|| Part 15 ||

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy Reading ✨

Ansel mendudukkan tubuhnya di atas sofa. Lelaki itu mengambil remot yang berada di atas meja, kemudian menyalakan televisi yang ada di hadapannya. Lelaki itu terus menekan tombol di remot itu, berpindah-pindah dari channel yang satu ke yang lainnya. Tidak menemukan tayangan televisi yang menarik untuk ditontonnya, lelaki itu memutuskan untuk mematikan televisi.

Malam ini begitu sunyi. Tidak ada siapapun di rumah, selain bi Ani—asisten rumah tangganya. Papa dan mamanya sedang keluar untuk makan malam, katanya sih untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke 20 tahun lewat 5 bulan. Ya, seperti itulah kedua orang tuanya. Di setiap bulannya, tepatnya pada tanggal 5, mereka selalu keluar untuk makan malam atau sekadar jalan-jalan tak menentu arah. Alasannya selalu sama, yaitu untuk merayakan hari ulang tahun pernikahan mereka.

Yang Ansel herankan ialah, mengapa harus setiap bulan? Bukankah ulang tahun pernikahan biasanya diadakan per tahun?

Entahlah, rasa-rasanya kedua orang tuanya itu tidak ingat, bila mereka sudah memiliki 2 anak yang usianya sudah bukan anak kecil lagi. Keromantisan mereka bisa saja membuat kedua anaknya iri. Iri karena mereka belum memiliki gandengan sekarang ini.

Tiba-tiba saja, Ansel kepikiran dengan adik perempuannya satu itu. Kemana Adel hingga belum pulang semalam ini? Ansel melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 9 malam.

Hari ini hari Minggu, seingat Ansel, adiknya itu tidak memiliki jadwal bimbel yang mengharuskan ia keluar dan belum pulang sedari tadi. Lantas, kemana adiknya itu?

Ansel mengeluarkan ponselnya, kemudian membuka layar ponsel dengan logo apel setengah gigit di belakangnya itu. Lelaki itu berniat untuk menelepon Adel. Namun, niatnya segera diurungkan, kala mendengar suara ketukan pintu.

“Pasti itu Adel,” ucapnya. Ansel meletakkan ponselnya di atas meja, kemudian berjalan untuk membuka pintu.

Dugaannya benar, itu adalah Adel. Akan tetapi, ada hal lain yang mengalihkan pandangan Ansel. Adiknya itu pulang dengan keadaan sempoyongan.

Ansel dengan segera memapah adik perempuannya itu ke dalam kamar Adel.

“Kamu darimana aja?” tanya Ansel. Lebih tepatnya, lelaki itu sedang mengintrogasi Adel. Bagaimana tidak? Adiknya itu pulang dengan keadaan sempoyongan, ditambah lagi, Adel tengah menggunakan pakaian minim saat ini. Apa adiknya itu sama seperti Fira? Apa adiknya itu pergi ke club, dan meminum alkohol sehingga berakhir sempoyongan seperti ini?

“Kalau ditanya itu jawab, Del.”

“Berisik kamu. Aku pusing banget,” lirih Adel. Gadis itu memegang kepalanya yang tengah berdenyut.

“Kamu habis dari club? Habis minum minuman alkohol ya? Kenapa pulangnya semalam ini? Pakai pakaian minim, dan pulang dalam keadaan seperti ini lagi.”

Adel menatap Ansel jengah. Apakah abangnya itu tidak bisa untuk tidak berpikiran negatif sehari saja padanya? Sejak seminggu terakhir, tidak abangnya, tidak mamanya, bahkan papanya pun selalu menuduhnya dengan hal yang tidak-tidak.

“Aku pusing. Bisa gak sih diam bentar aja?”

Ansel kemudian diam, sesuai dengan kemauan Adel. Diam-diam lelaki itu melihat tingkah Adel, apakah adiknya itu bertingkah seperti orang yang baru saja meminum alkohol dalam kadar yang banyak atau tidak? Namun, tidak Ansel temui bukti-bukti yang mengarah bahwa Adel baru saja meminum alkohol.

Cukup lama Ansel mengamati adiknya itu, hingga saat Adel tertidur, Ansel mendekati Adel yang seperti menggigil kedinginan. Ansel menyentuh kening Adel dengan telapak tangannya.

“Panas banget,” ucapnya saat merasakan temperatur panas dari tubuh Adel.

Tidak mau berbasa-basi, Ansel dengan segera menelepon dokter Ira—dokter yang selalu dipakai oleh keluarganya.

Tak butuh waktu lama, dokter Ira pun datang, dan memeriksa keadaan Adel. Ansel menunggu di luar kamar Adel, hingga dokter Ira selesai memeriksa keadaan adiknya itu.

“Bagaimana keadaan Adel, Dok?” tanya Ansel saat dokter Ira berjalan keluar dari kamar Adel.

“Adel terserang demam yang tinggi, makanya ia sampai menggigil seperti itu. Tapi, saya sudah memberikannya obat, nanti diingatkan untuk dikonsumsi setelah makan, ya,” ujar dokter Ira.

“Adel demam? Jadi, Adel tadi pulang dengan keadaan sempoyongan bukan karena ia habis meminum terlalu banyak alkohol?”

Dokter Ira menggeleng. “Jelas bukan. Adel tadi berjalan sempoyongan, mungkin karena sedang pusing. Yang jelas, bukan pengaruh alkohol.”

Mendengar penuturan dokter Ira, Ansel tersenyum lega. Ternyata, adiknya itu sempoyongan bukan karena meminum alkohol.

Akan tetapi, mengapa Adel mengenakan pakaian minim dan pulang semalam ini? Kemana Adel sebenarnya?

■■■

Matahari sepertinya sudah kelelahan dalam bersinar, ia mulai beranjak pulang ke singgasananya, menuju tempat peristirahatannya. Perlahan, langit yang berwarna biru mulai mengalami perubahan, yang semakin lama warnanya berubah menjadi warna jingga yang menyejukkan mata. Orang menyebutnya langit senja. Banyak orang mengagumi senja, alasan paling sederhananya ialah karena senja itu indah.

Akan tetapi, semata-mata indah tidaklah menjadi alasan pasti bagi segelintir orang yang lebih menyukai filosofi mengenai langit senja itu. Senja adalah tanda, bahwa tak semua yang bersinar akan terus bersinar. Akan ada saatnya, mereka yang bersinar redup cahayanya, sehingga ia berganti menjadi seseorang yang penuh akan kegelapan.

Senja yang sifatnya sementara, kembali dapat memberi pelajaran, bahwa tak semua hal yang indah di kehidupan kita akan terus berlalu seperti itu. Semua akan ada masanya, masa dimana bahagia menyapa, dan masa dimana kesedihan akan menggantikan.

Namun, di antara kedua filosofi itu, tidak ada satupun yang dapat mewakili perasaan Ansel, sebagai seorang pengagum senja. Baginya, alasannya menyukai senja itu karena Fira, mantan kekasihnya yang masih begitu ia cintai.

Baginya, Fira itu layaknya senja, terlalu indah untuk dirangkai dalam beberapa kalimat saja. Ia butuh beberapa paragraf atau bahkan ratus lembar buku untuk menuliskan betapa menariknya seorang Fira.

Mungkin benar, bila kehilanganlah yang akan menyadarkan kita dari sesuatu yang tak pernah kita sadari keberadaannya. Begitupula dengan Ansel, setelah merasa kehilangan, ia baru sadar bahwa Fira benar-benar penting di kehidupannya.

Akan tetapi, yang namanya penyesalan itu selalu datang di akhir, kan?

Tidak ada yang bisa Ansel ubah, selain rasa kecewa yang begitu besar di hatinya kala mendapati Fira yang kini berubah sedemikian rupa.

Ngomong-ngomong, semenjak hari diusirnya Fira, Ansel tak tahu lagi kabar dari mantannya itu. Kemana Fira pindah untuk sementara? Dimana Fira tinggal sekarang?

Seketika beberapa pertanyaan itu mengelilingi pikirannya.

Apa mungkin, bila Fira sekarang tinggal di rumah Eriko?

Tidak mau berspekulasi terlalu banyak, Ansel segera meraih kunci mobilnya, dan menuju rumah Eriko. Jarak antara rumah keduanya tidak terlalu jauh, hanya butuh 10 menit untuk bisa sampai ke rumah Eriko.

Sesampainya di depan rumah Eriko, Ansel tidak menemukan bukti bahwa Fira tinggal disana. Ada secuil rasa syukur yang terbesit di hati lelaki itu. Ia bersyukur, ternyata Fira tidak tinggal di rumah itu.

Lagian, mengapa bisa Ansel berpikiran seperti itu? Mana mungkin Fira tinggal di rumah Eriko. Ya, itupun jika Fira masih tetap seperti Fira yang dulu, yang baik dan tidak neko-neko.

Ansel hendak menjalankan mobilnya untuk pulang, namun pergerakannya terhenti, kala ia menangkap siluet seseorang keluar dari rumah Eriko itu.

“Fira!”

━━━┅┅☆★☆┅┅━━━

Semenjak kepergianmu, bukanlah rasa ikhlas yang mengiringi, melainkan penyesalan yang selalu hadir mengarungi hidupku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro