satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Udah pernah bikin cerita tentang playboy, tentang kasir, tentang rang gila, tentang tukang gambar, tentang emak kucing, tentang tukang kopi. Sekarang, eke mo bikin cerita anak cewek genit, ah. Kalo diitung-itung, ini cewek setara Irena. Tahu, kaga, siapa irena? Ah, ga gaul kalo ga tau.

Bedanya, saingannya ukhti-uhkti. Wkwkw

***

1 (Not) So Perfect Love Story

Waktu itu pukul empat dini hari Minggu. Jalanan ibukota agak lengang. Tapi buat penikmat dunia malam, waktu-waktu tersebut artinya mereka harus kembali pulang. Lagipula, malam minggu telah usai. Yang tersisa hanyalah mereka yang masih teler di klub dan mesti dibangunkan oleh para pelayan atau bartender yang sudah tidak sabaran untuk pulang juga.

Beberapa berakhir muntah-muntah di pelataran parkir. Yang lain, dapat teman baru dan melanjutkan sesi berikutnya entah di kostan, apartemen, atau bahkan di hotel. Tidak peduli mereka sendiri punya status sebagai suami atau istri orang, atau juga kekasih, selagi tidak merugikan orang lain dan pasangan barunya juga sama-sama suka, maka urusan dosa, kena penyakit kelamin, atau kepergok pasangan adalah belakangan.

Bukankah, malam minggu adalah momen pelampiasan setelah enam hari berjuang, berjibaku mencari uang dengan cara memeras keringat habis-habisan? Di Jakarta, self reward seperti ini sudah bukan hal yang tabu. Anak-anak muda mulai dari Jaksel, SCBD, dan lain-lain, menikmati momen ini dan menjadikannya hal yang paling ditunggu-tunggu.

Alaia Primrose Kanavara juga salah satunya. Tapi, seumur hidup dia tidak perlu bekerja keras seperti kebanyakan orang. Keringatnya beraroma mahal, tidak bau bacin. Parfumnya paling murah Miss Dior, yang aromanya sudah jadi favoritnya sejak SMA. Kakeknya adalah bos Kanavara grup, Anwar Sastro Kanavara yang bergerak di bidang kuliner, perkebunan sawit dan karet, juga pemilik PH yang telah sukses membuat ratusan cerita laku yang digemari banyak anak muda Indonesia.

Alaia juga seorang selebgram terkenal, punya akun media sosial yang selalu ramai dikunjungi penggemar, kebanyakan kaum Adam yang terkewer-kewer melihat kemolekan tubuhnya, kaum Hawa yang berharap bisa bertukar nasib supaya bisa hidup bertabur kemilau kemewahan yang tidak bakal mereka miliki, serta pembenci yang tidak pernah alpa menceramahi wanita dua puluh lima tahun itu tentang aurat, hari kiamat, serta neraka jahanam yang tidak berkesudahan.

Tapi, di balik itu semua, orang-orang mengenalnya sebagai selebriti tukang onar, angkuh, pemarah, dan gemar bertengkar dengan siapa saja yang mengusik hidupnya. Bahkan, klub-klub dan akun pembenci Alaia bertaburan di jagat maya. Cuma, dia tidak peduli. Semakin banyak yang memberi komentar buruk terhadapnya, semakin Alaia menjadi. Jika warganet menceramahi satu postingannya yang menggunakan pakaian kurang bahan, besok, dia akan menggunakan pakaian lebih minim lagi disertai keterangan, "Mau Ayank lo celananya nggak muat lagi? Kirim aja foto ini" yang membuat semua orang gempar. Dia benar-benar tidak peduli.

Akun gosip selalu kebanjiran komen bila memposting secuplik adegan kelakuan atau foto curi-curi tentang Alaia. Setelah itu, mereka akan mendapat tawaran iklan termasuk dari pembesar dada, penumbuh bulu, tukang mata minus, dan lain sebagainya. Netizen bakal bertengkar dan mengata-ngatainya, penggemarnya akan pasang badan membela, sedang Alaia sendiri pada akhirnya nongkrong di klub paling bagus di Jakarta, menikmati sang DJ memutar lagu menghentak-hentak dan dia menyesap minuman paling memabukkan yang bisa dijual oleh bartender di klub tersebut.
Peduli setan dengan semua komen sialan itu. Masa bodoh juga dengan pasangan gila yang kini sudah saling pangku di hadapannya, Alaia hanya ingin bergoyang, menggerakkan semua anggota tubuhnya yang selama seminggu ini telah dia siksa habis-habisan di kelas Muay Thai dan juga kelas kickboxing.

Sayangnya, malam Minggu rupanya tidak berumur panjang. Dia harus angkat kaki begitu musik terakhir berhenti bermain. Dengan diiringi gerutuan tidak jelas dari pengunjung yang kesal kesenangan mereka terganggu, termasuk juga makian yang keluar dari bibirnya, Alaia beruntung dia tidak berakhir muntah-muntah di pelataran parkir. Meski begitu, dia bersyukur bisa mencapai mobilnya tanpa terguling.

Ponsel Alaia berdering, membuatnya menoleh ke arah kursi penumpang di sebelahnya. Tas Kelly mininya tergeletak dan cahaya lampu dari layar ponsel berpendar. Begitu tangan kanannya bergerak mengambil ponsel, nama Albert tertera di sana.

Alaia berdecak. Si tua bangka itu tidak tidur rupanya. Bukankah dia selalu tahu jadwal Alaia di malam Minggu?

"Selamat pagi, Nona. Sudah waktunya pulang."

"Gue tahu. Kagak usah lo ingetin lagi." balas Alaia dengan suara cukup besar. Ponsel sudah dia lempar kembali ke kursi dan dia siap menjalankan mobil. Tidak berapa lama, Albert bicara lagi, "Anda cegukan. Apakah minum-minum lagi?"

Sungguh cerewet. Albert bahkan lebih perempuan dari nenek yang paling cerewet sekalipun. Entah kenapa kakek begitu senang memperkerjakan pria lima puluh tahun itu untuk jadi pengasuh Alaia sejak dia kecil. Padahal, ada banyak perempuan kompeten yang bisa dijadikan pegawai. Tapi, kakeknya malah memilih Albert.

"Itu urusan gue. Ngapain, sih, lo nelepon-nelepon?"

Albert tidak menikah. Dia memilih selibat. Karena itu Alaia tidak bisa menyuruhnya lantas pulang dan memeluk bini. Toh, Albert sepertinya mati rasa dengan perempuan dan dia mengurus Alaia dengan amat telaten, termasuk menyiapkan kebutuhan makannya, perjalanan Alaia, dan gilanya, nomor pakaian dalam serta jadwal tamu bulanannya.

"Kakek dalam perjalanan dari bandara. Beliau ingin bertemu saat sarapan. Agak kurang pantas cucu perempuannya pulang pagi dan dalam keadaan mabuk."

"Lo bilang aja gue ada pemotretan di Lombok." Alaia mengeluh kesal. Kalau ada di depan Albert, sudah pasti dia bakal lebih marah lagi kepada pria itu. Sudah bekerja bertahun-tahun, kok, masih tidak bisa berbohong kepada Kakek? Bukankah ada beribu alasan yang bisa dia pakai. Lagipula, Alaia bosan bertemu kakeknya meski sebenarnya durasi pertemuan mereka bisa dihitung dengan jari dalam satu bulan. Kakek selalu mengingatkannya untuk belajar sehingga dapat mengambil alih perusahaan dengan cepat.

Cih! Dia sudah tamat sekolah bisnis di Monash, hingga ke magister. Hampir semua umur dia habiskan mencari ilmu sampai dia jadi kuper dan culun. Kini, setelah dia bebas dari neraka bernama sekolah, kakek memintanya mati membusuk dikelilingi direksi, pegawai tukang jilat, lembaga audit, tukang cari kesempatan, sudahlah. Dia ogah. Masa mudanya masih panjang dan umur dua lima tidak terulang dua kali.

"Sayangnya, saya sudah bilang kalau anda tidur nyenyak di kamar."

Kurang asem. Memangnya dia anak di bawah umur yang mesti punya jam malam? Di kampung, orang seperti Alaia sudah punya anak tiga dan mungkin bakal siap menimang cucu. Tapi, di kota besar seperti Jakarta, dia sedang mekar-mekarnya. Tadi saja, ada pengusaha berlian yang menawarinya tidur bersama lalu memberi imbalan cincin dua karat.

Cih, kalau dia tahu harga tas di lemarinya, bisa-bisa pria itu kejang-kejang. Dua karat itu berapa juta? Tanya Alaia dalam hati. Bahkan pelacur dibayar lebih mahal kalau sedang laris-larisnya.

Sialan!

"Lo bodoh!" Alaia memaki. Dia tidak tahan lagi. Albert selalu mirip dengan pelayan di film-film Amerika yang dulu sering ditontonnya. Malah, Alaia merasa kalau Albert mirip sekali Alfred, pelayan Batman alias Bruce Wayne yang terkenal itu. Tapi, Alaia bukan Bruce dan dia tidak punya Batmobile. Yang dia punya hanyalah ...

"Maafkan saya, Nona." Albert terdengar meminta maaf. Suaranya masih sama sopan seperti sebelumnya dan Alaia heran, mengapa di tahun dua ribuan seperti sekarang ini, dia seolah dilempar ke masa penjajahan Belanda, di mana, pelayan setia macam Albert mengabdi pada keluarga-keluarga ningrat dengan sepenuh hati.

"Ogah. makan aja tuh maaf sendiri. Lo mesti hadapin kakek. Gue nggak mau."

Untung saja jalanan tidak terlalu ramai. Memang ada orang-orang yang bersiap ke pasar atau olahraga, yah, Alaia tidak peduli. Dia malah masih ingin mengoceh pada anak buah kakeknya yang punya sifat gigih memaksa Alaia pulang. Dia masih ingin mampir ke suatu tempat dan menghabiskan pagi.

"Tolonglah, Nona Alaia. Kita semua tahu, kakek anda sangat menyayangi cucu satu-satunya."

"Gue masih banyak urusan dan lo mestinya bilang sama kakek kalau gue benci seremoni macam rencana dia pagi ini. Ketemu, pelukan satu detik, foto-foto, di-upload ke sosmed, lalu dia pergi. Apa kakek nggak sadar kalau bininya dulu meninggalkannya karena ulahnya yang kayak gitu?" panjang lebar Alaia mengoceh, sementara kakinya menekan pedal makin dalam.

Bini kakek, berarti neneknya juga. Mereka berpisah bertahun-tahun lalu, saat almarhumah ibu Alaia masih balita. Dan kini, setelah anak dan istrinya pergi, pria tua itu selalu memaksakan kehendaknya kepada Alaia dan dia tidak suka. Gadis itu telah menjadi pemberontak sejak dia diasingkan ke Australia dengan alasan belajar.

"Kakek anda sudah berubah. Karena itu, beliau sangat mengharapkan pertemuan pagi ini."

Suara Albert terdengar bergetar. Sungguh emosional dan lembut perasaan pria itu, pikir Alaia. Tetapi dia tidak peduli. Dia masih saja hendak menyuruh Albert melupakan keinginannya saat dia menekan pedal semakin dalam tanpa menyadari bahwa dari samping, muncul mobil keluarga berwarna hitam yang membuatnya kaget setengah mati. Sebuah benturan di moncong mobil Audi berwarna silver miliknya membuat matanya terbelalak dan pekik kecil yang terdengar dari seberang saluran telepon membuat Albert memanggil nama nona kecil kesayangannya itu berkali-kali.

"Nona! Nona Alaia, ada apa? Apakah anda muntah?? Suara benturan apa itu?"

Albert mencengkeram gagang ponsel. Wajahnya pucat. Jantungnya berdebar amat keras. Sesuatu yang buruk sudah pasti sedang terjadi dan di saat yang sama, panggilan dari Anwar Sastro Kanavara segera membuatnya waspada.

Jangan sampai, hal yang paling tidak dia inginkan menjadi kenyataan pagi ini.

**

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro