9. Do You Love Me?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Nothing's Changed

###

Part 9

Do You Love Me?

###

Zaffya menyetir mobil menembus jalan raya yang licin karena hujan yang mengguyur bumi beberapa jam yang lalu. Berkali-kali ia memutari kota hanya untuk mencoba menenggelamkan pikirannya yang kusut. Dia belum siap jika Richard menolak bertunangan dengan dirinya, dan saat itu juga ia tahu akan kehilangan laki-laki itu. Kembali percakapan dengan mamanya beberapa jam yang lalu, menghampiri ingatannya.

"Zaffya tidak akan bertunangan dengan Dewa!" ucap Zaffya lantang di tengah ruang keluarga kediaman Daniel Farick.

"Jangan berteriak pada mama," balas Nadia tegas pada Zaffya yang berdiri di hadapannya. "Kau tahu mama tidak akan membiarkanmu merusak rencana mama."

"Zaffya tidak akan bertunangan dengan siapa pun, sampai Zaffya menginginkan hubungan yang serius dengan siapa pun itu nantinya."

"Kau tidak bisa menyangkal darah yang mengalir di nadimu, Zaffya."

"Zaffya tidak menyangkalnya. Zaffya hanya tidak suka mama membatasi hidup Zaffya."

"Mama tidak pernah membatasi hidupmu. Mama hanya tidak suka kau menyia-nyiakan waktu untuk hubungan yang tidak jelas seperti ini."

"Zaffya serius mencintai Richard. Apa ini tidak cukup jelas bagi mama?"

Nadia terdiam.

Zaffya bisa melihat bibir Nadia Farick yang terkatup rapat menelan apa pun itu yang akan dikatakan. Setelah menunggu selama beberapa saat, dan mamanya tidak juga mengucapkan sepatah kata pun. Ia pun melanjutkan, "Alasan mamalah yang tidak jelas, merencanakan pertunanganku dengan Dewa. bahkan seteah tahu hubunganku dengan Richard."

Zaffya tidak tahu apa yang membuatnya memarkirkan mobil di basement apartemen salah satu aset keluarganya ini. Gedung apartemen yang sudah sangat familiar, karena di gedung inilah Ryffa tinggal. Begitu juga kekasihnya.

Zaffya juga tidak tahu kenapa dia menekan lantai 21 tempat apartemen Ryffa, hanya untuk berjalan menuju tangga darurat dan menuruni anak tangga menuju lantai 19.

Berhenti di apartemen 1922, Zaffya menekan password pintu yang sudah sangat dihafalnya di luar kepala.

231109

Hari di mana pertama kalinya Richard menciumnya. Tentu saja ia tidak bisa melupakan peristiwa yang sangat mempengaruhi hati dan pikirannya itu, dan meskipun Richard tak perlu menggunakan angka itu sebagai pegingat.

Pintu terbuka dan Zaffya segera melangkahkan kaki memasuki ruangan yang juga sangat diketahui setiap sudutnya.

Saat ini Zaffya ingin sekali melihat Richard. Membutuhkan pelukan Richard. Dan ia butuh Richard meyakinkan dirinya bahwa perasaan yang mereka miliki nyata.

Zaffya terpaku saat melihat Richard yang kini mengamatinya dengan kening berkerut heran. Begitu juga tiga sosok lain yang duduk bersimpuh di ruang tamu apartemen Richard. Sepertinya anggota OSIS, batin Zaffya saat melihat laki-laki dan gadis yang duduk di sebelah Luna. Ia baru ingat kalau tadi pagi Richard sudah bilang ada pekerjaan mading yang belum selesai dan akan mereka kerjakan di apartemen pria itu.

"Apa aku mengganggu?" tanya Zaffya begitu Richard berdiri dan melangkah menghampirinya.

Richard menggeleng sambil mengelus rambut dan mengecup puncak kepala Zaffya dengan lembut.

Zaffya merasakan jantungnya berdentum semakin kencang. Perasaan ini lagi. Selalu. Apa ini yang mamanya bilang tidak nyata?

"Kenapa rambutmu basah? Apa kau kehujanan?" tanya Richard yang merasakan lembab di rambut dan bahu Zaffya.

Zaffya baru menyadari kalau tadi ia sempat kehujanan saat berjalan menuju carport yang ada di sebelah barat bangunan rumahnya.

"Ganti bajumu di kamarku dulu sebelum kau demam. Kau tidak lupa kalau kau paling alergi dengan dingin, bukan?" Richard merangkul pundak Zaffya berniat mengantarkan wanita itu menuju ruangan yang ada di seberang.

Zaffya menghentikan langkah, tersadar kalau bukan mereka berdua saja yang ada di ruangan ini. Zaffya menangkap tatapan heran dan penuh kebingungan yang terpampang jelas di wajah Luna dan kedua sosok lain yang duduk di sebelah wanita itu yang tidak ia ketahui namanya, "Aku bisa pergi sendiri. Kau selesaikan pekerjaanmu saja."

Richard menoleh menengok ke arah ketiga temannya sebentar. "Aku akan membuatkanmu teh hijau dan melanjutkan pekerjaanku," jawab Richard.

Zaffya pun hanya mengangguk dan melangkah menuju kamar Richard yang ada di seberang ruangan. Baru saja ia memasuki kamar Richard, ia bisa mendengar bisik-bisik teman Richard.

"Dia murid baru itu, kan?" Suara feminim yang tidak dikenalinya sebagai suaranya Luna. "Apa dia kekasihnya Richard?"

"Dia bahkan hafal password apartemen Richard. Nama belakang mereka juga tidak sama, jadi mereka bukan saudara. Dan, tidak mungkin mereka bersikap mesra seperti itu pada saudaranya. Jadi dugaanmu benar. Mereka menjalin hubungan. Sekarang kau bisa melanjutkan pekerjaan kita, bukan?"

Zaffya mengabaikan pembicaraan mereka dan menutup rapat-rapat pintu kamar Richard. Ia tidak peduli lagi tentang rumor hubungan mereka tersebar di sekolah.

###

Zaffya baru saja akan memejamkan matanya ketika pintu kamar itu terbuka dan melihat sosok Richard memasuki ruangan itu sambil membawa nampan berisi cangkir putih. Ia bisa mencium bau teh hijau dari isi di cangkir tersebut.

Richard meletakkan nampan itu di nakas, lalu duduk di tepi ranjang sambil memegang kening Zaffya yang mulai menghangat. "Kau demam."

"Mungkin," gumam Zaffya pelan sambil menaikkan selimut ke pundaknya.

"Minumlah dulu."

"Aku akan meminumnya. Kau selesaikan saja pekerjaanmu. Temanmu pasti membutuhkanmu."

"Kau baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja. Aku hanya perlu menghangatkan badan untuk menormalkan suhu tubuhku kembali."

"Baiklah." Richard membungkukkan badan untuk membuka laci nakas. Mengambil plester demam, membuka plastik yang membungkus dan menempelkan di kening Zaffya. "Aku akan menemanimu setelah pekerjaanku selesai."

Zaffya mengangguk kecil. Melihat Richard yang beranjak menuju pintu, mematikan lampu kamar dan menutup pintu. Tahu kalau Zaffya tidak bisa istirahat dengan lampu yang menyala.

Richard duduk kembali di atas bantal yang didudukinya tadi. Melanjutkan menempelkan potongan-potongan berita yang sudah mereka kumpulkan.

"Aku baru tahu kalau kekasihmu murid baru itu," sindir Dafa sambil berbisik di telinga Richard. Namun kedua gadis yang duduk di depannya masih bisa mendengar.

"Kau boleh terkejut kalau kau mau," jawab Richard datar dan tanpa ekspresi.

"Apa Siska sudah tahu?" sambar Febby memajukan wajahnya penasaran. "Dia pasti seperti di sambar petir dengan berita ini."

"Masih banyak kerjaan yang harus kita selesaikan. Tidak perlu membahas hal tidak penting seperti itu," jawab Richard melemparkan map biru yang ada di hadapannya ke depan Febby.

Luna hanya diam mendengar pembicaraan mereka. Selama ini, ia hanya menyukai kebaikan Richard yang diberikan untuknya. Namun, ia tidak bisa mengingkari bahwa ternyata ia juga mencintai laki-laki itu. Dan kenyataan bahwa laki-laki itu mencintai gadis lain, membuat segores luka di hatinya.

###

Richard membuka pintu kamarnya perlahan, takut suara pintu yang dibuka membangunkan Zaffya. Dengan gerakan perlahan ia melangkah menuju kasur yang ditempati Zaffya. Gadis itu sepertinya masih terlelap saat Richard duduk di tepi kasur untuk memeriksa suhu tubuh Zaffya yang sudah kembali normal. Ia melepas plester demam yang ditempel di kening Zaffya dengan hati-hati.

Plester yang selalu siap ada di tas sekolah dan laci nakasnya. Yang dirinya sendiri bahkan hampir tidak pernah memakainya. Akan tetapi, gadis inilah yang membuatnya selalu mempunyai stok plester demam dan membawa kemana pun. Kalau-kalau Zaffya membutuhkan.

Gadis ini punya alergi aneh terhadap hawa dingin. Zaffya akan mudah terserang demam jika terkena hawa dingin. Dan jika sudah terlalu parah, badannya akan menggigil disertai demam yang tinggi. Itulah penyebab yang baru Richard ketahui, kenapa kekasih Zaffya tidak bisa berenang.

Richard berdecak ringan saat melihat cangkir teh hijau yang ia buat masih utuh dan tak tersentuh. Seharusnya ia menunggu Zaffya meminum teh itu sebelum meninggalkan gadis itu untuk istirahat.

Dreettt.... dreetttt.....

Getaran ringan di meja nakas mengalihkan perhatian Richard. Melihat ada panggilan masuk di ponsel Zaffya, ia pun mengulurkan tangan untuk memungut ponsel tersebut.

Tertulis nama Dewa sebagai caller id nya. Richard mengerutkan kening, ada segurat panas yang menyeruak di dada. Apakah ternyata selama ini Dewa berhubungan dekat dengan Zaffya? sampai mereka saling memiliki nomor telepon? Laki-laki itu terlihat terbiasa bergaul dengan Zaffya di depan rumah kekasihnya, dan kemarin siang -ketika teman-temannya sibuk menggosipkan seorang junior yang menerobos masuk ruang ketua OSIS dengan kasar, yang anehnya, Dewa bersikap tenang dan santai saja dengan sikap tidak sopan si junior tersebut- ia tak sengaja melihat Zaffya keluar dari ruang ketua OSIS dengan membanting pintu marah.

Tentu saja kedekatan Zaffya dan Dewa mengusik benak Richard. Hanya saja, ia percaya dengan perasaan Zaffyalah yang membuatnya memendam kecemburuan itu dalam-dalam. Walaupun kerap kali ia tidak bisa menahan saat melihat Zaffya dekat dengan laki-laki lain, atau saat teman laki-lakinya membicarakan dan memuji gadis itu di depan maupun di belakangnya.

Pertama kali Richard bertemu dengan gadis ini, membuat ia terus mengamati gerak-gerik Zaffya, yang entah kenapa menarik perhatiannya. Pertama kalinya ia bicara dengan gadis ini, membuatnya tidak bisa menolak Zaffya. Lalu, sampai mereka menjalani hubungan, Richard tidak pernah bosan menghabiskan waktunya dengan Zaffya. Sampai kemudian ia menyadari, bahwa dirinya sangat menyayangi Zaffya melebihi hobinya membaca buku. Melebihi apa pun yang pernah ia sangat sayangi. Melebihi cinta pertamanya.

Lagi, getaran di genggaman tangan kanan Richard membuyarkan lamunan pria itu. Segera ia menarik tombol hijau ke samping untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Zaf, di mana kau?" Suara Dewa menyerbu indera pendengarannya.

"Sorry, Wa. Ini aku, Richard," jawab Richard.

"Richard?"

"Ya."

"Di mana Zaffya? Aku harus bicara dengannya. Sebentar."

Richard melirik Zaffya yang sepertinya masih terlelap, menimbang-nimbang untuk membangunkan atau tidak, "Apa harus sekarang?"

"Hmm..." Dewa menggumam pelan. "Sebenarnya tidak juga."

"Kalau tidak terlalu penting, kau bisa menghubunginya besok pagi. Sekarang dia sedang istirahat." Richard tidak bisa menahan nada sinis di dalam suaranya.

"Apa? Istirahat?" tanya Dewa dengan nada yang tiba-tiba berubah penuh kekhawatiran. Ada bunyi gemerisik, sepertinya laki-laki itu menegakkan badannya karena terkejut dengan kalimat Richard. "Apa dia sakit?"

"Hanya deman ringan."

"Kalian di mana?" Dewa tidak bisa menahan diri untuk menaikkan suaranya. "Apa dia sudah minum obat? Apa demamnya sudah turun? Apa aku perlu..."

Richard memejamkan mata. Memendam rasa cemburu pada sikap penuh kekhawatiran yang diberikan Dewa pada kekasihnya. Ia pun memotong kalimat Dewa karena tidak tahan mendengar lebih banyak lagi kekhawatiran laki-laki lain pada gadisnya, "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, Dewa. Aku yang akan mengurusnya."

Mendadak suasana menjadi hening. Dewa menyumpahi ketololannya yang tidak bisa mengontrol diri. Seharusnya ia tidak lepas kendali seperti ini, menunjukkan kekhawatiran yang berlebihan pada Zaffya. Apalagi di depan kekasih gadis itu. Dewa menghembuskan nafas lega. Merasa beruntung mereka tidak sedang bertatap muka yang membuat Richard harus melihat wajahnya yang tolol dan sudah merah padam karena malu. Malu karena menyukai perempuan yang sudah punya kekasih.

"Aku... aku tahu dia akan baik-baik saja denganmu." Dewa tersenyum miris dengan kalimat yang keluar dari mulutnya sendiri.

"Thanks."

"Kalau begitu, besok aku akan bicara dengannya."

"Ya. Saat Zaffya bangun aku akan memberitahu dia kau menghubunginya."

"Thanks."

"Bye."

"Bye."

Panggilan terputus. Richard menurunkan ponsel itu dari telinga. Wajahnya menunduk dan tertegun mengamati ponsel Zaffya. Saat itulah, ia menyadari Dewa memilik perasaan yang sama dengan dirinya pada Zaffya. Apa Zaffya tahu itu? Apa ia harus menanyakan hal itu pada Zaffya?

Mungkin ia memang bisa mempercayai Zaffya, tapi apakah dia bisa mempercayai perasaan Dewa seperti dirinya mempercayai perasaan Ryffa dan Vynno, yang memang benar-benar menyayangi Zaffya seperti keluarga sendiri?

Richard menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir pertanyaan-pertanyaan itu dari kepalanya. Akan tetapi, bukankah kita tidak bisa mengontrol perasaan orang lain terhadap kita?

Ya, perasaan Dewa pada Zaffya bukan urusan Richard. Yang menjadi urusannya adalah jika perasaan itu mengganggu hubungan mereka.

"Apa ada telfon?" Suara serak Zaffya membuyarkan lamunan Richard.

Richard menoleh ke samping, melengkungkan bibirnya ke atas melihat Zaffya yang tanpa di sadarinya sudah melebarkan mata hitam wanita itu, menatap dirinya dengan kantuk yang masih tersisa. Segera tangan kirinya terulur, mengusap lembut rambut Zaffya yang berantakan, menghalangi wajah cantik yang membuat hatinya takjub. "Apa aku membangunkanmu?"

"Tidak juga," jawab Zaffya sambil menarik dirinya untuk bangkit dari tidur dan duduk menyandarkan punggung di kepala ranjang. "Tidurku memang tidak terlalu nyenyak."

"Apa kau merasa sakit?"

Zaffya menggeleng.

"Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"

Zaffya mendesah ringan, "Mungkin."

"Mungkin kau bisa menceritakannya padaku?"

Zaffya menghembuskan nafas. Menarik rambutnya ke belakang telinga sebelum menatap mata Richard dengan intens. Walaupun suasana di kamar itu tampak remang-remang, ia masih bisa melihat dengan jelas mata cokelat terang itu. Yang seketika itu juga membuatnya tenggelam dalam keindahan manik Richard. Kewarasannya benar-benar bergantung pada iris cokelat itu.

Zaffya mengulurkan tangan untuk menangkup pipi kanan Richard. "Apa yang kau lakukan padaku?" bisik Zaffya pelan dengan nada menerawang.

Richard tersenyum kecil. Pertanyaan yang sama juga mengitari otaknya. Ia mengangkat tangan untuk menggenggam tangan Zaffya di pipinya. Mengambil jemari lentik itu dari sana dengan gerakan ringan. Lalu dibawanya jemari Zaffya ke bibir dan dikecupnya lembut tepat di jari manis. Tempat cincin pasangan mereka terpasang.

Setelah itu ia meletakkan jemari Zaffya tepat di dadanya. Tepat di atas detak jantung yang berdegup tak karuan, "Mungkinkah ini karma karena aku telah mengacaukan hidupmu? Apa detaknya sama seperti yang kau rasakan?"

Zaffya terkesiap, lalu terhenyak merasakan dada Richard yang berdetak sama kencangnya dengan miliknya sendiri. Ia tak percaya dengan getaran ringan yang ditangkap oleh jemarinya. Ingin sekali ia berteriak karena tidak dapat menahan kebahagiaannya. Kebahagiaan yang belum pernah dirasakan sebelum-sebelumnya. "Apa... apa kau mencintaiku?"

###

Monday, 03 April 2017


Repost, Friday, 14 December 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro