04 • Tamu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dia memberikan penjelasan padaku, tentang segala hal yang dia ketahui tentangku. Katanya, dia tertarik padaku sejak aku masih SMP. Aku baru tahu bahwa Farid juga kakak kelas di masa sekolah menengah pertama, beda dua tingkat. Sama seperti sekarang yang juga dia kelas tiga SMA sedang aku baru di kelas satu. Waktu di sekolah ini juga masih seperempat semester, cukup awal tetapi aku sudah mendapatkan kegilaan yang membuatku rasanya tidak cukup betah berada di sini. Aku tidak mengerti dengan kata 'tertarik' yang dia gunakan saat menjelaskan mengapa dia begitu ingin mendapatkan nomor ponsel sampai pula ingin berteman. Tertarik yang bagaimana? Kita bahkan tidak pernah berinteraksi dan ini adalah percakapan kami yang pertama.

Farid juga menjelaskan bahwa dia ternyata memiliki saudara yang tinggalnya satu desa denganku. Bahkan saudaranya juga berada di satu lingkungan, satu RT.

"Jadi, kamu tau permasalahan keluargaku dari buah bibir sodaramu?" tanyaku dan dibalas Farid dengan anggukan.

"Jangan diam aja, Nat." Farid berucap, wajahnya terlihat serius.

"Kamu tau apa, sih, sampai berani bilang begitu dengan begitu mudah?" Aku jengkel, ada rasa ketidaksukaan saat urusanku dicampuri oleh orang lain yang tidak ada hubungannya.

"Aku tau kalau kamu dilempar di kolam lele dan kemudian dilempari pakai batu." Jawaban Farid sekali lagi membuatku membulatkan mata karena terkejut.

"Kamu ... kok bisa tau soal itu? Jangan ikut campur sungguh, aku gak suka." Aku meninggikan suara, memberikan peringatan padanya agar tidak berbicara lebih jauh.

"Kemarin aku ke rumah saudaraku dan aku liat dengan mata kepalaku sendiri waktu kamu dilempari sama ayahmu."

"Bukan urusanmu. Apa yang terjadi sama keluargaku, kamu gak usah ikut campur," kataku disertai penekanan.

"Aku cuma mencoba peduli sama kamu biar kamu gak kayak gini terus, Nat. Aku gak suka liat kamu jadi korban tapi gak bisa balas apa-apa." Farid menjelaskan.

"Peduli? Hei! Kalau emang kamu peduli, kalau emang kamu nonton apa yang terjadi sama aku kemarin, kamu gak akan diam aja." Aku membalas ucapannya. Dia terdiam dengan tatapan yang tidak dapat kudeskripsikan. Aku melanjutkan, "Kenyataannya, kamu sama aja kayak tetangga sekitarku, kan? Cuma jadi penonton lalu berbisik dan kepo untuk tau lebih lanjut."

Farid tidak menjawab. Aku sudah tidak ingin lagi melanjutkan pembicaraan tidak jelas ini sehingga memilih bangkit dari duduk dan segera kembali ke kelas. Waktu istirahat belum berakhir dan karena tidak ingin berinteraksi banyak dengan anak-anak kelas, aku pun tidur hingga jam pelajaran kembali dimulai.

Hari berlalu di sekolah dengan tidak bersemangat. Aku harus pulang dengan menaiki bus antara kota dari pusat kota Bondowoso sampai halte pemberhentian di dekat Pasar Maesan. Dikarenakan minimnya uang yang kumiliki sehingga untuk tiba ke rumah pun aku harus jalan kaki. Antara Maesan hingga Desa Pujerbaru tempatku tinggal cukup jauh, lumayan pegal pada bagian lutut dan paha sebab jalan kaki yang memakan waktu hingga sekitar dua jam. Tepat pada pukul empat sore, aku tiba di rumah yang pintunya sudah menganga lebar.

Keningku berkerut dalam saat melihat di depan pintu, tepatnya pada rak sandal terdapat sepatu anak kecil. Ada wedges berwarna biru tua yang juga bertengger di sana. Alas kaki semacam itu jelas bukan milikku dan ibuku. Mungkin di rumah kedatangan tamu atau semacamnya.

Aku melangkah masuk dan mendapati seorang anak kecil perempuan, usianya mungkin belum sampai lima tahun, rambutnya keriting diikat belah dua di atas kedua telinganya serta berselonjor kaki sambil memainkan alat masak-masak kecil warna-warni. Tidak ada orang lain lagi di ruang tamu selain si bocah yang masih asyik bermain dan mengabaikan kedatanganku.

Tidak kupedulikan atau kusapa, langkah kakiku membawaku masuk lebih dalam ke area ruang tengah. Di sana ada sebuah karpet bulu tempat biasa aku dan Ibu menonton TV. Aku melihat di sana ibuku terduduk di atas karpet bulu berwarna coklat sambil menangis tersedu bersama seorang wanita yang juga menangis deras di samping ibuku. Di sisi lain, ayahku duduk di sebuah kursi plastik depan TV, memandangi dua wanita itu bergantian. Wajah Ayah sangat tidak bersahabat, rahangnya mengeras dengan raut muka penuh emosi.

"Ada apa lagi ini?" batinku.

"Permisi," kataku singkat, sudah tidak tahu mau mengucapkan apa lagi di situasi seperti ini.

"Diam di sini dulu!" seru Ayah saat aku hendak berjalan melewati mereka untuk menuju ke kamar.

"Apa, Yah?" tanyaku membuat lelaki yang sudah kepala lima kurang tiga tahun itu menfokuskan atensi padaku.

"Salam dulu," kata Ayah. Suaranya tegas. Ditambah dengan mimik marah yang ditampilkan membuatku menciut hingga tidak bisa membantah setiap apa yang dia haturkan.

Aku berjalan tak bersemangat, mencium tangan Ibu dengan tulus lalu ikut bersalaman pada wanita di samping Ibu. Aku memandangi ibuku sambil duduk di sebelahnya, tangisannya belum berhenti padahal matanya sudah sedikit membengkak. Aku menanyakan sebenarnya ada apa tetapi dia hanya membisu dan tertunduk dalam keadaan terisak.

"Nat." Suara Ayah memanggil. Aku mendongak menghadap ke wajahnya yang sekarang terlihat sangat serius. Dia menghela napas panjang lalu berucap, "Ibu yang di sebelah itu namanya Bu Lisma, dan anak yang di ruang tamu itu namanya Sindi. Mereka juga bagian dari keluarga kita."

"Bagian dari keluarga? Maksud Ayah gimana?" tanyaku. Di waktu yang sama, jantungku berdebar lebih kencang, tanganku menggenggam rok yang kukenakan dengan erat. Napasku mulai tersengal akibat pikiran-pikiran negatif yang muncul saat ini. Bisa kutebak. Sungguh, aku bisa menebak apa yang ingin disampaikan oleh Ayah mengingat sudah terlalu sering hal seperti ini terjadi.

"Dia ibu tiri kamu dan itu adikmu." Jawaban Ayah sudah bisa kuprediksi tetapi ini tetap saja menyakitkan.

Air mataku menetes tanpa harus berkedip, langsung terjun bebas begitu deras dengan bibir yang kugigit kuat agar tidak mengeluarkan suara. Ini memang bukan pertama kalinya aku mengetahui bahwa Ayah suka berselingkuh, suka beristri lebih dari satu di luar sana dan suka bercocok tanam hingga banyak buahnya. Aku tahu.

Namun, ini pertama kalinya Ayah sampai membawa istri simpanan dan anaknya masuk ke dalam rumah ini. Rumah Ibu!

"Dia anak kandung Ayah yang artinya dia sedarah sama kamu. Harus baik-baik kamu sama adiknya karena mulai hari ini, kita semua akan tinggal bersama." Ayah menambahkan lagi.

Sekarang nampak jelas sudah jawaban atas apa yang telah membuat ibuku menangis tersedu. Kejadian ini semakin memupuk rasa benci terhadap Ayah di dalam hati. Ibuku memang selalu mengatakan agar aku sabar, bahwa sejatinya bagaimanapun ayahku akan tetap berstatus Ayah yang perlu dihormati oleh seorang anak. Namun, jika terus begini, apa pantas manusia gila selangkangan itu tetap kuanggap Ayah yang patut dihormati?

.

04 Juli 2024

🌹 Resti Queen.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro