Apel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

KRIEEEEK ......

Pintu kastil itu terbuka, Yurika yang masih berdiri di depan pintu pun mempersilahkan Ichigo untuk masuk ke istananya. "Masuklah."

Tanpa berlama-lama lagi, Ichigo segera memasuki kastil tersebut. Pintu itu kemudian tertutup sendiri dan disambut oleh beberapa lampu yang menerangi seisi ruangan. Sangat terang karena lampu itu lumayan besar, udara di dalamnya juga terasa sejuk, seperti di pegunungan. Padahal Ichigo tahu bahwa di hutan ini tidak berada di daerah dataran tinggi. Etalase besar berisi obat-obatan hampir memenuhi setiap sudut ruangan, berbagai obat pun tampaknya ada semua.

Yurika kembali ke mejanya dan mulai memakai celemeknya. "Ratu mu itu sakit apa?" tanyanya.

"Yang mulia Mizuki keracunan. Katanya sudah dari kemarin ia hanya tertidur."

"Begitu ....." ucapnya sambil mengambil beberapa perlengkapan untuk membuat obat.

"Aku akan membuatkan obat untuk ratu mu, tapi maukah kamu mengumpulkan beberapa benda yang kuperlukan untuk membuat obat ini?"

"Tentu saja! Aku akan berusaha!"

"Baiklah." Yurika mulai menuliskan beberapa bahan yang ia perlukan di sebuah catatan kecil dan memberikannya kepada Ichigo.

"Aku butuh ini semua. Yah, walaupun aku tidak tahu kau akan berhasil atau tidak."

Ichigo menerima catatan tersebut dan membacanya, ia tak percaya jika hanya dua bahan saja yang diperlukan. Ia pun bertanya pada penyihir itu, "Apa kamu yakin hanya dua bahan saja bisa menyembuhkan Yang Mulia Mizuki?"

"Kau meragukanku? Sepertinya kau tidak akan bisa mendapatkan bahan-bahan itu."

Ichigo tertegun sejenak, lalu ia pun menjawab, "Aku pasti bisa. Aku yakin akan mengumpulkan secepatnya."

"Ya daripada kau terus bicara sekarang cepat pergi dan dapatkan bahan-bahannya."

"Baik."

Ichigo bergegas pergi dari kastil itu menuju ke dalam hutan yang gelap itu. Hanya berbekal obor dan tas, ia pun mulai mencari beberapa bahan yang akan dibuat obat.

"Pasti akan sangat mudah mendapatkannya." gumamnya sambil terus berjalan.

***

Sementara itu di tempat lain, Suzukawa tersadar dari pingsannya dan langsung bangun. Tepat di hadapannya terdapat sebuah pohon apel yang sangat rimbun dan di sana sangat terang. Ia tampak tak percaya dan berusaha untuk berpikir siapa yang membawanya kemari, padahal dirinya pingsan di tengah hutan.

Ia berusaha menulusuri tempat tersebut, tapi tak ada seorang pun di sana selain pohon apel yang berada di tengah-tengah. Sebuah cahaya pun tanpa sengaja lewat di matanya, membuat pemuda itu merasa silau.

"Uh ...." lenguhnya sambil menutup matanya sebentar, lalu ia membukanya untuk melihat cahaya apa barusan.

Sesosok peri bergaun putih lah yang menghampiri pemuda berambut hitam itu. Dirinya tersenyum dan mengajaknya untuk bicara, "Kau sudah bangun?"

"Ini .... dimana?" tanya Suzukawa.

"Di taman peri. Kau pingsan di tengah hutan, jadi aku yang membawamu kemari."

Suzukawa teringat kembali dengan Ichigo yang tadi sempat ia kejar. Karena khawatir ia segera menanyakannya kepada peri itu, "Dimana Putri Ichigo?"

Sang peri mengeluarkan sebuah bola kaca ajaib dan mengelusnya pelan. Terlihatlah bahwa Ichigo sedang berada di dalam sebuah hutan.

"Putri Ichigo!" kejutnya.

"Ya. Dia sekarang sedang mencari bahan untuk obat Yang Mulia mu."

"Apakah penyihir itu yang menyuruhnya."

"Benar."

"Apa kau tahu apa yang dibutuhkan olehnya?"

"Aku tahu. Itu adalah sebuah apel dari taman peri. Tapi, mendapatkannya bukanlah hal mudah."

"Kenapa?" tanyanya lagi.

"Karena gadis itu harus melewati jembatan yang berada di antara dua tebing. Karena hutan tempat penyihir itu terpisah dari tempat kami."

Dengan segera Suzukawa mengambil apel dari pohon tersebut dan mulai berjalan menuju pintu keluar.

"Kau tidak akan bisa pergi dengan mudah dari sini!" kata sang peri.

"Kenapa?"

"Karena dirimu sekarang hanyalah sebuah asap. Kau bisa hilang begitu tertiup angin di udara luar."

"Kau bercanda? Kau menolongku tapi saat aku ingin menolongnya kau malah bilang diriku hanyalah gumpalan asap? Peri seperti apa kau ini?"

Peri itu lagi-lagi hanya tersenyum, namun terlihat dingin. "Aku tidak seperti peri lain yang dengan mudah membantu siapapun. Jika kau ingin membantunya silahkan saja, lagipula apel yang kau pegang itu bukanlah apel yang asli. Dan jika kau masih tetap gegabah, maka nyawamu lah yang akan jadi bayarannya."

Sang peri itu pergi, meninggalkan Suzukawa di taman itu seorang diri. Namun anehnya, pintu taman itu dibiarkan saja terbuka. Suzukawa tak mempedulikan ucapan dari peri itu dan berusaha untuk keluar dari sana. Baru saja dirinya sampai di depan pintu, udara di luar langsung menyayat tangannya. Darah pun keluar dari luka  tersebut.

"Rupanya walaupun aku kini adalah asap. Tapi tetap bisa berdarah, ya?"

"Karena kau hanyalah manusia." ucap sebuah suara yang menggema di ruangan itu.

"Tidak peduli walau aku harus mati. Aku akan tetap membantunya." ucap Suzukawa sambil berlari keluar. Angin mulai menyayat tubuhnya secara kejam, namun ia tak menyerah dan terus berjalan.

"Dasar manusia bodoh."

***

Suara rumput yang diinjak menjadi teman Ichigo dalam kesunyian. Ia terus membaca catatan tersebut, dan diketahuilah bahwa apel yang harus dia dapatkan adalah apel dari taman peri yang hanya bisa didapatkan di negeri peri. Untuk pergi ke sana, ia harus melewati sebuah jembatan yang berada di tengah-tengah tebing. Lalu, ia juga melihat satu bahan yang harus dikumpulkan, namun bahan tersebut hanya ditulis "rahasia".

"Rahasia? Kalau begini bagaimana aku akan mencarinya?"

GLUDUK-GLUDUK

Gemuruh petir terdengar seiring dia berjalan, tampaknya akan ada badai yang datang di malam ini. Dengan cepat Ichigo melangkahkan kakinya berlari ke ujung tebing itu. Benar saja, di sana ia mendapati sebuah jembatan yang akan membawanya ke negeri peri tersebut. Jembatan yang hendak ia lalui adalah sebuah jembatan gantung yang tampak sudah rapuh, yang mungkin kalau diinjak sebentar kayunya langsung patah.

Ichigo berjalan dengan pelan sambil memegang tali seerat mungkin, takut-takut dirinya jatuh di jurang itu. Tak jarang ia melihat ke bawah untuk melihat kakinya masih berada di papan kayu tersebut atau tidak.

CTARRRRR!!!!

"AAAAAAHHH!" teriaknya kaget, bersamaan dengan suara petir itu, papan kayu yang ia injak patah. Membuatnya menggantung di jembatan tersebut.

Tanpa berpikir lama, Ichigo segera menarik tubuhnya kembali ke atas dan menempatkan kakinya di papan jembatan yang lain. Dirinya hampir saja terjatuh ke jurang yang sangat gelap itu.

"Ini lebih menakutkan daripada rumah hantu." gumamnya, bibirnya bergetar saking takutnya.

Ia kembali berjalan lagi, dirinya menahan segala ketakutannya. Hujan mulai turun dengan deras dan angin bertiup dengan kencang. Ia tak lagi melihat ke bawah karena takut hal yang sama akan terulang kembali. Setelah melewati jembatan yang sangat mengerikan itu, Ichigo berhasil sampai di negeri peri. Situasinya tak berbeda, seperti di jembatan tadi, hujan badai.

Obor yang ia bawa mati karena terguyur air hujan. Langkahnya agak tersendat karena angin yang menerpa tubuhnya sangat kencang. Badannya mulai menggigil kedinginan karena terus-menerus diguyur, dirinya pun memutuskan untuk berteduh di depan toko yang tutup, menunggu badai reda sepertinya akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Matanya juga mulai terkantuk, ia melihat ke arah jam yang berada di seberang jalan menunjukkan angka 9 malam. Seharusnya jam segini ia sudah berada di kasurnya sambil menonton serial kesukaanya. Namun kini, ia malah hujan-hujanan.

"Sepertinya aku akan terkena demam nanti." ucapnya di tengah kesunyian.

***

Darah mengalir dari sekujur badannya, Suzukawa berhasil keluar dari taman tersebut sambil terus membawa apel yang ia petik dari taman peri. Entahlah kenapa ia membawanya, mungkin sebagai penawar rasa sakit saja. Ia menggigit sedikit apel itu untuk menghilangkan rasa haus di tenggorokannya. Napasnya terengah-engah karena luka.

Kini dirinya berada di sebuah koridor ruangan, di luar hujan sangat deras dan petir pun menyambar tak ada hentinya. Ia jadi semakin mengkhawatirkan gadis pirang itu. Andai saja ia lebih waspada, mungkin mereka bisa mendapatkan obat tersebut dengan mudah dan kembali dengan selamat tanpa harus terjebak di sini.

Sebuah cermin yang berada di ruangan itu memantulkan bayangan dari dirinya. Aneh, tubuhnya terlihat masih baik-baik saja, bukan asap seperti yang dikatakan peri tadi. Luka di tubuhnya juga perlahan mulai membaik. Suzukawa tak percaya ia langsung sembuh begitu saja.

"Apel ini bisa menyembuhkan dalam sekejap? Hebat sekali ...." gumamnya.

Ia mengeluarkan kain dan menaruh apel tersebut di dalamnya, kemudian mengikatnya di samping pinggangnya. Ia pun teringat jika apel yang dibutuhkan untuk menyelamatkan sang ratu bukanlah apel yang ia pegang sekarang. Penasaran dengan apel apa yang dimaksud si peri, Suzukawa berusaha mencari petunjuk.

"Kau ingin mencari apel untuk yang mulia? Kau bisa datang ke ruangan paling ujung di sebelah kanan."

"Hah?" dirinya tersentak kala mendengar suara tersebut. Suara si peri yang mengurungnya tadi.

"Aku tidak mempercayaimu dengan mudah, tapi akan coba kucari."

"Setidaknya kau berterima kasih karena aku telah menolongmu."

Suzukawa pun segera bergegas, sebelum ia pergi ia meminta kepada peri itu, "Aku minta tolong jaga Yang Mulia Mizuki dan Putri Ichigo."

"Aku tidak akan mencelakakan mereka. Tenang saja dan cepat cari."

"Baik."

Seketika ia pergi menuju ruangan yang dimaksud oleh peri tersebut. Tapi karena istana itu lumayan luas ia tak bisa langsung sampai ke sana. Ruang itu lama-lama jadi seperti labirin yang tak berujung, entahlah maksud si peri itu ingin membantunya atau malah mempermainkannya.

"Aku harap aku bisa segera menemukan apel itu dan membawanya pulang!"

***

Badai mulai reda setelah beberapa menit, Ichigo yang masih basah kuyup itu berusaha untuk mencari sebuah rumah warga yang sekiranya bisa untuk tempat ia singgah sebentar. Sambil memeluk tubuhnya yang sudah kedinginan itu, ia mengetuk salah satu pintu rumah seseorang. Tak lama setelah diketuk, muncullah seorang bapak-bapak beserta tiga orang anaknya yang masih kecil.

"Maaf permisi ...." ucapnya sambil sedikit gemetar.

"Ya ampun kasihan sekali gadis ini. Theo, tolong bawakan handuk!" perintah ayahnya.

"Ya ayah."

"Eh? Tidak usah. Aku hanya mampir sebentar saja di sini."

"Tidak apa-apa. Sebaiknya kau masuk dulu, di luar pasti dingin bukan?"

Bapak itu mempersilahkan Ichigo untuk masuk, anak laki-laki bernama Theo itu segera memberikan handuk kepadanya, "Terima kasih banyak." Ichigo langsung menggunakannya untuk mengelap badan dan rambutnya yang basah. Sementara itu dua anak lainnya menyiapkan makanan dan minuman hangat untuknya.

Karena penasaran, bapak itu mulai bertanya kepada gadis tersebut, "Sepertinya kamu bukan penduduk sini. Kamu siapa?"

"Saya Ichigo Hoshimiya, panggil saja Ichigo."

"Kakak kesini mau apa?" tanya gadis kecil berambut hijau itu sambil membawa boneka beruang ditangannya.

"Sebenarnya saya kemari ingin mencari beberapa bahan untuk obat. Yang Mulia Mizuki keracunan, dan kata Nona Yurika saya harus membawakannya apel."

Mendengar hal tersebut keempat orang itu mengangguk paham. Bapak itu segera mengambil beberapa permen dari kotak penyimpanan yang ia taruh di atas laci, kemudian memberikannya kepada Ichigo. Dirinya hanya kebingungan menatap banyaknya permen yang diberikan oleh si bapak itu.

"Apel yang kau maksud itu pasti ada di istana milik si Peri Maria. Permen ini adalah sebagai bukti jika kau memang sangat membutuhkan apel itu."

Ichigo memandang semua permen itu, dan lagi-lagi dirinya mengucapkan terima kasih. Namun saat ia hendak pergi ke istana si peri, anak perempuan yang dari tadi diam saja menahan tangannya, "Ada apa?"

"Sebaiknya kakak ganti baju terlebih dahulu. Kalau tidak nanti kakak bisa masuk angin."

"Ahaha benar juga ya." katanya sambil menggaruk pipinya.

"Ya sudah, untuk malam ini kamu menginap saja dulu di sini. Lagipula sudah hampir larut malam."

Atas ajakan bapak itu dan anak-anaknya, Ichigo pun memutuskan untuk beristirahat sejenak di rumah itu. Setelah mengganti pakaiannya dengan gaun sederhana, ia pun tidur di sebuah kamar yang lebih tepatnya adalah sebuah gudang. Tapi itu tidak masalah baginya, selama ada tempat untuk ia tidur dia akan baik-baik saja. Langit-langit kamar tampak seperti rumahnya yang ada di dunia aslinya, dirinya jadi kangen ibu dan Raichi, adiknya. Dan tak hanya itu, dirinya juga teringat dengan Suzukawa yang sempat bersamanya di hutan tadi.

"Oh iya! Bagaimana aku bisa melupakannya?! Aku harus bisa menemukannya besok!"

Begitu katanya hingga akhirnya ia tertidur pulas di kasur yang hangat itu.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro