vi. sebuah [a]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

TW : violence, blood, harsh words.

do not read any further of this if you are triggered by that.



















Sebuah cerita untuk dikatakan pada keturunan.

Apa ceritaku?

Ah ... kurasa itu tidak pantas didongengkan untuk keturunanku yang manis.

Kecuali jika aku masih hidup.

Haruskah aku bersyukur?

"Tak peduli apa yang terjadi ... aku akan membawamu."

6 Maret 2021.

"Memangnya itu masuk akal?! Kau sedang menyakiti dirimu sendiri! Sudahlah, biarkan aku mati!" Aku terus membujuknya yang bersikeras melawan mereka semua.

Entah bagaimana kami ada di situasi ini. Namun, yang aku mengerti, kami dihadang di tengah jalan kami akan lari. Aku tak tahu mengapa ia sekeras kepala itu untuk membawaku. Padahal, membiarkanku mati sebenarnya mudah. Perihal balas dendam ini tidak akan lanjut sampai ke keturunanku dan keluarganya bisa hidup dengan tenang, tak perlu terbayang-bayang keluarga pendosa milikku.

"Kau ingin membawaku?"

Tanyaku padanya yang terengah-engah. Preman-preman tersebut masih berdiri di belakang kami, mengawasi. Aku tidak tahu siapa yang mengirim mereka, tapi, yang pasti, mereka ahli. Mereka bukan preman pasar maupun preman jalanan. Mereka seperti preman bayaran.

"Iya ... apapun yang terjadi," katanya. Aku tersenyum. Aku mengambil dua baton (semacam tongkat) yang dibawanya dan menggertakannya, membuat mereka panjang. Aku mengelus dahinya yang berdarah dan berdecak.

"Cih. Mereka harus membayarnya."

Ia mendengkus dan menutup mata. Aku menghampiri para preman yang mulai menyeringai kepadaku. Tak ingin basa-basi, aku langsung melompat ke arah mereka, menerjang satu-persatu. Diri ini yang tak punyai pengalaman bertarung tentu kewalahan, namun, entah bagaimana, aku bisa menghadapinya.

Aku berhenti sejenak. Napasku putus-putus. Tatapi mereka yang tak berkurang jumlah, masih sama seperti tadi. Ah ... siapa peduli. Siapa tahu, melalui mereka, aku bisa melampiaskan kekesalanku selama ini.

"Mati kalian!"

Teriakku. Aku menyerang mereka lagi dan memukul tengkuknya. Mereka memang tak semudah itu untuk rubuh, tapi, aku berusaha sebaik mungkin.

"Kau tahu, êl tithen? Tuhan selalu bersamamu. Maka dari itu, jangan ragu-ragu meminta pada-Nya, ketika kau membutuhkan pertolongan."

Aku mengerjap, kakiku tersandung. Mengaduh, aku mencoba bangkit.

"Ibu, ayo berjanji."

Tongkat yang sebelah hampir patah. Tidak apa. Aku masih bisa menyerang.

"Aku dan ibu akan bersama dan saling menyayangi selamanya."

Aku menghindar ketika ada salah satu dari mereka hendak memukulku.

"Sampai maut memisahkan?"

Aku berdecih, membuang sisa darah yang mengenai akibat tersungkur tadi.

"Tidak, Ibu. Selamanya."

Kami berlanjut satu lawan dua puluh. Aku tak tanggung-tanggung dalam menusuk menggunakan ujung pisau yang (ternyata) terdapat di baton dan menyerang leher mereka, serta menendang maupun melayangkan pukulan.

"Baiklah. Selamanya."

Ada yang membawa dagger. Orang itu mencoba menyerangku dari belakang. Aku menjatuhkan tongkat yang kupegang dan menahannya, membuat tanganku berdarah. Tidak terasa sakit sama sekali.

"Aku tidak akan pernah meninggalkan Ibu."

Pengawasanku hilang tatkala salah satu menendang perutku. Aku terbatuk, mengeluarkan darah. Kepalaku luar biasa pusing.

Aku mendongak, melihat ia yang tersenyum kepadaku. Seolah mengatakan; semuanya akan menjadi baik-baik saja. Aku tidak percaya. Setelah apa yang terjadi, kebodohan seperti itu tak mungkin terlontar dari mulutnya.

"Siapa yang mengirim kalian?" tanyaku pelan. Suaraku serak.

"Tuan, Tuan Putri. Yang Mulia Findekano."

Aku terkekeh. Tentu saja, siapa lagi?

Takdirku memang mati.

"Kalian boleh membunuhku ... asal kalian melepaskannya," ujarku pada akhirnya, menatap mereka tajam. Ekspresinya tetap datar.

"Yang Mulia memang berkata seperti itu."

Mataku menggelap.

Aku terbangun. Di situasi yang tidak kukenali. Jika keadaannya adalah seperti dua hari yang lalu, mungkin ini adalah waktu lampau. Tapi, aku tak mengingat ini.

"Mama, coba lihat!"

Arunika terbentang luas di hadapanku. Bukan swastamita, bukan pula senja. Fajar bersama mega angkasa yang ciptakan suasana paling indah sepanjang masa. Hangatnya mentari simpulkan rasa jatmika dan berharap semua ini amerta.

Aku melihatnya. Anak kecil. Kira-kira berusia lima tahun.

"Siapa kau?"

Anak kecil tersebut cemberut. "Mama, anak sendiri, kok, bisa lupa?" Ia mengambil tempat di samping dan mengalungkan lengan di tanganku. Ini tebing.

Angin berembus.

"Ah ... iya. Di mana Papa?" Aku penasaran. Kulirik sekitar, tak ada tanda-tanda kehidupan. Bagaimana kami bisa sampai di sini?

"Mama, Mama bilang untuk tidak membahas Papa ... mengapa Mama membahasnya?" Ia menggerutu. "Papa adalah pria yang tidak tahu diri! Aku tidak tahu mengapa Mama bisa menyukai pria seperti Papa."

Aku mengernyit. Bisa kuambil sesuatu bahwa ia adalah anakku, tapi, aku tidak mengerti mengapa ia bisa berkata begitu.

"Nak, bagaimanapun juga, ia adalah papamu. Jangan berkata begitu tentangnya, oke?" Aku mengelus-elus rambutnya. Berwarna putih, sama sepertiku. Tingginya sepaha ini. Hawa semakin dingin. Rambutnya cepak khas lelaki.

"Nak ... ?" Alisnya bertaut. "Mama tidak biasa memanggilku Nak."

Aku gelagapan. "Yah, pokoknya, jangan seperti itu."

"Mama, Mama sendiri yang bilang untuk menghujat Papa sampai puas!" Ia berkacak pinggang. Gemas sekali. Bagaimana aku bisa punya anak selucu ini? Apakah ini masa depan? Jika iya, itu artinya aku tidak mati?

Aku tertawa. "Mama pernah bilang begitu?"

"Aku heran kenapa Mama bisa selalu juara kelas dulu!" Aku mematung. Aku tidak pernah sekolah ... setidaknya ia masih memberikan pembelajaran untukku. "Mama yang pelupa, ini, tidak mengingat perkataan Mama dua hari lalu?"

"Dua hari lalu?" Aku bertanya.

"Benar, Mama! Dua hari lalu!" Ia berjinjit untuk membisikkan sesuatu di telingaku. Aku membungkuk, membantunya, menyampirkan poni yang tergerai. "Hari di mana Mama berpisah dengan Papa."

Ini suram.

"Anak Mama ini menghadiri acara permisahan Mama dan Papa?"

Ia berdecak, menyilangkan kedua lengan. "Mama bicara apa, sih? Mama yang minta aku untuk hadir, bukan?" Kemudian, ia mengubah posenya. Ia kini menepuk-nepuk tanganku. "Tapi, tidak apa, Ma. Aku sekarang ada di sini, kok! Mama tidak perlu khawatir. Kita akan bersama selamanya, Mama!"

Paralel sialan.

"Êl tithen?"

Suara ini—

"Ibu?"

Aku membeku. Beliau menghampiriku, mengusap-usap lenganku.

"Kenapa menangis, sayang?"

Aku tidak sadar. Begitu aku berkedip, likuid bening tanpa rasa tersebut mengalir dari pipiku begitu saja. Aku terisak. "Aku tidak tahu, Bu."

Beliau tersenyum begitu lembut.

"Tidak apa. Semuanya akan baik-baik saja. Kaupunya Ibu, kaujuga punya ia." Beliau berganti mengelus kepala anakku.

"Nenek, kenapa Mama menangis? Mama menangis karena berpisah dengan Papa?" Anak itu mulai menenangkanku. Sementara isakku semakin deras, ibu memelukku.

"Semuanya akan baik-baik saja, oke? Kau yang menyarankan tinggal di kabin ini, bukan begitu?"

Aku menoleh pada arah yang ditunjuk ibu. Danau ... di atas dataran tinggi ... bersama kabin bukan kayu di sebelahnya. Terlalu besar.

Entah bagaimana, aku bisa mengucapkan ini:

"Itu hadiah terakhir darinya, Bu. Kami mungkin tak akan bersua lagi untuk seterusnya."

Anak itu memanyunkan bibir. "Mama tidak akan sedih, 'kan? Setelah semua ini, Papa masih memiliki kesadaran untuk membantu mereka?"

Aku terkekeh. "Menurut Mama, Papa tidak sejahat itu."

"Serius, Ma? Mama pernah menyumpahinya di hadapanku."

Aku mendelik. "Yang lalu biarlah berlalu, oke? Kita akan hidup bahagia di sini. Hanya bertiga, tanpa gangguan berarti."

"Mama, bahan makanannya?"

Aku menggigit bibir, menahan tawa. "Kita bisa bercocok tanam, sayang."

"Ide yang bagus! Aku akan membantu!"

"Baiklah, Nenek juga." Ibu ikut-ikutan. Aku terkikik, mengikuti langkahnya yang berlari. Ibu berjalan mendampingiku.

Kami masuk pada kabin yang ibu maksud. Luas.

Anak itu mengambil duduk di kursi dapur, sedangkan kami mengawasinya yang mencuci tangan.

Danau terbentang di depan.

"Êl tithen, kau tentu tahu ini semua tidak nyata, 'kan?"

Aku mengerjap. "Ibu?"

Beliau tersenyum. "Nama anak itu Findekano, omong-omong. Rawat ia dengan baik dalam imaji ini."

"Apa maksud Ibu?"

"Kau ingin menghentikan lingkaran setan ini atau tidak?"

Lingkaran setan ini harus berakhir.

"Ya, Bu." Aku mengangguk mantap.

"Kau tahu apa yang harus kaulakukan?"

"Tidak," lirihku. Ibu tersenyum, lagi. Entah sudah keberapakalinya ia menarik kedua sudut bibir itu.

"Kalian harus ke atas sana, sayang."

Ibu mengatakanku untuk mati?

Ini memang bukan salahku. Tunggu, 'kalian'—

"Kau, ia, dan temannya. Kalian bertiga harus ke atas sana."

Aku menelan ludah.

Ini memang bukan salahku. Tapi, bukankah tanggung jawab itu turun-menurun? Utang yang tak dilunasi saja berimbas pada keturunan, bukankah dalam hal tanggung jawab berlaku sama? Aku tidak mengerti mengapa itu bisa berbeda.

Tapi—tidak, tidak. Di kasusku total sama. Aku harus mati. Demi menjaga keturunannya. Dendam ini tak boleh berlanjut, sampai kapanpun.

"Aku sadar diri, kok, Bu."

Ibu dan ayah memiliki kisah terlampau rumit. Begitu juga dengan aku dan mereka, dua bujang yang berkata menyayangiku. Aku tak tahu pasti ujaran itu adalah sebuah kebohongan atau tidak, tapi, yang kupahami, tidak peduli keduanya, aku tetap harus mati.

Tak pernah kumengatakan bahwa aku tak berhak atas rasa sakit ini. Apa kabar keluarganya yang mengalami hal lebih parah dari kami? Oh, tentu aku tak bisa menghakimi mereka. Perasaan benci mereka nyata, dan aku tak bisa menyangkalnya. Siapa yang bisa aku salahkan?

Tidak ada.

Tuhan menghukumku dengan terang-terangan menunjukkan ini kepadaku. Halusinasiku. Dia bilang kepadaku untuk tidak berharap banyak ataupun berharap untuk masih hidup. Aku harus mati.

Apa jika sekarang aku berangkat ke gereja untuk berdoa, Tuhan akan memaafkanku?

Tidak, bodoh. Ha ha. Berharap adalah hal yang mustahil.

.

.

.

Sudah satu hari semenjak Mayu menceritakanku dongeng itu, dan aku masih suka muntah darah. Biasanya sewaktu pagi dan sebelum tidur. Dokter yang dibawanya mendiagnosa aku terkena anemia.

Ah, sial. Sejak kapan aku menjadi selemah ini?

Ia juga merawatku. Mengingatkanku padanya. Uh.

"Kau ingin makan apa?"

Aku menggeleng, memanyunkan bibir. "Aku tidak ingin makan! Toh, makanannya akan jadi darah. Untuk apa membuang-buang uang?"

Ia terkekeh, menaruh nampan berisi mangkuk penuh nasi dan sup tahu serta ikan goreng di nakas samping. Ia mengambil duduk di sebelah dan mengusap-usap tanganku. Tubuh ini yang tak bisa terbilang dewasa namun berisi roh wanita terlihat kecil sekali disandingkan dengannya.

"Kau harus makan. Sudah dari kemarin malam kau tak ingin malan. Nanti kau sakit."

Aku menggerutu. "Tak kuingat kau menjadi secerewet ini."

Biarkan aku menikmati momen ini. Momen-momen di mana aku berpikir bahwa aku dilahirkan untuknya. Bukan semata-mata momen sampah atau bagaimana, momen yang meski dirasa kecil, tapi efeknya tak main-main.

Aku terkadang heran. Maksudku, Tuhan tak mungkin sejahat itu padaku, 'kan? Aku memang memiliki beberapa momen bahagia, tapi, bila dibandingkan dengan orang lain, momen bahagiaku tidak seberapa. Bukan maksudku tidak bersyukur atas nyawa maupun hidup yang Dia berikan, aku hanya bertanya-tanya.

Aku seringkali pulang ke rumah, sehabis mengamen—dengan bercerita kepada ibu. Aku menceritakan semuanya padanya. Tentang anak pengamen lain yang sangat baik, tentang paman penjual es krim yang berhati mulia, atau tentang menyelamatkan anak burung yang terjatuh dari sarangnya. Hal-hal kecil tersebut membuatku bahagia luar biasa.

Momen-momen kesenjangan di mana semuanya masih dirasa baik-baik saja, aku tak keberatan.

Aku tak perlu harta dunia atau apa, aku hanya ingin momen itu.

"Tuan Putri, kau harus makan."

Aku memeletkan lidah. "Tidak mau!" Aku bersikeras. "Lagipula, apa-apaan panggilan Tuan Putri itu? Aku bisa mati! Menjijikkan sekali."

"Aku menyukainya."

Alisku terangkat satu. "Apa? Panggilan 'Tuan Putri'?"

"Kau ini sungguh tidak peka—,"

Aku memotongnya. "Oh, tentu saja aku tahu! Kau menyayangiku, 'kan? Tentu. Semua orang menyayangiku. Aku ini anak yang patut disayangi." Aku mengibaskan rambut pendekku, bersikap sombong.

Ia terkekeh. "Baiklah, Tuan Putri." Ia mulai menyendok sup tahu dan menyuapiku. Aku menggembungkan pipi.

"Aku akan makan asal kau tidak memanggilku Tuan Putri!" kataku berusaha membuat kesempatan. Aku menutup bibir rapat-rapat dari suapannya.

"Tidak bisa. Kau Tuan Putri-ku."

Aku berlagak seperti muntah, tapi tetap menerima suapannya. Kukunyah lamat-lamat dan mencona merasakan rasanya, tapi, lidahku seperti mati rasa. Aku menggeleng-geleng dan lanjut memakannya.

"Kau tahu?" Aku meminum susu vanilla-ku. "Aku sekarang mendeklarasikan bahwa aku menyukai kata 'menjijikkan' dan aku bisa mengatakannya ribuan kali jika aku mau. Oh, dan sampai kau muak, jangan lupa."

Ia terkekeh. Ia selalu terkekeh. Apanya yang lucu dari tingkahku? Aku berusaha bersikap sedewasa mungkin.

Tidakkah ini bisa tak lekang oleh waktu? Jika bisa, aku ingin terjebak di sini selamanya. Seperti masa-masa dulu di mana aku bahagia luar biasa.

Tapi, aku kembali mengingat perkataannya.

Bahagia itu ada hanya jika kau meyakini ia ada.

Maka dari itu, aku akan mencobanya. Aku akan merasa bahagia meski hatiku sakit tidak karuan. Aku akan merasa bahagia meski itu tidak layak disebut sama sekali. Aku akan merasa bahagia meski kematianku sudah diujung tanduk. Pada akhirnya, aku memang harus mati, 'kan? Supaya keturunannya tak terkena imbasnya, supaya keturunan orang ini juga tak terkena dampaknya.

"Kau aneh."

Aku tersenyum miring. "Baru tahu?"

Benar. Biarkan aku menikmati momen ini.

Tapi, siapa bilang Tuhan berpihak padaku?

Aku merasakan gejolak dari kerongkonganku. Langsung saja aku berlari ke kloset di dalam toilet, memuntahkan apa yang aku muntahkan ke sana. Uh. Sejak kapan aku menjadi selemah ini? Tentu, memangnya Tuhan akan membiarkanku tenang bahkan jika itu seujung kuku sekalipun? Tidak, tidak. Tuhan tidak mempunyai cukup belas kasih untukku.

"Mau aku panggilkan dokter lagi?"

Ia bantu mengurut tengkuk. Aku menggeleng, menolak. Aku menatap warna merah pekat pada air kloset, lalu mengguyur dengan satu kali memencet tombol. Aku beranjak dari sana dan berkaca di cermin. Aku membasuh muka, meratapi nasib.

Tubuhku mengurus. Rambut putihku tak juga pudar dari sinarnya, mengherankanku. Kantung mata itu juga semakin besar, membuatku bertanya-tanya. Memang, tubuh ini terlihat kecil sekali dibandingkan dengannya. Aku hanya setinggi perutnya. Padahal, ku sudah genap berusia—

Usiaku berapa?

"Maitimo, kita selisih berapa tahun?"

Ia mengangkat sebelah alis. "Delapan tahun."

Aku tergelak. "Woah. Kau sudah kakek-kakek, ya!" ejekku padanya.

Ia menggerutu, "Tiga puluh delapan bukanlah umur kakek-kakek! Aku masih waras, dan masih normal, tentunya."

"Tetap saja, tua!"

Jadi, usiaku tiga puluh, huh? Benar sekali. Dengan tubuh seperti itu, usiaku sudah mencapai tiga puluh. Bolehkah aku berkata miris? Sebab tak banyak orang di luar sana yang mengalami mogok tinggi sepertiku.

Kami keluar dari toilet dengan ia menjagaku penuh kehati-hatian. Aku yang tak tahu diri ini malah melompat ke ranjang, merasakan halus kapuk serta aroma vanilla yang tersebar di seluruh penjuru ruangan. Tak ayal, ia ikut berbaring di sampingku. Aku mengubah posisiku dari telungkup menjadi telentang. Kami sama-sama pandangi langit-langit monoton tersebut.

"Hei, Maitimo, kau akan rela, 'kan, jika aku mati?" tanyaku tiba-tiba.

Ia menoleh, mengernyit. "Jangan membahas itu."

"Jangan bilang kau jadi sama sepertinya?" Aku bertanya, tak dapatkan jawaban. Keheninganlah segalanya. "Bagaimanapun juga, aku harus mati. Ini salah kami."

"Itu bukan salahmu!" sahutnya dengan hampir berteriak. Aku mengerjap.

"Ya ampun, Maitimo, tidak perlu sampai seperti itu. Harus ada satu kubu yang bersedia mengorbankan semuanya agar perihal dendam ini tak jadi selamanya," ucapku. Aku mendudukkan diri, memeluk lutut. "Kau tahu, Maitimo? Terkadang untuk mencapai sebuah kebahagiaan, dibutuhkan perjuangan mati-matian."

"Dan, aku, sedang berjuang mati-matian. Walau pada akhirnya aku mati, setidaknya, aku mencoba, 'kan?" lanjutku. Aku masih belum berhenti. "Beberapa hal gagal yang kita alami tak akan kita sesali apabila kita bersyukur sudah diberikan kesempatan untuk mencoba. Tuhan tidak sekejam itu, Maitimo. Bersyukurlah untuk dirimu sendiri."

"Tuhan tidak sekejam itu?" Ia mendengkus. "Lalu, untuk apa Tuhan menciptakanmu ketika perihal balas dendam ini sedang terjadi? Jika Tuhan tidak sekejam itu, kau lah tentu sedang hidup bahagia sekarang ini."

Aku terdiam. Tuhan masih membiarkanku hidup, bukannya aku harus bersyukur? Tidaklah boleh aku menjadi insan tak tahu diri yang bisanya meminta, tapi tidak memberi. Sudah berapa minggu aku tidak ke gereja? Sepertinya terakhir dari ulang tahunku tanggal delapan Februari lalu, kemudian aku tak pernah lagi ke sana.

Sekali lagi; kita meninggalkan Tuhan, apa yang kita harapkan?

Aku tertawa. Tawa yang kedengarannya sangat menyayat. Sudahlah cocok bila orang tak dikenal mendiagnosaku sebagai pasien rumah sakit jiwa; alias orang gila. Aku memang gila. Aku gila akan keadaan ini. Jika situasinya tak sepenting itu, tentu aku sudah mencari jalan keluar dari dulu. Tak perlu membuatku mati atau hal-hal berbahaya lainnya.

Tapi, ini hidup yang kita bicarakan.

Tuhan sudah merancangnya untuk kita.

Kita bisa apa?

"Maitimo," panggilku.

"Ya?"

"Jika aku menyerahkan diri, kau tak perlu terkena akibatnya, bukan begitu?"

Bisakah kita melakukan sesuatu?

"Tidak bisa!"

Alisku bertaut. "Kenapa?"

"Karena aku—,"

"Menyayangimu? Oh, Maitimo, dari dulu kau menganggap masalah ini sepele, kah? Jika aku menjadi dirinya, mungkin orang yang saat itu menjadi aku sudah aku musnahkan duluan. Aku tidak bisa, secara tidak langsung, melihat wajah pembunuh ibuku terus-menerus," kataku.

Ia nenghela napas. "Bukan begitu. Kita sepakat untuk lari dan mengabaikannya, 'kan? Aku bisa membunuhnya. Hanya saja ... kau tak mau."

"Kalau masalah ini bisa selesai dengan bunuh-membunuh, itu tidak ada bedanya dengan kita menjadi sampah!" putusku. Aku menatapnya tajam. "Jangan kau gunakan cara yang sama seperti yang keluargaku lakukan." Aku mengancam.

Ia tak membalas apapun lagi. Lebih tepatnya, kami sama-sama terdiam.

Aku mencoba jadi realistis. Tidaklah bisa aku mengulang sejarah yang dulu keluargaku lakukan. Bukankah sudah kubilang berkali-kali; kalau aku tak menyukai mereka? Mereka yang menyalahgunakan kekuasaan dan berpikir bisa menyelesaikan semua menggunakan uang. Aku sungguh benci cara seperti itu.

Tapi, sekarang, keluargaku sudah musnah. Aku tak tahu apakah ibu dan ayah masih ada, tapi, yang bisa kusimpulkan sekarang, aku hanya punya orang ini.

"Kau tidak akan mengkhianatiku, 'kan?" celetukku tiba-tiba.

Ia spontan menggeleng. "Tidak sama sekali."

"Kenapa?" tanyaku, memancingnya.

"Karena aku menyayangimu."

"Kenapa kau menyayangiku?" Aku menunggu jawabannya. Tapi, yang ada, ia malah tersenyum. Senyumnya aneh. Bukan senyum mengerikan, bukan pula senyum mesum. Aneh. Hanya aneh.

"Itu privasi."

Aku manggut-manggut. "Terserahlah."

Aku merasa janggal. Seolah setelah semua ini, akan ada bahaya yang menanti. Namun, dasarnya aku yang memiliki prinsip; berprasangka buruk adalah caraku bertahan hidup, aku tidak memercayainya. Maksudku, tak mungkin ada orang yang membantu orang lain dengan sukarela. Hal itu terlalu mustahil, kau tahu?

Bukan itu tak terjadi di hidupku. Sudah banyak aku alami kebaikan dari jutaan orang baik di bumi, dan aku mensyukurinya. Kita harus bersyukur di segala situasi dan kondisi, bukan?

Walau, aku heran.

Aku sudah sampai berpikiran seperti itu, tidakkah Tuhan akan memberikan sedikit belas kasih untukku?

Berharap adalah hal yang mustahil.

Benar. Bodoh sekali aku berharap.

"Maitimo, kau harus berjanji untuk tidak mengkhianatiku." Aku mengacungkan jari kelingking padanya, memintanya melakukan hal yang sana.

"Janji saja tidak bisa mencegah manusia dari mengingkari." Meski begitu, kami tetap berjanji menggunakan hal kekanakan seperti itu. Aku tertawa.

"Itu bukan urusanku. Kau sudah berjanji padaku. Sisanya, itu urusan Tuhan," ucapku. Aku kembali berbaring. "Biar Tuhan melakukan bagian-Nya, aku juga akan melakukan bagianku."

Kekehannya adalah hal terakhir yang aku dengar saat sebelum terlelap.

Lalu, entah bagaimana, kami sudah berada di situasi ini.

"Yang Mulia memang berkata seperti itu."

Aku membuka mata, berdecak kesal. Mengapa Tuhan harus menunjukkan kepadaku suasana penuh kebahagiaan tadi? Apa tujuan-Nya? Membuatku bermotivasi kemudian bisa membunuh mereka semua? Oh, tidak-tidak, selamanya itu hanya bisa menjadi mimpi.

Tapi ... bukankah, selamanya menurut hidupku sudah tak lama lagi?

Benar. Aku hampir mati.

Selamanya itu berbeda menurut tiap-tiap orang. Bukankah selamanya itu sepanjang hidup mereka? Bagi sebagian orang, selamanya bisa delapan tahun. Bagi sebagian orang lainnya, selamanya bisa delapan bulan. Bagi sebagian orang lain, selamanya bisa delapan minggu. Berlanjut sampai selamanya bagi mereka hanyalah delapan detik.

Aku termasuk golongan terakhir.

Maka, dengan tak tanggung-tanggung, aku menyerang lagi. Aku tak peduli ini akan berakhir ke mana. Aku hanya ingin tidak menyesal karena tidak mengerahkan seluruh tenaga. Walau berakhir mengenaskan, tidak apa. Setidaknya, aku masih berani mencoba.

Jika ini adalah akhirku, tidak apa. Aku sudah lebih dari siap.

"Let me take your hand ... I'll make it right,"

[Biarkan aku mengambil tanganmu ... aku akan menyatakannya.]

Lantunan lagu tersebut langsung berputar di kepalaku. Aku bilang aku harus mati. Tapi, kenapa rasanya berat sekali?

"I swear to love ... you all my life."

[Aku bersumpah pada cinta ... kau adalah hidupku seluruhnya.]

Kukira ini akan berakhir di sini. Tongkat tak lagi kupegang, telapak tangan pun masih terluka akibat dagger yang tiba-tiba menyerang tadi. Aish, menyebalkan. Jemariku mati rasa.

"Hold on I still need you."

[Bertahanlah aku masih membutuhkanmu.]

Mataku melebar.

Bagaimana mungkin ia berharap aku bertahan sementara ia yang mengirim pasukan ini untuk kami?

"Biar kutanya satu hal lagi ... siapa Tuan kalian?"

Salah satu dari mereka yang kepalanya penuh goresan hendak menjawab, tapi, aku lebih dulu menggertaknya. "Aku bisa tahu jika kalian berbohong!"

Aku sudah menumbangkan enam. Masih sisa empat belas lagi. Energiku sudah sepenuhnya habis. Tapi, lagi-lagi, di saat aku berpikir ini adalah akhir, seseorang menepuk bahuku dari belakang.

"Terima kasih atas uluran waktunya, Tuan Putri."

Aku tersenyum miring, melangkah mundur. Ia berganti posisi denganku menyerang mereka, sementara aku mencoba memanggil bala bantuan. Ia belum istirahat dengan baik.

"Apa yang bisa kami bantu?"

"Coco?"

"Ya, Nyonya?"

Aku menggeleng meski tahu ia tak bisa melihatnya. "Tolong sambungkan ini pada kepala pelayan." Aku menengok pertarungan mereka yang membabi buta. "Cepat."

Ia tak menjawabku lagi. Tapi, aku tahu ia sedang berlari. Aku menyimpan kontak pelayan tersebut dengan dugaan suatu saat akan berguna, dan, ya, memang begitu. Ini ponselku, omong-omong. Ponsel yang dibantingnya beberapa hari lalu bukan ponsel utamaku.

"Boleh saya bertanya masalahnya, Nyonya? Jika Anda tak keberatan."

Aku tak tahu bagaimana bahasanya. Aku asal menjawab, "Kepala pelayan, kami sedang berada di situasi sangat berbahaya. Ada beberapa preman bayaran yang menghalangi jalan kami, dan Tuan sedang menangani sisanya. Bisa kepala pelayan mengirim sesuatu—atau seseorang, untuk membantu kami?" jelasku panjang lebar.

Hening sesaat.

"Baik, Nyonya! Saya akan mengirimkan secepatnya!"

"Tu-tunggu, aku belum mengirim lokasinya."

"Kami bisa melacak ponsel Anda, Nyonya. Jika Anda tak keberatan."

Aku mengangguk. "Baiklah. Tidak masalah."

Aku menutup panggilan dan melemparnya ke jok mobil. Aku meregangkan leherku, mengambil tongkat yang meski nyaris patah—masih akan kugunakan.

"Maitimo, kau tidak berniat menghabiskan semua hidangan ini sendiri, 'kan?" tanyaku, berjalan ke arahnya.

Ia terkekeh, membanting tubuh salah seorang dari mereka ke hadapanku. Aku berjongkok, menusuk lehernya. Ia melanjutkan penyerangan lagi. Aku hampir gila melihat semua darah ini.

Kurasa pertarungan kami setelah aku menelpon hanya berjarak sepuluh menit, namun, ada helikopter melintas di atas kami.

Aku mendongak, tatap fitur tak asing dari orang yang akan melompat dari sana—tanpa pengaman. Astaga, mustahil!

"Kau bilang itu mustahil, Tuan Putri?"

Orang itu mendarat di tanah dengan selamat. Helikopternya pergi begitu saja.

"Aku sudah bertarung seperti ini bahkan sebelum usiaku menginjak sepuluh."

Mayu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro