Bab 12. Lorong

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bayu baru saja membuka pintu kamar dan masuk. Dia melihat Regan masih asyik membuka materi dan duduk di atas ranjang. Sedangkan Hary yang menyadari itu Bayu langsung melihatnya.

"Gimana?" tanya Hary yang to the point.

Bayu masih berdiri di belakang pintu dan justru balik bertanya, "Apanya yang gimana?"

"Mereka udah cek ulang itu materi?" ulang Regan.

Bayu menggelengkan kepala dan bergabung bersama mereka. Setelah duduk di atas ranjang dia membalas, "Belum. Priscilla sama Kesha udah tidur. Kalau Anke, katanya sih ntar lah. Gitu!"

"Dasar cewek-cewek pemalas!" murka Hary.

"Mereka pasti kecapean kali, Har!" sergah Regan.

Bayu meluruskan kedua kaki dan bersandar ke dinding dengan tangan yang menjadi penghalang. "Sok rajin banget lo, Har!" sindirnya.

"Wah, nih orang bukan Hary, Bay!" tunjuk Regan. Dia menutup buku dan memainkan kedua tangan seperti sedang mengeluarkan makhluk astral dari dalam tubuh seseorang. "Gue yakin. Siapa lo yang sebenarnya wahai makhluk?"

Setelah mendengar pertanyaan Regan, lalu Hary berpura-pura seperti orang kerasukan. "Aing saha¹?" tanyanya.

Hary memang keturunan asli dari Bandung sehingga kata-kata Sunda-nya seakan membuat teman-temannya tertawa. Bukan karena apa-apa, hanya saja mereka tidak mengerti artinya.

"Kebalik!" tegur Bayu.

Regan dan Hary tertawa sehingga diikuti oleh Bayu. Tawa mereka di malam hari membuat sesosok makhluk yang dari tadi berdiri di jendela menatap tidak suka.

Teuk-teuk-teuk.

Mereka terdiam dan melihat ke arah kaca. Ya, suara itu seperti kaca yang diketuk. Namun, siapa yang mengetuknya? Mereka tidak tahu sama sekali.

"Siapa tuh, Gan, Bay?" tanya Hary.

"Mana gue tahu!" jawab Regan. "Udah mending kita tidur! Udah malem juga!"

Bayu menguap dalam dan melanjutkan, "Iya, gue juga ngantuk!"

Ketiga pria itu mencoba tertidur meskipun memang sedikit susah, tetapi mereka terus memaksanya sehingga tertidur dengan pulas. Berbeda halnya dengan ketiga wanita itu, mereka justru tertidur ala kadarnya. Kepala Bayu berada di samping kaki Hary dan di sebelahnya lagi kepala Regan. Pun sebaliknya.

Kamar ketiga wanita dan pria itu serta ruang tengah dan ruangan antik tidak ada sekat sama sekali. Sehingga semuanya tampak jelas dipandang.

"Toiletnya di mana?" tanya Anke. "Gue gak tahu!"

"Kita tanya aja Pak Naris sama Bu Yeni!" usul Priscilla.

"Jangan dong, Pris. Takutnya ganggu mereka tidur!"

Ucapan Anke ada benarnya juga. Masalah mencari toilet itu hal yang gampang. Mereka bisa menyusuri ruangan yang ada di rumah itu.

Netra Priscilla dan Anke tertuju kepada sebuah lorong. "Toilet!" ujar mereka bersamaan.

"Ya, mungkin aja!" kata Priscilla.

"Ya udah kita liat aja!" titah Anke.

Priscilla mengangguk dengan wajahnya yang sedikit kesakitan karena menahan buang air kecil. Mereka berdua memasuki lorong itu. Sebuah ruangan dengan berbagai peralatan dapur berada di sana. Ade sebuah pintu di sampingnya sehingga mereka berjalan. Priscilla langsung membukanya, tetapi terkunci.

Anke meneliti pintu itu dan ada sebuah tulisan. "Pris, toilet sedang dalam perbaikan!" paparnya.

Sial. Harus berapa lama lagi Priscilla menahannya? Mereka membalikkan badan. Ada sebuah pintu yang berhasil mencuri perhatian.

"An, itu pintu ke mana?" tanya Priscilla.

"Gue juga gak tahu, Pris," balas Anke. "Cek aja! Siapa tahu itu juga toilet!"

"Oke, yuk! Gue gak bisa nahan lama-lama!"

Setibanya di pintu itu mereka langsung membuka dan tampak sebuah kamar mandi yang berukuran sedang dengan sumur di sampingnya.

"Lo tunggu ya, gue gak lama kok!" titah Priscilla.

Anke mengangguk dan menjawab, "Oke."

Anke berdiri dengan kedua tangan yang mendekap ke arah dada. Udara di luar memang begitu dingin. Jari telunjuknya terus mengetuk lengan dengan perlahan. Tampaknya Anke mulai pegal menunggu Priscilla. Dia menghela napas. Ada sebuah kursi di belakangnya lantas dia pun duduk. Pemandangan di depan memperlihatkan sebuah ladang yang gelap.

"Ih, kok gue jadi mandang ke situ," ujarnya. "Mana gelap lagi. Ntar yang ada—gak ada An. Jangan mikirin yang aneh-aneh!"

Aneh memang tidak bisa membohongi hatinya yang masih ketakutan soal nyanyian dan gamelan itu.

"Pris, masih lama gak?"

Hening. Priscilla tidak menjawabnya. Anke hanya mendengar suara air yang mengalir.

"Pris!" ulang Anke.

"Iya An, sebentar lagi!" seru Priscilla.

Sekitar dua menit setelah itu, Priscilla keluar. Sehingga Anke langsung berdiri, tetapi ada yang aneh dengan Priscilla. Anke melihat seperti ada sesosok wanita di belakangnya. Namun, hanya bayangan hitam. Anke tidak tahu itu siapa.

"An, kok bengong?" tanya Priscilla. Tangannya hendak memegang tangan Anke, tetapi Anke langsung menepisnya. "An, kamu kenapa?" Yuk kita masuk!"

Tidak. Itu bukan tangan Priscilla. Jelas tadi aku melihat ada bayangan hitam di balik tangan itu, batin Anke.

Priscilla menggerakkan tangan di depan wajah Anke. "Hello, An!" geramnya.

Anke tersadar dari lamunannya. Lalu dia membalas, "Ah iya, Pris. Yuk masuk! Lo duluan!"

"Barengan aja kali!" ajak Priscilla.

Dia langsung merangkul bahu Anke dan berjalan bersamaan.

Anke.

Anke melirik ke arah Priscilla dan bertanya, "Kenapa, Pris?"

Priscilla berhenti dan refleks melepaskan tangannya. "Apanya yang kenapa, An?" dia justru balik bertanya.

"Tadi lo manggil gue, kan?"

"Enggak! Perasaan lo aja kali!"

"Ya masa kuping gue bermasalah,"

"Tapi serius gue gak manggil lo sama sekali!"

Anke benar-benar terkejut. Siapa yang baru saja memanggilnya? Sedangkan, di sana tidak ada siapa-siapa.

"Mungkin lo masih ngantuk. Sorry ya, tadi gue bangunin lo," mohon Priscilla.

"Nyantai aja kali. Ya udah, kita masuk aja!" ajak Anke.

Priscilla tersenyum. Mereka masuk ke dalam dan kembali menutup pintu. Anke sengaja melambatkan langkah agar Priscilla berjalan mendahuluinya. Selama melewati dapur, Anke tidak melihat bayangan hitam itu sama sekali. Namun, saat mereka di lorong Anke melihat sesosok wanita dengan kebaya merah tampak berjalan di hadapannya. Sontak, Anke mematung seketika. Langkah wanita tersebut seperti diatur. Anke tahu itu karena seperti memakai rok kebaya yang jaraknya hanya satu kaki. Rambutnya disanggul layaknya pesinden Jawa. Ada sebuah benda yang mencuri perhatian Anke. Tusuk konde. Ya, tusuk konde itu seakan bergerak maju mundur mengikuti langkah wanita itu.

"Pris," panggil Anke pelan.

Tidak ada respon. Wanita itu berjalan. Sedangkan Anke masih saja memandangnya dari belakang. Lorong tersebut seakan memanjang dan waktu di antara mereka seakan berjalan lambat.

Kesha menggeliat karena pegal bila terus menghadap dinding. Netranya terbuka sedikit dan melihat bahwa Priscilla sedang tertidur dengannya, tetapi dia sama sekali tidak melihat Anke.

"Pris, di mana Anke?" tanyanya. Tangannya menepuk pundak Priscilla pelan, tetapi pakaian Priscilla tampak lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro