Who Am I?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku memejamkan mata, tidak terlalu memerhatikan sekliling. Kusangga kepalaku yang terasa berat dengan kedua tangan.

Pening. Rasanya aku ingin mencopot kepala ini dari tubuhku. Sekalian mati kalau bisa. Semuanya terasa terlalu berat.

Aku meraih gelas di dekat tanganku, kemudian menenggaknya. Rasa manis menyapa lidahku, rasa manis yang sedetik kemudian membakar kerongkontganku.

Entah gelas keberapakah itu, aku tidak tahu. Aku bahkan tidak peduli jika uangku tidak cukup untuk membayar.

Setelah cairan di dalam benda itu habis, kutenggelamkan kepalaku di dalam lipatan tanganku.

Kepalaku terasa lebih berat dari sebelumnya. Pening melanda makin kuat. Namun anehnya, perasaanku melayang. Pikiranku berkelana. Otakku memunculkan kilasan-kilasan secara acak, hal-hal yang terjadi dua minggu terakhir.

Tergambar jelas saat Papa membentaki Mama, meneriakinya begitu keras, bahkan pada satu titik dia menampar Mama. Aku melihat Mama berteriak kesakitan. Tangannya memegang pipinya yang memerah. Kemudian, beliau jatuh dan hilang dari pandanganku.

Aku masih ingat, saat itu aku hanya menatapi mereka tanpa berbuat apa-apa. Yang kulakukan hanya duduk menghadap pintu kamar, mengintip melalui lubang kunci. Aku selalu bisa keluar dan menghentikan Papa, tapi tidak kulakukan. Aku pengecut.

Kemudian, kilasan itu berubah. Kini benakku menampilkan gambaran seorang gadis. Rambutnya lurus sebahu. Di bibirnya tersungging seulas senyum yang terlihat seperti senyum abadi.

"Apa kabar, Sat?"

Aku berusaha mendongak dan membuka mataku. Nggak. Nggak sama sekali, aku berusaha menjawabnya, tapi bibirku terlampau kelu untuk digerakkan. Jawaban itu hanya berputar-putar di dalam benakku, tanpa terucap sama sekali.

Gadis itu tersenyum makin lebar, dan aku mulai bertanya-tanya apa yang membuatnya tersenyum begitu. Apa aku lucu? Kurasa aku tidak sedang melawak.

"Satria, kapan kamu ajak aku ke rumahmu?" gadis itu bertanya lagi.

Aku berusaha mencerna maksudnya. Aku mengerjapkan mata berkali-kali untuk melihatnya dengan lebih jelas. Aku memaksa otakku bekerja, mencari nama gadis di depanku ini.

"Kamu nggak akan pernah ajak aku. Aku boleh ya, datang ke sana sendiri?"

Aku tersentak. Bayangan gadis itu memudar. Tanganku terulur, berusaha meraih wajahnya. Tidak. Dia tidak boleh pergi ke rumah orang tuaku, atau ke mana pun. Aku ingin berteriak, mencegahnya pergi, memintanya untuk tetap tinggal.

Dan aku berteriak. Sangat keras, hingga tenggorokanku terasa sedikit sakit. Aku tidak mengerti apa yang kubentakkan, aku hanya tahu bahwa aku baru saja membentak seseorang.

Samar, orang yang kubentak mulai terlihat wajahnya. Seorang gadis lain. Bibirnya bergetar, mata cokelat tanahnya berkilauan.

Gadis itu menggigit bibirnya, kemudian balas membentak, "Kalau gue nggak tau apa-apa tentang lo, jadi selama ini lo cerita ke siapa?!"

Kepalaku makin berdenyut. Aku tidak melakukan apa pun ketika gadis itu berbalik dan berlari pergi, meninggalkanku dalam kehampaan.

Lyra. Lyra .... Tolong, jangan tinggalin gue ....

Tubuhku menggigil. Kepalaku semakin berdenyut. Aku mengangkatnya. Kelopak mataku terasa berat, tapi aku memaksanya terbuka. Aku merasakan sakuku bergetar. Kuambil handphone-ku dari sana.

Seseorang menelponku. Namun, aku tidak bisa membaca kontaknya. Mataku masih terlalu buram. Aku tidak mengangkatnya. Kutunggu hingga telpon itu mati dengan sendirinya, kemudian menggeser jariku di layar, mencari kontak seseorang.

Buram mataku sudah berkurang. Tulisan-tulisan di layar handphone-ku mulai dapat terbaca. Alfa, Cindy ....
Aku mempertimbangkan untuk menelpon salah satu dari mereka. Namun, mataku sudah menangkap nama lain. Lyra.

Apa pun, asal gadis itu ada di sini sekarang. Aku butuh dia. Aku butuh teman untuk berbagi luka. Dan yang kutahu, hanya dialah yang sanggup dan mau melakukan itu.

Lyra tidak segera mengangkatnya. Yang terdengar hanya suara tut berkali-kali. Setelah semenit, telpon itu mati, menandakan Lyra tidak ingin menjawab.

Aku oercaya dia tahu aku menelponnya, maka aku melakukannya lagi. Aku tidak peduli dia terganggu atau apa. Aku benar-benar butuh dia sekarang. Di sini.

Tersambung. Dia mengangkatnya.

Sebelum dia menutupnya kembali, aku berkata, "Ra. Lyra. Tolong jangan diamtiin dulu." Sauraku terdengar parau sekali. Kuharap dia mengerti apa yang kukatakan.

Dari seberang sana tidak terdengar suara apa pun, seolah telpon itu putus atau orang yang tadi menerimanya mendadak pergi meninggalkan handphone-nya. Meski begitu, aku tahu Lyra masih ada di sana. Entah khayalan atau bukan, aku hisa mendengar helaan pelan napasnya.

Lusinan jarum seolah menusuk dadaku. Dia pasti masih marah akan hal terakhir yang kulakukan padanya saat itu. Aku mengungkit orang tuanya, membentaknya, mengatakan bahwa dia tidak tahu apa-apa tentangku padahal dia adalah satu-satunya yang tahu lebih banyak tentangku.

"Lyra ... Apa gue harus mati dulu biar lo mau maafin gue?" tanyaku lirih. Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi. Hidupku tidak berguna sama sekali jika bukan karena Mama dan Lyra.

Dan sekarang Mama sudah pergi, berkat kursi yang dilemparkan Papa padanya dengan begitu kuat. Dan juga berkat aku, yang hanya diam di tempat melihat semua yang terjadi.

Sekarang hanya tersisa Lyra, dan aku membuatnya membenciku.
Aku mengembuskan napas keras. "Lyra ... please."

Terdengar suara lirih dari seberang sana. Sedikit lebih keras dari helaan napas. Isakan. Dia menangis. Kemudian, tidak terdengar apa-apa. Telpon itu terputus.

Apa yang telah kulakukan? Ya Tuhan, bunuh sajalah aku.

Kepalaku kembali berdenyut, dan aku tidak peduli. Aku bagkit dari kursi tinggi tempatku duduk, kemudian keluar dari bar itu.

Sudah cukup untuk malam ini. Aku harus melakukan hal lain, bagaimanapun keadaanku.

***

Sempoyongan aku berjalan, melewati barisan pepohonan yag rimbun di tengah kegelapan. Andai tak hafal jalannya, aku pasti sudah menabrak pohon berkali-kali.

Setelah keluar dari kawasan rimbun itu, aku berjalan di jalanan beraspal. Tidak terlalu ramai, syukurlah. Aku masih belum bisa menjaga keseimbanganku dengan sempurna.

Kakiku sudah lemas, tapi aku tidak akn menyerah. Sedikit agi sampai. Aku sudah berada di di dalam bloknya. Hanya beberapa langkah ....

Dan aku melihatnya. Gadis itu. Gadis berambut panjang dan bermata cokelat tanah itu sedang menatap jendela kamarnya. Menatapku.

Dia mengigit bibirnya, matanya berkilauan oleh air mata. Namun, bahkan itu pun sudah cukup bagiku. Kupercepat langkahku.

Tiba-tiba, aku merasakan mataku tertusuk. Kusipitkan mataku, berusaha mengurangi rasa sakitnya. Entah nyata atau tidak, indera pengelihatanku menangkap cahaya yang begitu terang.

Kemudian, kurasakan sesuatu yang sangat keras menghantam punggungku. Keras dan besar, sehinga aku terlempar. Tubuhku teasa melayang. Rasa sakit mulai menjalar meski samar karena mungkin efek minuman tadi masih bekarja.

Makin lama, rasa sakit itu makin terasa. Leherku menghantam sesuatu yang keras, disusul dengan rasa sakit tak tertahan di kepalaku. Dan saat ini, aku tahu aku akan mati.

Mataku menangkap gambaran itu. Aku melihatnya. Gadis itu sedang menutup wajahnya. Air mata mengalir di pipinya. Sedetik kemudian, dia hilang dari pandanganku, tergantikan oleh gelap dan terang tak beraturan.

Namun itu sudah cukup. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro