24 Oktober, 20:12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Restoran Affogato, seperti biasa, akan mempersilahkan Agnes masuk dengan track musik klasik kesukaannya. Entah suasana hatinya sedang gundah, senang, atau datar, ia akan selalu melangkah disambangi oleh Piano Sonata no. 11 gubahan Mozart dan wangi harum biji kopi yang tengah disangrai.

Si pemilik restoran bilang kalau dia memutar berbagai macam genre lagu selain klasik, pernah Agnes duduk di sana mengunyah makanannya ketika mereka memutar electropop. Tetapi, Agnes selalu merasa lebih damai memasuki restoran dengan musik tersebut mengalun di telinga, seakan ia bisa mencopot earbuds dengan aman dan ia masih ada di dunia yang ia kenali.

Aksen restoran yang penuh dengan perabot kayu, mulai dari meja bar hingga meja, kursi, bahkan lantai parquet, memberikan kesan adem lagi statis. Restoran Affogato adalah sebuah hal statis yang Agnes bisa bilang sangat ia sukai.

Bar utama terletak di tengah-tengah ruangan, memiliki konter berulas kayu yang tinggi dengan berbagai perabotan masak dan mesin-mesin kopi yang bergerilya, menutupi area utara restoran yang lebih banyak terisi lebih dahulu karena pemandangan gemerlap taman kota di sisi belakang. Meja-meja yang dekat dengan pintu masuk lebih sedikit, mungkin sekitar 30 persen dari seluruh total meja, tetapi banyak kursi tersedia di sana yang dekat dengan konter minuman.

Agnes pernah ingat kata-kata salah satu teman akrabnya yang bekerja part-time disana: 'kursi tinggi konter dikhususkan untuk penikmat kopi. Biasanya mereka lebih butuh sendirian bersama kerjaan atau ponselnya'.

Agnes tidak percaya akan kata-kata itu sebelum mencoba duduk di sana: ia benar-benar merasa sendiri, tetapi bukan kesendirian yang menyiksa. Saat itu ia tengah mengerjakan laporan bulanan Planning dan hanya memesan secangkir macchiato hangat nan murah yang kebetulan kena promo diskon harian. Agnes tidak sadar waktu berlalu begitu cepat namun produktif, alih-alih kegaduhan di sore hari kala itu, yang diisi oleh beberapa kelompok ibu-ibu sosialita yang menyewa setengah restoran, sama sekali tidak menyentuhnya.

Singkat kata: Affogato memiliki sebuah sihir. Sihir yang juga menyita seseorang sepertinya untuk terus-menerus kembali walau bukan demi paket full course akhir bulan.

Maniknya menyipit, mencari keberadaan si kakak dari pintu masuk. Sekilas, tidak ada seorang bersurai abu-abu perak yang identik dengan dirinya dari banyak kepala yang bisa ia lihat.

"Hayo ngapain?"

Sayang, yang menyapanya dengan tepukan keras di punggung bukanlah teman akrabnya. Ini Jum'at, hari ini temannya itu tidak punya jadwal kerja sambilan. Agnes menoleh mendapati Ingrid dengan rambut ikal peraknya digerai santai sepunggung. Ingrid mengecat ujung rambutnya dengan warna merah karena sebuah janji dengan pasangannya yang sekarang, Sylvia. Ia tampak bangga dengan riasan tersebut. Dan ya, tak bisa dipungkiri itu membuat Ingrid terlihat lebih keren, apalagi ketika ia mulai keluar rumah dengan set blazer putih dengan kemeja merah marun disertai dua kancing atas terbuka.

"Aku duduk di meja pojok kanan yang ada sofanya. Lagi nunggu espresso-ku," Ingrid menunjuk arah konter tempat pengambilan minuman. Di saat itu juga, Agnes melihat pria dan wanita di sana sontak menoleh ke arah Ingrid yang terlihat ... Ingrid. Siapa juga yang tidak akan tertarik dengan sampul bad girl in suit-nya?

"Orang yang mau kukenalin tadi lagi angkat telpon sebentar, nanti dia bakal balik ke meja. Mau minum apa, Nes?"

"Decaf aja Kak. Yang dingin ya."

Ingrid mengangkat jempol, lalu mendorong Agnes untuk segera duduk di kursi target. Tanpa melihat kembali, Agnes tahu Ingrid tidak akan berhenti melihat ke arahnya yang berjalan gontai, sampai ia akhirnya duduk manis di atas meja.

Ingin rasanya ia melengos pergi sekarang, padahal pantatnya baru mendarat di atas sofa nyaman restoran. Agnes akhirnya memilih untuk membuang pandang ke arah kaca, mengamati taman kota yang sedang dipenuhi pasangan-pasangan muda yang tengah duduk-duduk mesra di bangku panjang yang ada.

Setelah dipikir-pikir: orang seperti apa lagi yang akan dikenalkan si kakak hari ini? Pikirannya mengawang lagi.

Sebagai seseorang yang menjadi teman curhatnya di saat-saat tertentu, Ingrid sedikit banyak bisa menebak preferensi pasangan Agnes, walau kira-kira hanya 25% dari tebakannya benar. Ingrid juga bereksperimen untuk mengenalkan siapa saja, perlu di garis bawahi, siapa saja. Bisa saja itu anak konglomerat (yang sampai sekarang masih jadi misteri bagi Agnes dari mana Ingrid bisa dapat kontaknya), atau bahkan orang yang Ingrid baru kenal beberapa jam, entah dari pelataran peron mana, yang tertarik dengan ide kencan buta.

Agnes paham, Ingrid tidak bermaksud, tidak pernah bermaksud untuk membuat dirinya menjadi bahan candaan. Lagi, ia tidak ingin sesuatu berjalan dengan terpaksa.

Walau luka yang ia derita memang tidak akan pernah sembuh bila ia tidak berusaha mencoba. Tidak berusaha keluar untuk mencari pembalut luka. Tidak berusaha untuk mencari penawar racun.

Agnes membuka matanya ke sosok seseorang meletakkan kopi dingin di depannya di atas meja, sementara dirinya menikmati secangkir hitam kopi yang masih mengepul hangat. Ada sedikit aroma krisan, kuat namun tidak mengganggu, juga ada wangi kasturi yang rasanya pernah ia rasakan melewati indera penciumannya.

Ia mengerjap, menatap pemilik surai hitam di depannya. Bukan Ingrid yang berdiri di sana menaruh kopinya. Surai hitam itu seingat Agnes ditata rapi dengan hair stick, tidak digerai seperti ingin menampilkan malam yang kelam lagi tenang. Yang Agnes ingat juga, wanita ini seharusnya memakai blazer berwarna hitam dengan renda di tepian, tetapi ia hanya mengenakan blus putih yang lengannya disingsingkan sebagian. Sosoknya anggun ketika menarik bagian poninya yang menutupi kacamata ovalnya, untuk menaruhnya kembali di balik cuping telinga agar tidak terlalu mengganggu.

"Bu Grace ...?"

Ketika Agnes memanggil, wanita itu menoleh ke arah Agnes dengan sempurna. Senyumnya terulas sederhana, sesimpel rona merah muda yang mewarnai bibirnya.

"Saya ... tidak habis pikir kalau kita akan ketemu lagi dengan setting seperti ini." Suaranya lembut, lebih lembut dibanding ketika Bu Grace mencoba berbicara dengan Pak Cliff.

Refleks, Agnes mencoba mencubit pipinya. Pertama pelan, lalu sedikit kencang. Bu Grace di hadapannya tidak lenyap. Malah, manik amber yang terbungkus bingkai kacamata itu seperti berkelip karena pantulan sinar lampu dan gemerlap malam.

"Maaf, saya agak kaku, ya? Gimana kalau mulai dari perkenalan dulu?" lidah Agnes masih kelu. "Saya Grace. Umur saya, erm, tahun ini sepertinya 33."

"Tunggu," akhirnya ia mencoba mengangkat tangan, alih-alih mereka ada di tengah rapat. Tidak, dia bukannya ingin menginterupsi mengenai jarak umur mereka yang terpaut sembilan tahun. "Tunggu Bu. Saya. Ini bukan prank, kan?"

Tawa renyah meluncur dari bibirnya hanya sukses membuat Agnes mendesir. "Tenang, bukan kok. Ingrid tadi jelaskan kalau dia yang punya akun, tapi dia bilang dia ingin memperkenalkan adiknya, bukan dia. Saya kebetulan ada waktu, jadi saya datang."

Panjang umurnya, sang kakak datang dengan langkah panjang, "Wah, kayaknya akrab banget nih~"

"Kak! Ini, Ibu ini bos--nggak, bukan, Ibu ini manajer divisi sebelah di kantor!" Agnes mulai gelagapan. Keringat dingin meluncur dari ujung pelipis. Kenapa dia malah jadi salah tingkah? Kemana niatnya untuk melenggang pergi barusan?

"Wah? Beneran?" Ingrid melirik Bu Grace untuk konfirmasi. Dari raut wajah sang kakak, sepertinya dia benar-benar tidak tahu-menahu soal ini. Bu Grace mengangguk pasti untuk menjawab pertanyaan Ingrid. "Bagus dong? Berarti kan kalau di kantor bisa mes--"

"Kakak!"

"Saya titip adik saya kalau begitu ya Bu-" Ingrid sudah separuh membungkuk. Agnes berdiri untuk mendorong si kakak mundur beberapa langkah.

"Kak! Cukup!"

Agnes terkesiap. Akibat si kakak, dia mulai menunjukkan jati dirinya ke Bu Grace! Bu Grace juga memperhatikan pertengkaran kecil mereka dengan ekspresi bersahabat! Tidak, Bu Grace 'kan seharusnya lebih tegas, lebih galak! Bukannya Bu Grace harusnya melerai mereka!?

"Ya paling nggak kamu kenalan sedikit lah sama Bu Grace, biar gak sayang buang-buang waktu juga." imbuh Ingrid sambil berbisik. Bu Grace sementara masih memperhatikan mereka sambil menyeruput kopi. "Aku pesan makanan dulu ya buat kalian."

Agnes menghela nafas panjang, ia menyeret langkah kembali ke tempat duduknya di seberang Bu Grace, mendapati kopi Decaf-nya yang belum tersentuh.

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya mendadak.

"Ah, iya. Biasa Bu, saya selalu berantem sama kakak saya."

"Gak apa-apa asal masih bisa terkendali." tukasnya. "Gimana hari ini? Kayaknya tadi lihat beberapa anak Marketing pulang belakangan."

Agnes bersidekap. Raut wajah Bu Grace netral, sekilas tidak tampak menghakimi. Ada bagian dirinya yang mengingat betapa intens acara eval siang tadi, dan bagaimana Bu Grace selalu siap dengan kritik pedas dan lantang. Pembicaraan ini akan mengerucut ke ranah pekerjaan, apa Bu Grace akan mengomel?

"... Agnes?"

"I, Iya Bu, maaf!"

Ia tertawa lagi. "Saya bukan mau menghakimi kamu kok."

"I-Ibu bisa baca pikiran saya?"

Senyumnya kali ini nanar, tapi ia segera membuka mulut, melanjutkan pembicaraan, "Kalau kerjaan dari Cliff rahasia, kamu berhak tidak menjawab."

"Nggak Bu, bukan rahasia," ucapnya cepat. "Senin kita bakal rapat soal itu."

"Oh, malah jadi ngomongin kerjaan," dia menepuk dahi. Sebuah gestur yang Agnes tidak sangka akan dilakukan Bu Grace. "Kalau dari kamu, ada yang mau ditanya nggak ke saya?"

Agnes mengerutkan dahi, bingung. Ada rasa penasaran di dirinya ketika ia melihat Bu Agnes. Namun, tidak ada pertanyaan terbersit di pikirannya, tidak saat ini. Agnes memperhatikan bagaimana Bu Grace ada di depannya, tampak santai dan rileks, hampir tidak berbeda dengan Pak Cliff atau Bu Melissa. Agnes tentu tidak bisa menebak apa yang sedang Bu Grace pikirkan sekarang.

Kata-kata kakaknya terngiang soal 'buang-buang waktu'. Bu Grace ada di sini karena dia 'telah menyempatkan waktu'. Agnes bukanlah seorang yang dengan tega mengusir atau sontak pergi begitu saja terhadap seseorang yang sudah menyisakan waktunya untuk sekedar bertemu.

"Ibu suka kopi?" pertanyaan itu meluncur ketika Agnes melihat kopi di cangkir yang diminum Bu Grace sudah hampir habis. Hitam pekat, bisa saja double shot espresso atau lebih. Tidak ada orang yang tidak menggemari kopi memesan kopi hitam panas di kafe.

"Hm? Lumayan. Saya baru pertama kali nyoba ngopi disini, ternyata enak juga."

"Biasanya Ibu ngopi dimana?"

"Saya kurang sempat ngopi." ungkapnya singkat. Kerling matanya membuyar ke arah kaca jendela, seakan-akan melihat sesuatu yang tidak ingin ia sebutkan. "Tapi ya mungkin di lain kesempatan saya bakal mampir lagi kemari. Karena ketemuan sama kamu, saya jadi ketemu restoran favorit."

Agnes tak pelak berulas senyum, mendapati Bu Grace yang juga tersihir oleh Affogato. "Saya bisa rekomendasikan kopi di sini, kalau Ibu mau."

Bu Grace menaikkan kacamatanya, tangannya terlipat di meja, pandangannya lurus menyambut Agnes. "Boleh."

Ketika Ingrid datang kembali ke meja dengan makanan yang dia pesan (ia memesan spaghetti untuk mereka bertiga, pilihan yang netral), pembicaraan mereka merambah ke hal-hal umum dengan Ingrid yang menggiring topik.

Agnes memperhatikan bagaimana Bu Grace cukup banyak bicara dan menjawab, walau tidak sekelas ibu-ibu sosialita ketika menanggapi sebuah gosip. Citra profesionalnya masih melekat dengan tutur katanya yang formal dan tertata dan bagaimana ia membawa dirinya lugas - berdiri tegap, berbicara di saat yang lain sudah tidak berbicara, tidak ada sedikitpun kalimat yang ia haturkan terbata-bata. Sedikit demi sedikit, citra yang membekas di benak Agnes seputar Bu Grace yang kaku dan menyeramkan sirna.

"Jadi gimana, Nes, kamu mau coba ngobrol terus dengan Bu Grace?"

Pertanyaan Ingrid yang to-the-point membuatnya tersedak.

"M-M-Maksudnya?"

Ingrid hanya nyengir lebar. Kakaknya yang duduk di sampingnya itu menyenggol lengannya dengan siku, sebuah gestur untuk membuatnya cepat menjawab. Agnes menatap lamat-lamat Bu Grace yang menyantap spaghetti dengan pelan; memuntir sekelompok panjang spaghetti yang penuh saus putih dengan bantuan garpu, menunggu tidak ada saus yang turun tercecer percuma sebelum memasukkannya ke mulut.

Pemilik surai hitam itu tampak tenang, walau pertanyaan itu secara tidak langsung dihadapkan juga kepadanya.

Agnes menarik pandangannya sejenak, menatap jemarinya yang terbuka di pangkuan. Bu Grace sama sekali tidak ada di radar preferensi Agnes; wanita ini jauh lebih dewasa, profesional, juga mengutamakan karir. Sementara Agnes hanya seorang yang masih hijau bila disandingkan dengan Bu Grace, jarak mereka terlampau jauh, baik dari kepribadian maupun dalam pekerjaan.

"Maaf, tapi," Bu Grace menaikkan kepalanya, senyumnya penuh arti. Tidak ada siratan sedih atau kecewa dari mata amber yang mengintip di balik kacamata oval berbingkai penuh itu. "Mungkin ... Ibu lebih cocok dengan orang lain."

Biasanya, Ingrid akan segera menimpali dengan sedikit guyonan. Kali ini, Bu Grace melirik ke arah Ingrid, memberikan satu gelengan kepala pertanda sesuatu, sebelum akhirnya ia meletakkan kedua tangannya di samping piring.

"Terima kasih atas hari ini, Agnes, Ingrid."

Wanita itu menghabiskan makanannya sebelum pergi. Ia mengucapkan terima kasih sekali lagi atas kesempatan dan makanan, sebelum akhirnya ia menghilang dari keramaian Affogato. Ingrid dan Agnes saling bertatapan, makanan mereka sudah habis, namun kopi Agnes belum.

"Kamu masih mau disini?"

Ingrid memecah sunyi di antara mereka. Ia sudah berdiri dengan kedua tangan di dalam saku, ekspresinya netral.

Agnes mengangguk.

"Aku bayar tagihan tadi, ya," tukasnya, ia menunjuk arah kasir. "Hati-hati nanti pas pulang ke rumah."

Sekali lagi, Agnes mengangguk. Entah kenapa tidak ingin berbicara terlalu banyak.

Ini pertama kalinya Agnes tidak ingin lanjut untuk memarahi si kakak akibat perilakunya yang seenak jidat memasangkannya dengan seseorang secara acak dengan platform perjodohan daring. Ini pertama kalinya Agnes tidak ingin menghabiskan kopi Decaf kesukaannya, merasa butuh sesuatu yang lebih manis dan lebih dingin dari biasanya. Ini pertama kalinya ia melihat ke arah pintu dengan sedikit perasaan hampa, juga sedikit perasaan lain yang tak bisa ia ungkapkan.

Ketika sosok sang kakak telah hilang dari permukaan Affogato, Agnes keluar dari bangkunya untuk memesan marshmallow macchiato ukuran paling besar dengan ekstra sirup karamel, dan memutuskan untuk pulang.

Affogato tutup sekitar jam 12 malam, tetapi Agnes tidak akan berpikir untuk tetap disana sampai restoran tersebut tutup terkecuali teman akrabnya tengah bekerja. Tidak baik juga pulang terlalu malam kalau ia sendirian, ada banyak predator di luar sana yang suka menyatroni wanita-wanita muda. Agnes melihat jam di ponselnya, sepuluh menit sudah meluncur dari jam sembilan malam.

Agnes keluar dari restoran sebelum playlist restoran berangsur kembali ke jalur klasik setelah memutar ke arah slow rock dan electropop. Udara dingin malam menyambutnya yang telah membawa segelas besar minuman dingin dan manis. Merasa belum ingin minum, Agnes menenteng gelas plastik takeout itu di tangan, pandangannya menengadah ke arah langit tak berbintang sebelum ia mengamati beberapa orang yang baru saja ingin masuk ke dalam Affogato.

Affogato memiliki sebuah konter khusus untuk take away, sebuah jendela kecil yang menghadap ke arah jalanan utama. Letaknya tidak jauh dari pintu utama, mungkin dekat dengan dapur. Ada sebuah kursi panjang dari kayu sebagai tempat tunggu terletak di samping kanan jendela tersebut, seakan menempel pada dinding. Umumnya, tidak terlalu banyak yang akan membeli minuman atau makanan untuk dibawa pulang di jam-jam segini, namun Agnes melihat bahwa jendela itu ramai dengan orang yang mengantri.

Dan, Agnes menangkap seseorang dengan rambut hitam, satu gelas karton di tangan kanan, dan ponsel di tangan kiri, tengah menerima telepon.

Mata mereka lagi-lagi bertemu.

"Bu Grace?" panggilnya. Bu Grace tengah menyudahi pembicaraannya, kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas tangan yang ada di pangkuannya. "Ibu belum pulang?"

Ini hanya kebetulan. Agnes berkata dalam hati. Bu Grace sibuk, baru saja dia tadi menerima telepon. Telepon tersebut pastilah penting karena ia tidak segera pergi.

Bu Grace mengangguk, "Keasyikan ngobrol sama orang," tukasnya. Ia berdiri dari bangku, mendekati Agnes yang tengah berdiri. Mereka menepi dari keramaian antrian dan alur pintu masuk.

Agnes baru menyadari Bu Grace lebih tinggi darinya sedikit. Bila mengukur dari tingginya sendiri, mungkin sekitar 4 cm dari 160 cm. Bu Grace tidak mengenakan sepatu hak, jadi perkiraan tinggi itu kurang lebih akurat menurutnya.

"Kamu juga belum pulang?"

"Iya bu, tapi rumah saya dekat kok. Cuma jalan sepuluh menit dari sini." ungkap Agnes cepat. Di benaknya, ia ingin segera berbalik badan dan kabur.

"Mau saya antar?"

Arah pembicaraan yang Agnes sudah perkirakan. Mungkin, mungkin Bu Grace menawarkan sekedar basa-basi, tetapi Agnes merasa hal itu tidak diperlukan. Wanita itu tidak tampak seperti seseorang yang baru saja ditolak, ralat, ia tolak. Atau, Bu Grace memang sudah menduga bahwa hari itu akan berjalan demikian.

"Nggak usah Bu, saya sudah cukup ngerepotin hari ini." Agnes menjawab dengan senetral mungkin.

Agnes tidak menduga bahwa Bu Grace akan menahan pergelangannya, sentuhan yang pelan lagi nyata. Hangat seakan menjalar dari jari-jemari tersebut ke tangannya yang dingin, alih-alih menunjukkan bahwa wanita bersurai hitam itu adalah sosok yang utuh - sosok yang enggan Agnes acuhkan.

"Kamu nggak merepotkan saya sama sekali," ungkapnya. Seperti angin yang hadir secepat datangnya, Bu Grace menarik diri. Pandangannya ia tuju ke bawah, ke tangan mereka yang bersinggungan, seperti menyadari bahwa ia tidak seharusnya melakukan hal tersebut.

"Maaf, saya bukan bermaksud apa-apa. Agak rawan jalanan sini kalau malam sendirian."

"Sama saja kalau Ibu antar saya tapi ternyata Ibu berlawanan arah." Agnes membalas. Bu Grace tidak berkomentar, ia sekedar tersenyum simpul. "Tenang saja Bu, saya nggak bakal kenapa-kenapa."

Bu Grace menghela nafas pendek, sebelum ia mundur selangkah, "Baik kalau begitu. Hati-hati di jalan, ya."

Agnes pergi setelah sosok Bu Grace menghilang dari wilayah teras Affogato, langkahnya tegap selayaknya biasa ia membawa dirinya di kantor.

Sejenak, ia terdiam dalam langkahnya yang cepat, merasakan bahwa tangan tadi masih saja terasa hangat walau gelas marshmallow macchiato di genggamannya mulai berkeringat dingin. Sekelumit rasa nyeri mulai menjalar di dadanya yang semula kosong karena kehampaan dan rasa yang bercampur aduk.

Apa itu barusan? []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro