabila Agnes belum terlihat akrab dengan si target. Itu pasti. "Oke? Tempatnya juga dekat dari kantormu, nanti kalau kamu butuh dijemput, aku-"

"Iya, iya. Aku kesana. Jam 8 kan?"

"Anak pintaaar."

"Kakak."

"Udah dulu ya, Sylvia baru balik nih bawa makanan. Ketemu nanti ya~"

Suara telepon yang diputus sepihak itu bahkan lebih kecil dari suara desis penuh derita yang dikeluarkan Agnes. Seusai beberapa saat mencoba menerima kenyataan, matanya mengedar ke sekeliling kubikel pantry, mencari jam dinding karena ia mau melupakan ponselnya untuk sementara waktu. Ada lima menit sebelum waktu makan siangnya berakhir, paling tidak ia bisa beli sekotak teh di mesin minuman terdekat sebagai bentuk pelipur lara.

Tepat di luar pintu, di area gedung yang menghampar ke arah pelataran parkiran, sesosok yang memang suka ada di sana tengah menghabiskan sepuntung rokok dengan irama teratur. Rokok yang sudah berjalan setengah nyawa itu ia mainkan di antara jemari, sambil ia menelengkan kepala ke arah Agnes seakan tidak terjadi apa-apa.

"Kayaknya sengit banget. Kakak?"

"Siapa lagi?" sambut Agnes ketus.

Pemilik surai biru lurus dan pucat sepunggung itu segera mematikan rokoknya di tempat sampah terdekat, sekedar mendaratkan puntung yang berpendar terang ke kisi-kisi tutup atas tempat sampah hingga padam. Ia menepuk-nepuk tangannya ke arah luar, sebelum ia menepuk-nepuk pundak Agnes perlahan.

"Yang sabar."

"Ra." Nora menoleh sempurna ke arah Agnes yang menurunkan kepalanya, pundaknya turun tanda menyerah. "Belikan aku teh, kuganti uangnya nanti. Aku mendadak malas."

"Oke, tuan putri~"

Nora segera bertolak ke arah mesin minuman yang ada di dekat pelataran lift lantai 4, sementara Agnes kembali menuju pintu sebelum tangga darurat untuk kembali ke mejanya.

Lantai 4 itu dihuni oleh setengah dari total kantor, bagian purchasing dan planning/marketing. Sementara, bagian-bagian utama kantor mereka menempati lantai 3 dari enam lantai yang disewakan untuk keperluan perkantoran. Perusahaan mereka memang tidak dapat dibilang besar, namun bukan berarti kesibukan tidak melulu datang. Sebagai salah satu perusahaan startup yang bergerak di bidang ritel dan waralaba makanan dan minuman kekinian, selalu ada saja hal-hal skala kecil maupun besar yang harus diselesaikan di luar proyek yang tengah ditetapkan oleh otak perusahaan.

Kebetulan saja pintu pantry menghadap ke arah ruang terbuka, hampir bisa dianggap tidak menyatu dengan ruangan utama lantai tersebut, atau tidak, mungkin beberapa orang di dalam ruang aktif kantor mereka sudah mulai berbisik seputar teriakannya tadi.

Agnes mengurai nafasnya sebelum ia berjalan ke arah kubikelnya, menyapa ketua divisinya yang masih asyik memakan bekal yang pria tersebut bawa dari rumah. Beberapa meja dan kursi yang biasa dihuni oleh staff-staff Marketing yang tadi Agnes lihat hadir masih terlampau kosong, jam belum menunjukkan pukul 13:30 di mana seluruh karyawan yang beristirahat diharapkan sudah kembali.

"Agnes, coba tolong cek spreadsheet yang tadi baru diperbarui tim marketing, ya. Maaf saya belum selesai makan." Pak Cliff seperti biasa tampak urakan dengan surai coklatnya yang tebal dan awut-awutan. Ia menaikkan kacamata tebalnya yang telah turun ke tengah batang hidungnya sebelum kembali meraih sumpit dari atas tempat bekalnya.

"Santai aja pak." senyum wanita muda itu, ia segera menarik kursinya dan mengakses komputernya. Agnes menaikkan kepalanya sejenak melihat isi bekal. Hari ini adalah beruang kutub yang tampak mengintip dari satu sisi kotak bekal ke kotak di bawahnya yang terdiri dari orak-arik telur, nugget berbentuk ikan, dan oseng sayuran.

"Istri bapak sangat kreatif, ya. Hari ini chara bento-nya apik sekali."

Pak Cliff hanya mengangguk-angguk, sekilas tersipu. Agnes pun menarik diri dari berbasa-basi dan segera menuju pekerjaan, mencoba melupakan kenyataan yang akan dia alami dalam beberapa jam ke depan.

Letak mejanya kebetulan tepat berseberangan dengan sang ketua divisi, mengingat bagian Planning merupakan sub bagian dari Marketing. Divisi mereka terlampau sedikit dibandingkan total karyawan yang aktif dalam Marketing, sehingga mereka diperbolehkan untuk mengatur penempatan meja agar tidak mengganggu alur pekerjaan tim inti Marketing.

Baru saja Agnes membuka direktori utama, sayup-sayup suara lantang dan derit kursi yang berkumpul seirama dapat Agnes dengar dari sisi punggungnya, membuatnya tak pelak menoleh.

Lantai itu terbagi tegas menjadi dua bagian, dengan sekat berupa kaca tebal dengan pintu memisahkan bagian Planning/Marketing dengan Purchasing. Berbeda dengan atmosfer Planning/Marketing yang penuh pekerjaan namun mengalir santai, bagian Purchasing selalu ditangkap Agnes berapi-api dan fokus dalam mengejar target.

Tatanan meja di lantai tersebut pun berbeda untuk kedua sisi lantai. Bagian Planning/Marketing memiliki meja panjang yang menghadap ke selatan, sementara deretan meja Purchasing menghadap ke arah barat dekat dengan pintu keluar menuju lobi lantai. Pak Cliff pernah bilang bagian Purchasing harus bergerak lebih cepat, sehingga mereka dapat posisi strategis dengan pintu utama. Sementara, Planning/Marketing punya akses ke tangga belakang, pantry, dan toilet.

"Hmm, mereka kena eval lagi, ya?" sahut Pak Cliff. Ia menyesap kopi hangat dari termos yang dibawanya. Sama dengan motif bekalnya hari ini, termos si bapak ketua divisi berumur 26 tahun itu tergambar beruang kutub.

"Kok Bapak bisa tahu?"

Ia menunjuk ke arah ujung timur, tempat divisi Purchasing menaruh papan tulis besar dan proyektor tancap. "Coba kamu lihat aja dari geliat Grace dan Bara."

Selama setahun Agnes bekerja di sana, belum pernah sekalipun Divisi Planning atau tim Marketing mengadakan rapat evaluasi dengan tingkat keseriusan yang sebanding dengan tim Purchasing. Di saat yang sama, dengan posisi pengamat, ia belum terbiasa dengan bagaimana divisi Purchasing selalu tampak tegap dan siaga, seakan-akan mereka selalu ditempa dalam suasana tegang bak semi-militer. Mereka akan duduk tegak, kursi mereka diputar ke belakang menghadap dua figur yang merupakan manajer dan wakil dari divisi Purchasing, Ibu Grace dan Bapak Bara.

Manager Marketing, Ibu Melissa, pernah bilang kalau ia dan Bu Grace sepantaran, sebuah fakta yang sulit Agnes percaya awalnya mengingat Bu Melissa yang selalu santai dan bersahabat, dibandingkan dengan Bu Grace yang memang terlihat kalem, namun Agnes selalu melihat kegalakannya dalam kehidupan kantor.

Mungkin, mungkin keberadaannya di tim Planning menjadi salah satu kelegaan, karena ia tidak perlu berlaku kaku sama seperti anggota tim Purchasing.

Dengan pembatas kaca tebal sekalipun, Agnes dapat mendengar seberapa lantang Bu Grace berbicara kepada timnya, sejenak ia merasa merinding menyaksikan sosok karismatik tersebut, juga merinding memikirkan bagaimana beratnya kondisi eval tersebut berjalan. Sementara, Pak Bara menulis catatan-catatan yang diperlukan dengan bantuan tablet di tangan. Ia juga menginterupsi Bu Grace bila ada sesuatu yang hendak ditambahkan dalam pembicaraan.

Wanita berambut hitam itu selalu memadankan rapi rambutnya dengan bantuan hair stick, dengan poninya ia biarkan sedikit urakan namun apik. Penampilannya cakap dengan blazer hitam yang senantiasa melekat mendampingi pakaiannya yang formal maupun semi formal. Kacamata oval berbingkai tipis yang dikenakannya mengaksentuasi kilas mata ambernya yang tajam.

Kantor tersebut tidak memiliki dresscode pasti, asalkan saja para karyawan tidak di sana memakai kaos oblong dan sandal. Memang, Bu Melissa saja kadang ke kantor dengan jaket kulit di atas kaos polo, atau Pak Cliff yang memakai kemeja berbahan kaos. Tapi, dengan pola berpakaian formal yang dicanangkan tim Purchasing, Agnes terkadang merasa aneh melihat dirinya memakai kemeja flanel, kaos lengan panjang bergaris, atau blus dengan motif simpel.

Apa mereka benar-benar bekerja di perusahaan yang sama? Pernah, Agnes membatin.

Di samping Bu Grace, Pak Bara juga tidak kalah rapi dan menawan seperti Bu Grace, selalu dengan kemeja berkerah tegak tight-fit yang dipadu dengan rompi yang sewarna dengan dasi dan celana yang dikenakan. Pembawannya tegap, apik dengan sepatu bermulut runcing yang ia kenakan. Rambutnya selalu dirapikan dengan briliantin dengan aksen belah tengah, membuat tampilan keseluruhannya klimis.

Sejenak, mungkin Pak Bara memenuhi centang dari kotak kriteria seorang CEO idaman yang ada banyak di film-film drama dan novel-novel romansa. Ya, mereka sama sekali tidak salah, karena Pak Bara memang punya banyak penggemar. Belum lagi mengingat sifatnya yang cool, supel, dan bersahaja di luar jam kerja. Tidak pernah Agnes melihat meja Pak Bara sepi ketika jam kantor berakhir, beberapa wanita - entah yang baru masuk ke kantor maupun karyawati-karyawati lama dari berbagai divisi - sudah mendatanginya untuk sekedar mengobrol.

"Mereka eval lagi ya, Pak?" Nora mengetuk meja Agnes satu kali sebelum menaruh teh kotak dingin di atas meja, di samping kertas-kertas kerja. Meja Nora ada agak jauh dari Agnes mengingat dia adalah bagian dari tim Marketing. Sedikit jauh pun, Agnes masih bisa menjangkau Nora dengan melempar bogem kertas.

"Terakhir yang Bapak dengar dari Melissa, ada masalah sedikit di klien terakhir itu, tapi Bapak rasa komplain dari mereka kurang jelas--mereka terlalu menyalahkan staff kita. Tidak seharusnya sih mereka kena eval, tapi ya terserah Grace." Cliff menjelaskan. Matanya sejenak mengedar ke arah pintu masuk dan kembali ke Nora.

"Oh iya, Melissa kemana ya, Ra?"

"Tadi sih dipanggil sama bos besar sama beberapa dari tim. Jam dua juga paling udah balik. Ada perlu apa pak?"

Cliff mendengung tanda mengetahui, "Yaudah, nanti kamu ngobrol aja sama Nora ya soal spreadsheet tadi, Nes. Kalo ada yang mau ditanya, saya sama Nora bisa jawab kok."

"Baik pak."

Agnes kembali melihat ke arah 'eval' tim Purchasing, sesekali menggigit-gigit sedotan. Teh dingin itu efektif membuatnya rileks, mungkin dia memang butuh minum untuk bagian dirinya yang masih meledak-ledak karena telepon dari kakaknya barusan.

Meja Nora ada di belakang, dekat dengan kaca, bukan posisi yang baik untuk menonton, tapi paling tidak ia bisa mencuri dengar kalau penasaran. Paling tidak, Agnes bisa melirik, mengamati bagaimana antusiasme tim Marketing di sana, walau kejadian itu dinamakan sebagai 'eval'.

Seganas apapun eval tersebut terlihat, bukan berarti Bu Grace atau Pak Bara akan tiba-tiba menggebrak meja atau berteriak tanpa jeda. Para atasan sejatinya tidak menakut-nakuti bawahan, ini bukan acara senior menghardik junior.

Yang biasa Agnes ketahui karena ia aktif saat masih kuliah di berbagai organisasi kampus, kata-kata 'eval' bagaikan suatu peperangan. Kondisi para panitia pasti menegang dan bisa saja ada yang menyuarakan pendapatnya dengan ujaran penuh kekesalan. Saat ini, setiap Agnes melihat tim itu, para anggota tim akan selalu bertepuk tangan setelah pertemuan ditutup, entah apa maksudnya, sebelum akhirnya mereka akan membaur kembali ke pekerjaan masing-masing.

"Nes, jangan kebanyakan ngintip, ah. Nanti kamu disentil Pak Bara lho." kekeh Nora di belakang sana.

Agnes mengerutkan dahi, walau ia akhirnya ikut tertawa saja; sebelum ternyata, panjang umurnya, salah satu orang dari sana mendekat ke pintu kaca pembatas antara Purchasing dan Planning dan membukanya. Bu Grace, suara sepatu ber hak ratanya mengetuk beraturan di lantai berkarpet. Agnes pun terkesiap. Ia segera berpura kembali fokus ke layar, mencoba tidak terlihat gugup atau salah tingkah.

Ketika Grace mendekat ke arah meja Agnes, jantung Agnes terasa seperti merosot turun dari rusuknya. Oh, tidak. Apa dia akan diomeli akibat lihat-lihat!?

"Cliff, hari ini Melissa di kantor?"

Suara yang lembut, berbeda dengan lantangnya ia berbicara menembus kaca barusan, tidaklah diduga Agnes. Mungkin, Bu Grace merendahkan suaranya karena ingin berbicara empat mata (atau mungkin, delapan? Mereka berdua memakai kacamata) dengan Pak Cliff. Agnes berusaha berpikir positif.

Dari pantulan layar komputernya, Agnes memperhatikan seberapa dekat Bu Grace dengan mejanya, walau ia hanya menatap ke arah ketua timnya. Wangi mirip kasturi menguar dari sang Manager Purchasing, konsentrasi Agnes buyar sejenak.

Tunggu, bukannya dia harus bergegas menyelesaikan tugasnya dan melapor ke Pak Cliff? Kenapa dia jadi memikirkan Bu Grace (yang mungkin hampir mengusir nyawa dari tubuhnya karena tiba-tiba hadir)?

"Kata bocahnya tadi dia lagi ketemu si bos."

Bu Grace terdiam sejenak, "Kalau dia sudah datang, saya kesini lagi. Maaf mengganggu makan siangmu."

Pemilik surai hitam itu telah kembali ke area Purchasing kantor, akan tetapi Agnes masih merasakan jantungnya berdegup kencang - antara takut dan kaget atau kombinasi keduanya. Nora yang kemudian menepuknya di bahu sangat tidak membantu kondisi adrenalinnya sama sekali.

"Udah selesai belum?" Nora merapat ke arah layar, melihat belum ada kemajuan dari spreadsheet tersebut selain baru saja dia buka.

"Belum! Tenang! Sedikit lagi!" teman sekantornya itu nyengir lebar.

"Duh, Dek Agnes ini, cepetan dong. Ketakutan ya, sama Bu Grace?" Bahkan, Pak Cliff yang tidak ikut dalam obrolan tak pelak dari tertawa. "Bu Grace nggak gigit kok!"

"Nora!"

"Ayo ayo kelarin cek file-nya sebelum Melissa kembali." ujar Cliff setengah membujuk, setengah bercanda.

Sudah malam ini harus menghadapi neraka, diejek atasan dan teman sekantor pula! Hari ini memang bukan hari baik untuk Agnes. Sayang, ia tidak bisa terus-terus mengulur waktu dan menghindari apa yang tidak bisa dihindari.

Semoga saja pertemuan dengan orang yang diseret kakaknya dari entah aplikasi daring macam apa itu hanya akan Agnes temui sekali ini saja, semoga. Sudah cukup kakaknya mencoba menjadi Mak Comblang di saat Agnes tidak mau memikirkan apapun mengenai menjalin sebuah hubungan. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro