Bab 8. Asal Usul

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah Pak Naris meminta semuanya untuk duduk di halaman rumah. Rumah yang cukup besar dengan halaman yang luas. Pemandangan di depannya menggambarkan bahwa desa tersebut aman dan damai. Banyak anak-anak yang sedang bermain. Salah satu permainan yang mereka (Regan, Bayu, Hary, Priscilla, Anke, dan Kesha) kenali ada petak umpet.

"Terima kasih, Pak," jawab Anke.

Regan membenarkan posisi duduk seakan dia ingin membicarakan hal serius dan memang itu. "Mohon maaf sebelumnya, Pak. Kami dari Jakarta, mahasiswa di Universitas Garuda yang akan melakukan KKN di Desa Leuwigoong ini. Jika Bapak mengizinkan, kami sangat berterima kasih," terangnya.

Pak Naris mengangguk. "Iya, saya mengizinkannya!" jelasnya.

"Waktu kami di sini juga hanya satu bulan, Pak," tambah Bayu.

"Lama juga silakan,"

"Pak, di sini ada kos-kosan?" tanya Hary.

"Kenapa kos-kosan? Rumah saya bakalan muat," bisik Pak Naris, "rumah saya gede kok, jadi tenang aja!"

Mereka merasa canggung kalau tertawa di depan orang terhormat seperti Pak Naris. Namun, rupanya Pak Naris suka becanda.

"Kalau begitu mari saya antarkan ke kamar masing-masing!" ajak Pak Naris.

"Maaf Pak, barang-barangnya belum diambil," lontar Priscilla.

Pak Naris tertawa. "Ah iya-iya, silakan. Saya tunggu di dalam!"

Ketiga wanita itu tersenyum. Bayu dan Hary menemani mereka untuk mengambil barang, tetapi tidak dengan Regan karena dia diajak Pak Naris untuk masuk.

Sesampainya di belakang mobil. Hary berkata, "Badan doang serem, hobinya receh."

"Ya bagus dong. Kalau udah tua harusnya banyakin becanda biar muda!" komentar Kesha.

"Tua ya tua, muda ya muda. Ngawur lo,"

"Nah kalau lo sering marah-marah bakalan tambah tua, pake ba-nget!"

Bayu, Priscilla, dan Anke menggelengkan kepala. Setelah bagasi mobil itu terbuka, Priscilla memanggil, "Har, koper lo ngalangin koper gue!"

Dengan cepat, Hary menghampirinya. "Mana?" tanyanya. Dia menghembuskan napas kasar. "Lo becanda, Pris?"

"Lagian lo berdua sih, berantem mulu! Ntar bisa-bisa jodoh loh!" lanjut Anke.

Bayu mengacuhkan mereka dan memilih untuk mengeluarkan barang-barang mereka. Setelah semuanya berada di bawah, dia kembali menutup bagasi.

Bayu langsung menenteng koper miliknya dan Regan. "Buruan, udah hampir petang!" serunya.

Mereka setuju karena semburat cahaya jingga sudah muncul dengan malu-malu. Setelah semuanya membawa koper itu dan masuk ke dalam. Pak Naris menyuruhnya untuk mencicipi makanan yang telah dibawa oleh Bu Yeni (istrinya). Mereka semua memakannya sebagai tanda penerimaan.

Priscilla meneliti sekitar. Rumah Pak Naris tampaknya sudah tua seperti usianya. Ada sebuah ruangan yang mencuri perhatian Priscilla. Ruangan yang penuh dengan barang-barang antik.

"Pak Naris juga suka ngoleksi barang-barang antik, ya?" tanyanya membuka suara.

Lantas Pak Naris menoleh ke ruangan itu. "Ah, iya," balasnya. "Itu juga peninggalan orang tua saya dulu. Di zaman sekarang, barang-barang seperti itu jarang ditemukan dan sekalinya ditemukan sudah masuk museum."

"Ngomong-ngomong kenapa nama desa ini Desa Leuwigoong, Pak?" tanya Anke.

Pak Naris tampak berpikir. Dia mencoba mencari-cari ingatan yang hilang.

"Dulu ada sebuah cerita yang berkaitan dengan nama desa ini," terangnya.

Semua mahasiswa itu penasaran. Tatapan mereka fokus ke arah Pak Naris.

"Ya, ceritanya seperti ini," urainya. "Dulu ada sebuah grup orkestra gamelan dari desa sebelah yang akan membuat pertunjukan di desa kami. Maklum, dulu di desa kami belum ada listrik dan penerangnya hanya obor. Satu grup itu membawa banyak barang-barang mereka dengan berjalan kaki. Dulu juga jembatan di sana terbuat dari bambu yang disusun dan hanya bisa dilalui satu motor.

"Mereka terus berjalan untuk sampai di desa kami, tetapi saat berada di jembatan mereka mencium bau anyir dan mendengar suara seperti orang yang sedang berenang. Dan juga karena mereka orang baru, mereka melihat ke bawah jembatan karena sangat penasaran. Namun, arus air yang begitu besar datang dari belakang dan menghantam jembatan itu sehingga mereka semua jatuh ke dalam,"

"Apa mereka semua selamat, Pak?" tanya Bayu.

Pak Naris menggelengkan kepala. "Hanya satu, kalau tidak salah namanya Pak Mamat (penabuh gong). Namun, beliau juga mengalami luka yang cukup serius sehingga satu bulan setelahnya beliau juga meninggal. Seluruh warga di sini hanya menemukan beliau seorang karena saat arus itu terus menyeret mereka, Pak Mamat memegang batu di sungai itu dengan kuat. Pak Mamat tidak tahu teman-temannya hilang ke mana, tetapi dia merasa bahwa ada pusaran air yang menarik semuanya," lirihnya.

"Lantas kenapa disebut Desa Leuwigoong, Pak?" tanya Priscilla.

"Leuwi itu karena desa kami menjorok ke bawah dan jatuhnya grup gamelan itu ke jurang, serta goog itu nama dari barang Pak Mamat karena hanya beliau yang selamat. Sampai saat ini pun jasad-jasad mereka belum ditemukan," sambungnya.

Sekelompok mahasiswa sedikit tidak mengerti dengan penjelasan Pak Naris di akhir, tetapi wajar saja mungkin karena usianya yang sudah tua. Mereka terdiam mendengarkan kisah yang sangat memilukan itu. Bagaimana tidak, di kejadian itu hanya satu yang selamat dan anehnya kematian mereka tidak ditemukan. Pusaran air di bawah jembatan. Aneh memang, tetapi mereka tidak berani bertanya lebih detail lagi. Biarlah itu menjadi kisah desa tersebut.

Senja membawa malam perlahan-lahan. Suasana di desa itu begitu dingin dan tenang. Tidak, lebih tepatnya sepi dan sunyi. Rumah yang begitu besar hanya ditempati oleh sepasang suami istri. Kesha tidak melihat orang lain lagi sehingga dia bertanya, "Pak, Bu? Apa di rumah ini enggak ada orang lain lagi? Soalnya saya liat Ibu sama Bapak aja dan rumahnya sepi."

"Semua anak-anak saya pergi ke luar kota," balas Bu Yeni.

Pantas saja, batin Kesha.

"Ya sudah, mari saya antarkan ke kamar kalian!"

Bu Yeni mengantarkan ketiga wanita itu ke kamarnya. Setiba di ambang pintu dia berujar, "Silakan beristirahat, jika nanti kalian lapar jangan sungkan-sungkan buat ke dapur ya!"

"Ten-" respon Kesha.

Kesha menahan ucapannya di tenggorokan karena kakinya yang sengaja diinjak oleh Anke.

"T-tidak usah repot-repot, Bu," potong Anke.

"Kami sudah banyak merepotkan Ibu dengan tidur di sini," tambah Priscilla.

"Justru Ibu senang kalau banyak tamu di rumah, jadi rame, kan?"

Priscilla dan Anke tersenyum sambil mengangguk, tetapi tidak dengan Kesha yang meringis kesakitan. Sialan teman macam apa dia?

"Ya sudah, Ibu tinggal dulu!" tuturnya.

Setelah Bu Yeni pergi, Kesha menutup pintu dengan kasar. "An, kok lo main nginjek kaki gue sih?" dengusnya.

"Y-ya lo nya sih, keliatan banget kalau lapar," jawab Anke.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro