Random (Tenwan Plus)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bel pulang sekolah sudah konser setengah jam yang lalu.

Rinka dengan segala kekesalan yang memuncak di ubun-ubun menyesap milkshake nya dengan brutal.

SMA Cakrawala sudah hampir sepi, hanya selintas orang yang terlihat.

Dan dia salah satu orang mengenaskan yang menunggu tanpa kepastian.

ABANG LAKNAT! GUE SUMPAHIN DIA GAK JADI ABANG GUE LAGI.

Batinnya berteriak.

Nyesal sekali ia menolak beragam ajakan teman-teman untuk mengantarnya. Tak terhitung karena memang lama ia duduk disana.

Rin memiliki banyak teman, tentu saja. Dia bisa pulang setengah jam lalu hanya dengan meminta siapapun untuk mengantarnya. Dijamin tak ada yang akan menolaknya.

Masalahnya ia ada keperluan. Penting. Hanya abangnya yang bisa mengerti itu. Masalah lainnya, abangnya tidak mengerti pasal 'Menunggu' itu.

Lama Rinka duduk termenung. Seseorang tiba-tiba duduk disampingnya tanpa aba-aba. Rinka sama sekali tak mendengar suara langkah kaki, tiba-tiba makhluk aspal di sampingnya sudah muncul saja.

Dengan mata terpejam.

Jangan bilang dia nutup mata sampai kesini.

Ravel menutup mata, duduk terpekur dengan kepala tertunduk. Lima detik setelahnya badan itu hampir saja nyungsep kedepan jika saja Rin tak sigap menahannya.

Absurd.

Sayangnya, Ravel itu tidur dengan segenap jiwa raga, jadi beratnya bertambah.

Rinka yang mungil itu mana kuat, dengan posisi jongkoknya dan kepala Ravel bersandar di bahu Rinka, mereka sudah macam sepasang kekasih mesra yang pelukan.

Lelaki itu sama sekali tak terganggu.

Beraaattt.

Ingin sekali ia segera beranjak tapi tak tega melihat tubuh lelah itu yang bisa-bisa berguling di tanah.

Rinka menepuk punggungnya pelan.

Sekali tepukan lagi, tidak bergerak.

Kali ini lebih keras, kacamatanya Ravel terjatuh.

Benar-benar terjatuh, mencium tanah. Untung saja tak patah.

Astaga, nih kebo apa anoa.

Dia tak tahan, sungguh pegal rasanya.

Sialnya suara klakson yang amat sangat ia kenal benar-benar mengguncangkan pikiran. Kenapa coba abangnya baru datang sekarang? Di saat yang seperti ini pula. Bisa-bisa ia kena omel sepanjang kisah Ramayana.

Lelaki diatas honda matic itu melepas helm, berdecak dari kejauhan. "Woi, pantesan lu gak nerror gue. Rupanya asik pacaran disini? Gue tinggal gapapa yah? Lanjut aja-"

"TOLONGIN GUE! ADA YANG PINGSAN."

BUK!

Suara kepala yang saling beradu itu memenuhi keheningan.

"Duuh." Rin mengelus pelipisnya, meringis. Siapa sangka suara melengking tadi membangunkan si kebo dan membuat kepala mereka terbentur dengan mulus, jadi benjol.

Posisi mereka makin absurd, karena jarak wajah keduanya hanya berkisar sekian senti. Rinka melihat wajah itu lama, hidung mancung dan kulit bersih itu membuatnya iri. Dia terlihat seperti orang impor. Bukan- bukan itu. Wajahnya yang sekarang pasti sudah amat kentara.

Dengan kecepatan cahaya mereka sama-sama menjauh, mengalihkan pandangan. Tidak ada yang menyadari salah satu dari mereka sudah memerah seperti kepiting rebus.

"Sori." satu kata. Rinka tersedak. Hanya itu?

Ia sangat malu, melihat Ravel yang meraba tempat duduk sambil memicingkan mata membuatnya kasian. Sebelum beranjak ia mengambil kacamata yang terjatuh ke tanah, memberinya cepat pada Ravel lantas menyambar tas dan berlari malu meninggalkan Ravel yang kebingungan.

Si abang yang nangkring diatas beat itu hanya berdecak melihat drama sepuluh menit dengan adiknya sebagai tokoh utama.

***

"Tunggu disini, jangan kemana-mana!"

Lelaki tinggi dengan perawakan seperti atlet basket, mahasiswa jurusan Engineer itu melempar helm pada gadis yang kini sangat ingin membanting helm di tangannya.

Tadinya mereka sudah hampir sampai tujuan- tapi si abang malah putar balik ke kampusnya- katanya ada yang ketinggalan.

Sialan.

"Eh, adek manis sendirian?" salah satu mahasiswa dengan tampang seperti anak orang itu menyapa. Orang itu sangat tak enak dipandang, dan bau rokoknya sangat menyesakkan.

"Gak sendirian." Rin tidak gentar, dia kelewat berani malah. Mampirlah kerumah dan lihat beberapa piagam atau mendali beladirinya. Dan jangan tanya kenapa dia punya itu semua- lelaki sudah seperti samsak baginya. Dalam tanda kutip. Menemui lelaki seperti ini sudah biasa.

"Oh, mau abang temenin?"

"Gue bilang, GAK sendirian."

Suasana parkiran itu ramai, tapi tidak ada yang peduli, tentu saja. Mereka hanyalah satu dari sekumpulan lebah yang berdengung.

"Ck, jutek amat dah. Lo adeknya Raka kan? Dia minta gue temenin lo sebentar."

Hening.

Rin memicingkan mata tidak percaya. Memang biasa ia melihat Abangnya Raka bawa anak preman. Tapi abang di depannya ini memang gak bisa dipercaya.

Anggap aja instuisi seorang gadis.

"Gue gak perlu ditemanin, gue maunya dibelanjain." melipat kedua tangan tak tau diri, Rin menampilkan wajah paling sok kuasanya.

"Oh? Bilang dong daritadi. Lo mau apa?"

"Hah? Serius?" Rin cengo, padahal ia cuman bercanda.

Orang itu merangkul pundak Rin dan menyeretnya ke kedai eskrim dekat sana, ia terkekeh, "Iyalah, ngapain bohong. Palingan gue kasih tagihan ke Raka nanti."

Rin tersenyum tipis. Hah, siapa peduli toh dia mau eskrim. Hanya eskrim, gratis.

Mereka duduk di salah satu kedai eskrim, Rin memesan porsi jumbo. Orang di depannya hanya menelan ludah soal itu.

Hening. Keduanya sibuk menghabiskan eskrim masing-masing. Rin dengan mangkok besarnya, dan abang gak dikenal tadi dengan cup kecil di tangannya.

Rin orangnya gak peka. Dia tidak begitu peduli jika ia memutuskan untuk tidak peduli.

Tapi sesuatu ... di depannya ini membuatnya ingin sedikit peduli, anggap saja balasan dari traktir eskrim barusan.

...

"Hngg ... Masalah cewek yah?"

Tersentak dari lamunan, si abang galau yang mentraktirnya eskrim tadi nyaris menjatuhkan sendok terakhir eskrimnya.

Sepertinya tepat sasaran.

"Apa sih? Lo kayak udah jago aja soal percintaan." Abang itu tertawa hambar.

Rin berdecak, "Ngeremehin gue? Gue udah pacaran lebih dari satu kali."

Rin memamerkan jari telunjuknya, 'satu' yang penuh makna.

Menahan tawa, abang itu menepuk kepalanya kasar. "Kalau itu gue juga udah lebih dari lima kali."

Rin kembali menyendok eskrimnya. Mendadak hilang selera. Abang di depannya ini benar-benar terlihat mengenaskan.

"Kalau gak mau bilang, biar gue yang cerita."

Abang itu menoleh, "Masalah cowok yah?" dengan sorot mata meremehkan.

Rin berdecak, "Udah denger aja."

Memasang posisi siap mendengarkan, Rinka menarik napas. "Hari ini harusnya gue ada agenda penting ... "

"Apa?"

"Gue bilang dengerin aja! Gausah tanya-tanya." abang itu menutup mulut rapat-rapat. Rin membentaknya bukan main-main, nyalinya seketika ciut.

"Tapi abang laknat gue tadi lama jemput, terus gue juga tatap anak orang lebih dari lima detik! Ini tuh rekor tau?" menggebu-gebu Rin bercerita, artinya ia benar-benar tidak bisa menahannya.

"Bentar-bentar. Lo gapernah natap anak orang lebih dari lima detik?"

"Khususnya cowok sih, iya." Rin mengendikan bahu, abang di depannya menatap nanar.

"Sama pacar lo sendiri gapernah tatap-tatapan?"

Rin menggeleng, "Kata abang Raka pamali, gaboleh."

"Cih, omongan Raka lo dengerin."

Obrolan itu terus berlanjut, kemana-mana nyasarnya. Hingga abang didepannya mulai menyinggung satu hal.

"Lo mau tau Raka ngapain?"

Rin menatap penasaran.

"Lagi ngomong sama cewek. Gebetan gu-"

"Rin!"

Obrolan mereka terhenti, saat lelaki jangkung memanggil namanya dari seberang. Rin melirik jam, sudah cukup lama ia duduk disana.

Lihat saja. Habis ini abangnya tidak akan selamat.

"Nanti kita lanjutkan yah bang! Kan tadi gue bilang ada urusan penting." Menyambar tas ia bergegas pergi. Bahkan ia tak sempat tau nama abang yang menjadi temen bincangnya itu.

Wajah abang itu mendadak kembali muram. Rinka bukan tak menyadari itu. Dan ia harus tau ada urusan apa abangnya yang laknat- Raka- dengan cewek yang dibilang abang tadi.

"LAMA BANGET WOI!" gas Rinka memekakkan telinga.

"Urusan ini gak bisa ditunda." Raka memakai helm, menyalakan matic.

Saat Rinka menaikinya, ia sempatkan untuk menempeleng helm yang ada kepala abangnya itu, "Urusan sama cewek yah?!"

"Lo kenapa sih ngegas mulu!-

"LO YANG GAPAHAM GUE JUGA ADA URUSAN! POKONYA HARUS GANTI RUGI."

Bayangkanlah seberapa nyaring suaranya saat motor sedang melaju kencang.

"Iya-iya maapin, nanti gue traktir miayam dekat rumah."

"KURANG!"

"Gue pinjemin PS gue."

"Duit jajan gue nambah, gue bebas kemana aja, gue boleh pakai honda lo sebulan, gue gak perlu ganti headphone lo, lo yang masak sebulan. Trus kasih gue nomor abang yang ta-"

"Gak boleh."

"Kenapaa?"

"Dia itu pedo."

BUGH!

"Sembarangan, lu tau gak pedo itu apa?"

"Dih, ngapain lo minta-minta nomer anak salah jalur gitu?"

"Temen gue naksir dia."

"Oh."

Sepuluh menit perjalanan, hanya sunyi yang mengsisi. Mereka sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.

Raka menghidupkan sen, membalik stang ke kanan. Mereka berhenti di sebuah Rumah sakit, yang belakangan sudah amat jarang Rin datangi.

"Lo- tunggu disini aja."

Auranya mendadak suram.

Rinka menguatkan hati, tidak apa-apa. Ia berjalan di lorong rumah sakit yang masih lumayan ramai sore itu, menuju lift menekan tombol nomor lantai yang dituju. Yang tidak lain adalah urusannya hari ini.

Dingin.

Pintu lift terbuka, ia berjalan menuju salah kamar VIP yang familiar.

Di depan pintu. Tidak apa-apa. Amat berat rasanya membuka pintu itu.

Didorongnya perlahan, mau obat-obatan semakin menguak. Seorang lelaki yang makin hari makin kurus itu terbujur di ranjang dengan mata terpejam.

Rinka sangat ingin menangis melihatnya. Tapi ia menahannya, tidak ada lagi air mata. Dihari ulang tahun seseorang yang istimewa.

Seseorang yang tak bisa disampingnya lagi. Seseorang yang sudah terbujur disana lebih dari satu tahun.

Seseorang yang amat berarti.

Bila bisa ia ingin sekali egois. Kapan lelaki ini bisa bangun? Menyapanya, dan selalu ada di dekatnya.

Tidak bisa.

Rin menggenggam jemarinya yang dingin, berbagai belalai medis tertancap di tubuhnya. Bergetar hebat ia menahan perasaan itu.

Tidak bisa.

Rin meletakkan sebucket bunga disamping ranjang, dan sekotak kado kecil.

"Selamat ulang tahun, Daniel ... Udah lama yah? Ah, aku gatau lagi mau bilang apa."

Rin beranjak pergi setelah satu tetes bening dari matanya mengenai tangan pucat itu.

Tidak boleh lagi ada tangisan.

Diluar rumah sakit, Raka memainkan ponselnya, saat melihat Rin ia memasukkan ponsel itu cepat ke saku.

Sekilas ia lihat mata Rin yang merah, kentara sekali sedang menahan tangis.

Saat honda melaju, mereka sama-sama diam.

"Lo masih cinta sama dia?"

Raka tau Daniel, dia teman masa kecil Rin, sekaligus cintanya.

Bukan tanpa sengaja ia memperlambat urusan adiknya itu. Malahan ia ingin membatalkannya. Begitulah skenarionya seharian itu.

Karena ia tau itu akan membuatnya sedih. Amat sangat sedih.

Rin tidak menjawab. Ia menyeka matanya, berusaha mengalihkan pembicaraan, "Urusan cewek apa lo tadi, hah?"

Raka menelan ludah, tersenyum pahit. Adiknya sama sekali tidak ahli menyembunyikan perasaan.

"Ada yang mau nempatin rumah punya Mang Danu. Dia lagi di Jakarta, jadi mintak tolong sama kita."

"Jadi, siapa yang bakalan disana?"

"Katanya sih cowok. Resa cuman jadi perantaranya. Dia satu sekolahan sama lo."

Rin tidak selera lagi untuk tau. Tepat saat ia melewati rumah yang dimaksud abangnya itu ...

... Matanya bertemu dengan manik redup milik seseorang yang amat dikenal.

***

Wah.

31-07-22

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro