Bab 4. Tusuk Konde

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Priscilla menghela napas, mencoba menyadarkan diri karena dia terus mencium bau melati.

"Tidak!" serunya.

Priscilla menepikan pikiran-pikiran tentang makhluk yang dibawa oleh bau melati itu.

Priscilla.

Netra Priscilla membulat. Dia berhati-hati dengan suara itu. Namun, sesuatu yang aneh menariknya. Lantunan lagu Jawa mengalir dan masuk ke pendengarannya. Kepala Priscilla memutar ke bawah dengan perlahan. Seakan-akan mulutnya bergerak seperti bernyanyi mengikuti irama gamelan. Tampak menyatu. Priscilla menunduk beberapa detik. Dengan cepat, dia tergadah dengan netra yang menatap tajam. Menatap ke arah depan yang memperlihatkan sungai dengan arus yang deras.

Priscilla melangkah perlahan dengan pandangan yang kosong. Dari arah kiri jembatan tersebut terdapat beberapa anak tangga meskipun hanya tanah yang dibuat menyerupai tangga. Sesampainya di tepi jembatan, Priscilla mendengar jelas gemuruh dari air yang mengalir. Dia terkejut karena suara burung Gagak.

"Apa yang aku perbuat di sini?" tanyanya sendiri.

Priscilla tersadar. Namun, sosok wanita dengan kebaya merah sepertinya tidak suka melihat itu.

Priscilla menghela napas.

"Siapa sangka, pemandangan di bawah jembatan memang indah," tuturnya.

Matahari sudah berada tepat di ujung kepala. Priscilla tahu karena melihat bayangan dirinya kini sudah sejajar. Tangannya menyekat keringat yang bercucuran di dahi. Sepertinya Priscilla kepanasan. Dia mendekat ke arah air dengan kaki berjongkok. Tangannya bergerak mengikuti arus. Semerbak melati kembali menariknya.

"Kayaknya air sungai di sini seger deh," pikir Priscilla. "Gue juga kepanasan, basuh muka dikit gak apa lah."

Priscilla memasukan kedua tangannya ke dalam air. Satu persatu dia mengalirkan air itu ke tangannya. Dia mengulangnya dan langsung membasuhkan ke wajah. Begitu menyegarkan. Itulah yang dirasakan Priscilla. Saat hendak mengulangnya, netra Priscilla berkedip dan memejam seperti ada sesuatu.

"Cahaya," ungkapnya.

Priscilla bergerak ke arah kanan berusaha melihat apa yang terus bersinar karena terkena pancaran matahari. Priscilla berusaha menggali sebuah benda yang setengahnya terkubur dengan batu tipis.

Setelah mendapatkannya, dia berkata, "Tusuk konde."

Sebuah tusuk konde berwarna merah darah dengan gambar burung merak, dua buah rantai yang tergantung dengan ujung berlian merah. Ujung tusuk konde yang begitu tajam, terukir berlian kecil berwarna merah di batangnya. Tusuk konde yang begitu indah. Namun, warnanya justru mengerikan. Kenapa harus merah darah?

Priscilla terpana melihatnya, tetapi dia merasa aneh. Kenapa tusuk konde yang terkubur tanah tidak berkarat sama sekali? Padahal Priscilla tahu, model tusuk konde itu sering digunakan sinden-sinden zaman dulu. Priscilla tahu karena dia mempunyai hobi mengoleksi barang-barang antik. Dia akan memperlihatkan koleksi tusuk konde dengan berbagai bentuk. Bukan hanya tusuk konde, Priscilla juga suka mengoleksi keris. Menurutnya, semua itu adalah peninggalan zaman dulu yang harus diabadikan karena pada zaman sekarang semua itu seakan dilupakan.

Priscilla membasuh tusuk konde itu sampai bersih karena ada tanah yang menempel di sela-selanya. Setelah itu, dia memasukannya ke dalam saku jaket.

Priscilla.

Sial. Suara itu kembali terdengar. Priscilla memberanikan diri untuk membalasnya.

"Siapa di sana?" tanyanya.

Priscilla.

"Apa maumu? Kenapa kamu terus memanggilku?"

Priscilla.

Priscilla mendecak kesal. Sepertinya seseorang berusaha menakuti dan mempermainkannya. Priscilla berusaha menghiraukannya, toh tidak ada gunanya juga karena tujuan Priscilla ke sana bukan untuk mempertanyakan siapa pemilik suara itu. Priscilla hendak kembali ke atas. Namun, sekelebat cahaya merah menyenggol lengannya dengan kasar. Tubuh Priscilla goyah ke samping. Dia berusaha mencari pegangan karena kepalanya tiba-tiba saja menjadi pusing.

Cahaya yang semula terang, kini meremang dan redup sempurna. Itulah yang dirasakan Priscilla. Dia tidak sadarkan diri. Seorang wanita dengan kebaya merah tampak berjalan menghampirinya. Dia membenarkan posisi Priscilla. Priscilla kini terbaring dengan lemah. Wanita itu berlutut di hadapannya. Dia mengambil air dengan tangannya dan mencipratkan ke wajah Priscilla. Entah apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dia menatap Priscilla dengan tajam. Beberapa detik setelah itu suara nyanyian begitu merdu dan melengking. Kalau saja Priscilla sadar, dia pasti mengatakan bahwa lagu itu sangat menakutkan. Lagu yang selalu dipakai sinden-sinden Jawa kala malam hari. Lagu yang menandakan pemanggilan roh atau arwah yang bisa membuat seseorang kesurupan. Tidak ada yang sanggup mendengarkannya. Suara gamelan yang mengiringi nyanyian itu mengalun dengan lembut.

Karena lelah tertawa. Anke memilih untuk mengambil beberapa buku. Dia mengecek kembali materi yang akan dibawakan.

"An. Priscilla ke mana ya?" tanya Kesha bingung.

Anke terus membolak-balikkan buku. Dia menjawab, "Mungkin masih betah menghirup udara. Secara polusi kota kan memang gak baik buat kesehatan. Nah kalau di desa justru baik banget, masih bersih dan segar."

Setelah berkata panjang lebar, Anke menghela napas seolah-olah mempraktikkan perkataannya barusan.

"Harus gitu banget ya? Tarik napas! Buang!"

"Iya, Kes. Ngulang terus kayak gitu,"

Kesha menatap ke arah samping. Tampaknya Priscilla sedang merentangkan tangan memperagakan layaknya Rose di film Titanic. Namun, hanya saja si Jack (kekasihnya) tidak ada.

"Priscilla kayaknya nyantai banget. Ya udahlah kita jangan ganggu dia!" suruh Kesha.

Anke tiba-tiba teringat sesuatu.

"Kes, tuh cowok bertiga udah nemu warga belum ya?" tanyanya.

"Nah coba lo hubungin, An. Lama banget. Mana udah jam dua belas lagi," rengek Kesha. "Bentar lagi sore, gue gak mau ah kalau harus tidur di sini. Di dalam mobil."

Anke menutup kedua telinga dengan tangannya karena suara Kesha yang melengking. Lebih tepatnya cempreng.

"Oke-oke. Diem ya selebgran! Bisa rusak ntar kuping gue,"

Kesha mencoba mengunci mulut dengan tangan yang bergerak seperti menutup res sleting.

Anke tertawa pelan. Dia mencari-cari kontak Regan. Sinyal di pedesaan mungkin memang jelek. Anke menepuk-nepuk jari ke arah lututnya, berharap koneksinya bisa tersambung. Bukan seperti tadi di saat Regan menelepon dan mendadak mati.

"Gimana?" tanya Kesha.

Regan belum juga menjawab telepon, sehingga Anke menggelengkan kepala.

"Gue coba hubungin Hary ya, An," lanjut Kesha.

"Boleh. Siapa tahu sinyal ponsel Hary di sini bagus," sambut Anke.

Sekitar beberapa menit, akhirnya salah satu dari mereka bisa dihubungi.

"Apa Mbah tahu siapa seseorang itu?" tanya Bayu kembali.

Mbah Nyolo bungkam. Tiba-tiba suara musik dangdut yang berasal dari ponsel Hary berbunyi. Sebuah lagu yang dinyanyikan oleh seorang wanita. Di lagu itu menceritakan bahwa suaminya tidak pulang. Banyak janji yang diucapkan si suami. Sedangkan si istri sudah bosan mendengarnya. Belum juga kebutuhan si istri yang harus beli ini dan itu. Boro-boro belanja, makan sehari pun tak tentu. Ya, kira-kira seperti itu.

Hary menggeser tombol hijau. Dia menjawab, "Ya, Kes. Ada apa?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro