vii. cerita [b]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

TW : harsh words, angst, blood, violence, selfharm.

do not read any further of this if you are triggered by that.

















"Eru?"

Yang Satu; nama dari Tuhan.

"Ya? Siapa itu?" Aku tersenyum, menatapnya polos.

Ia terkekeh. "Tidak, tidak. Aku hanya merasa itu cocok denganmu. Kau suka nama itu?"

"Karena sebelumnya aku tidak memiliki nama, aku senang-senang saja!" ucapku riang, menunjukkan deretan gigi. Aku ulang tahun yang ke-empat belas kali ini. Tanggal delapan, bulan Februari. Ia memberikanku sebuah nama.

"Aku serius. Kau akan menggunakan nama itu seumur hidupmu."

"Bukan nama yang buruk! Aku suka itu," balasku. Kami sedang bermain sebuah gim di layar televisi bersama. Ia membolehkanku karena katanya ini hari spesial. Padahal, tidak ada yang spesial di hari ulang tahunku.

"Omong-omong, Kak, aku rindu ibu."

Ia terdiam. Aku tidak tahu masalahnya, maka aku melanjutkan ucapanku.

"Hanya rindu saja, kok. Aku tidak meminta bertemu ibu. Kakak, 'kan, yang telah membantuku selama ini." Aku mengerutkan kening, berlagak berpikir keras. "Lagipula, aku merasakan suatu bahaya jika aku mengunjungi ibu."

"Apa itu?"

Aku mengedikkan bahu. "Entahlah. Bagaimana aku seharusnya tahu?"

Ia tertawa.

"Kau selalu menjadi lucu, ya?"

Aku bertingkah seperti santa. "Ho ho ho, aku memang lucu sejak kecil. Ibu, pun, seringkali memuji lawakanku. Walau, aku tidak tahu, darimananya itu lucu?"

Iya, darimana itu lucu?

"Tolonglah, meleth nín. Jangan kerapkali memasang wajah seperti itu. Nanti cepat tua, loh?"

Aku tidak menjawab. Aku hanya memandangi danau di depan dengan tatapan kosong. Rasanya hampa. Ada sesuatu yang janggal. Sesuatu yang tak lagi melengkapiku.

"Mama, Mama, lihat! Aku bisa bermain ukulele lebih ahli!"

Ukulele.

Alat musik yang dulu selalu kubawa-bawa untuk mengamen. Wajah rupawanku sewaktu kecil dan rambut putih selalu menjadi ciri khas gadis kecil bernama tiga huruf. Tak bisa lagi kubedakan mana yang merupakan nyata dan mana yang merupakan khayal. Semuanya terlalu rumit untuk sekadar dimengerti. Aku harus apa?

"Kau sekarang menyukai ukulele, hm?" Aku mengusap-usap surainya yang berwarna sama sepertiku.

"Benar, Mama! Entah bagaimana aku mulai menyukainya." Anak itu bersenandung dan memetik senarnya, membuatku tertawa.

"Kau dapat ukulele itu dari mana?"

Alis anak itu bertaut. Gawat, apa aku melakukan kesalahan?

"Ini hadiah ulang tahun dari Papa! Mama melupakannya?"

Aku mengerjap.

Benar. Ini bulan Agustus, tanggal sebelas. Sehari yang lalu adalah hari di mana ia datang ke dunia melaluiku. Aku melupakannya total. Pikiranku terlalu fokus akan apa yang terjadi satu tahun lalu dan bagaimana nasib ibu. Aku tidak pernah betul-betul mengetahuinya. Bertanya, pun, aku sungkan. Bisa saja tiba-tiba ia ikut membunuh anakku seperti yang ia lakukan pada suamiku dulu?

"Mama lupa. Maaf, Mama terlalu memikirkan hal lain." Aku terkekeh, mencoba mendistraksi anak itu memakai ucapan yang barusan kulontarkan.

"Dan, apa hal lain itu, Mama?"

Aku memandang langit. "Seseorang ... di masa lalu ... dan nenek."

Ia berdeham. Aku tidak peduli.

"Yah, pokoknya, sekarang kita di sini. Bahagia. Apakah kau bahagia, sayang?"

"Mama, namaku Findekano!" Ia menggerutu tiap kali aku memanggilnya 'sayang'. Padahal, menurutku, tidak ada yang salah dari itu? Apa yang salah dari memanggil 'sayang' untuk anakmu sendiri? Tidak ada, 'kan?

"Ah, dan, iya. Aku bahagia! Bersama kalian!"

Anak itu terkikik senang. Melihatnya, hatiku tenang. Tak pernah kusangka memiliki anak akan semenyenangkan ini. Minus ayahnya, omong-omong.

"Kau masih tak ingin terbuka padaku?"

"Dan kenapa aku harus terbuka padamu? Setelah semua yang kau lakukan dan semua yang kau katakan?" Aku menjawab ketus, memalingkan muka, lebih memilih menatap pohon-pohon bakau di tepi danau.

"Itu sudah setahun yang lalu, meleth nín." Ia membalas kalem. Darahku mendidih.

Setahun lalu ... katanya? Bagiku, itu semua terasa seperti kemarin! Aku yang belanja bersama mereka dan bermain di wahana, berniat mengunjungi ibu, dan kemudian semuanya tiba-tiba saja menjadi seperti ini! Apa itu salahku? Ya, dengan jelas aku mengatakan itu semua salahku! Kalau aku tak merengek—tidak, tidak, kalau dari awal aku tak bertemu dengannya, ia tak perlu mati!

"Perlu kuulang semua yang kau lakukan dan katakan?" Dingin aku bertanya. Tak lagi aku sakit. Aku sudah mati rasa.

"Maafkan aku, ayolah."

Aku berdecih. Apa yang pernah maaf lakukan untuk memperbaiki sebuah tragedi? Tidak ada. Membuat hati lapang, katanya. Tidak memaafkan itu dosa, katanya. Oh, oh. Aku ingin tertawa terbahak-bahak sampai tenggorokanku terlampau perih dan tak perlu lagi kubicara.

"Tidak. Tidak sampai kau membawanya kembali."

Aku tahu, itu hal yang mustahil. Sama mustahilnya dengan aku memaafkan. Bukan berarti aku manusia tanpa belas kasih, ibu mengajariku untuk selalu memaafkan. Aku yang terlalu keras kepala. Lagipula, menurutku, itu wajar saja. Siapa yang bisa memaafkan orang yang menghapus seluruh keluarganya? Tidak ada.

"Itu mustahil."

Aku mendengkus, tersenyum meremehkan. "Begitu juga dengan aku memaafkanmu."

"Kesempatan itu tak akan pernah datang ... ya?"

Aku menatapnya.

"Kesempatan di mana kau mencintaiku lagi ... seperti dulu."

Huh. Memangnya, siapa yang membuat ini terjadi? Keluargaku? Dan aku harus menanggung dosa-dosa mereka? Kuakui, aku takkan terima apabila mereka diperlakukan seperti itu. Kuakan membasmi orang-orang yang menyakiti keluarga sampai ke akar-akarnya, biar tak perlulah dendam ini berlanjut.

Kesempatan itu tak pernah akan datang.

"Kau bodoh."

Aku beranjak dari kursi dan memasuki rumah, emosiku campur aduk. Tak tahu aku harus apa, antara bahagia atau nestapa? Sibukkan hilir mudik bersama mereka-mereka yang mendengar musik.

Musik kesukaanku masih Shougeki.

Selalu dan akan selamanya begitu.

.

.

.

"Itu bayinya! Itu bayinya!"

Ia berteriak antusias, membuatku tersenyum. Tubuhku memang masih lelah akibat persalinan tadi, tapi, melihat wajah anakku secara dekat seperti ini menyenangkanku.

Maksudku, lihatlah pipinya yang bagai bakpao itu. Merah pir dan bibirnya mungil. Bulu matanya berwarna putih, tidak sepertiku yang berwarna hitam. Tetapi, rambut kami sama. Hidungnya mancung seperti ayahnya. Kulitnya halus selembut sutra. Oh, astaga, adakah surga dunia selain pemandangan ini yang bukan fana?

"B-bolehkah aku menyentuhnya?"

Aku menggeleng. "Bayinya masih terlalu sensitif. Coba tanyakan suster?"

"Boleh, kok, Kak. Itu bayinya sudah dilapisi kain. Terlebih, tadi sudah dibersihkan. Asal Kakak tidak lupa mencuci tangan saja." Suster itu berdiri di sebelah boks bayi, mencatat keadaannya. Mendongak, tatapannya bertemu denganku. "Bayi ini juga membutuhkan ASI. Akan baik apabila Kakak menaruh bayinya di atas tubuh Kakak, supaya bayi tersebut dapat mencari sumbernya sendiri."

Aku mengangguk. "Baik. Terima kasih, Suster."

Walau suster itu memakai masker, aku bisa tahu jika ia sedang tersenyum. "Sudah kewajiban saya, Kak. Saya datang untuk membawa bayinya ke ruang perinatologi. Sudah dijelaskan pula sebelum operasi tadi."

"Apa harus sampai dibawa ke NICU?"

Suster itu mengangguk dengan ragu. "Saya rasa, iya. Saya kurang mengerti, tapi, tadi, Kakak sendiri tidak mendengar bayinya menangis, bukan? Dokter obgin sehabis ini akan memberi tahu Kakak kelanjutannya. Saya pamit undur diri."

Suster itu menghilang bersama anakku di balik pintu kamar. Aku menatapnya dengan khawatir. "Tidak ada masalah, 'kan? Aku kurang fokus sehingga tidak menyadari bahwa bayinya tak menangis."

Ia menggeleng. "Aku cukup tahu tentang ini. Tapi, kurasa, lebih baik dokter yang menjelaskannya."

Aku memegangi perut yang tidak menggembung lagi. Betapa bahagianya aku, mendapatkannya. Tapi ... tapi, jika ada masalah, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri.

Hampir setengah jam berlalu saat ada ketukan di pintu.

"Permisi, dengan nama pasien ...."

Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaannya. Dokter obgin tersebut terihat awet muda dan cantik, seperti pancarkan aura yang tak pernah kulihat sebelumnya. Uh, uh, mataku silau.

Dokter itu memperkenalkan dirinya sambil bolak-balik memperhatikan infusku. Ia juga selalu membenarkan kacamatanya agar tidak jatuh. Ia berdeham.

"Apa saat kehamilan, Anda menderita diabetes gestasional?"

Aku tidak mengerti. Suamiku yang menjawabnya. "Benar. Istri saya menjalani TTGO awal dan lanjutan, dan didiagnosa menderita diabetes gestasional. Namun, kadar gula darahnya sudah kembali normal beberapa minggu sebelum persalinan. Pemeriksaan rutin dan pengobatan lainnya juga sudah dilakukan."

Ah, benar. Setelah bulan Juni, dokter pribadinya lebih sering mengunjungi kabin kami. Bisa empat hari atau lima hari dalam seminggu. Dokter tersebut bilang, suamiku terlalu khawatir. Agaknya, memang begitu. Karena aku dilarang melakukan apa-apa yang kemungkinan dapat menyebabkan lelah. Aku juga meminum vitamin dengan tidak berlebihan.

"Apa cara tersebut berhasil? Maksud saya, apa istri Anda tidak diberi metformin?"

"Metformin?" Ia tampak mengingat-ingat. "Um, benar. Apa ada yang salah dengan itu? Istri saya mengonsumsinya secara rutin."

"Istri Anda menderita hipoglikemia, begitu juga dengan bayinya. Tapi, itu bukan penyakit yang berbahaya. Hanya perlu dikontrol saja."

Hipoglikemia? Apa itu?

Apa itu penyebab tanganku sering tremor mendadak? Apa itu penyebab kepalaku sering pusing luar biasa? Apa itu penyebab tubuhku mudah lelah dan matah? Apa itu penyebab jantungku sering berdebar tak karuan? Apa itu penyebab aku sering berkeringat dingin?

Pertanyaanku tidak terjawab.

"Sejak kapan istri saya menderita hipoglikemia?"

Dokter tersebut mengusap dagunya. "Melalui sampel darah yang sebelumnya diambil ... saya rasa sudah cukup lama. Beruntung itu tidak menyebabkan masalah yang serius."

"Jika dibiarkan, istri Anda mungkin dapat mengalami gangguan penglihatan, begitu pula dengan bayinya. Saya menyarankan Anda untuk cek ke dokter secara berkala, supaya masalah serius tersebut tidak terjadi. Entah bagaimana istri Anda masih mengondisikan diri untuk selamat," lanjutnya. Dokter itu menghela napas.

"Apa Anda sering mengonsumsi camilan sebelum tidur?"

Aku mengangguk. "Apa masalahnya berkaitan dengan itu?"

Dokter tersebut menggeleng, mengecek cairan infusku sekali lagi. Apa ada yang salah dengan cairan infusnya? Dokter ini sedari tadi selalu memperhatikannya. "Tidak, tidak. Teruskan seperti itu. Kadar gula darah Anda sangat rendah, dianjurkan untuk mengonsumsi camilan berat atau permen manis ketika kadar gula darah Anda menurun."

"Saya pamit terlebih dahulu. Ada masalah dengan infusnya. Saya akan panggilkan suster."

Dokter tersebut berlalu. Aku membuang napas yang tak kusadari sejak tadi kutahan akibat terlampau gugup.

Tak sampai lima menit hingga pintu kembali diketuk. Ia mempersilakan masuk.

"Coco ... ?"

Pelayan itu. Pelayan di rumahnya. Rumah suamiku, bukan rumahnya. Ia tampak ketakutan dan bingung untuk mengerti apa yang sedang terjadi.

"N-nyonya!" Ia berlari ke arahku, memakai seragam perawat. Hah?

"I-ia di sini! Kekasih Nona Mayu! Ia menyuruh saya untuk mencari kamar Nyonya! K-karena saya terlalu takut, s-saya menurut. Saya mohon, N-nyonya, tolong bunuh saya!" Gadis itu terisak.

Aku terdiam. Ia terdiam. Ruangan hening.

"Infus itu ...." Aku berkata pelan.

Tubuh suamiku menegang. Gadis itu mendongak cepat. "Ia—ia mengatakan sesuatu tentang infus! S-sejak awal, ia hanya m-mempermainkan saya?! Oh, Nyonya, tolong bunuh saya!"

Aku menggeleng. Tidak tega, aku mengusap-usap kepalanya. Tubuhku masih luar biasa sakit untuk sekadar berdiri. Jadi, tak mungkin kami bisa lari. Aku menoleh ke arahnya, memberi sinyal.

"Apa kau bisa melakukan sesuatu?"

"Mayu berada di sisinya," gumamnya. "Aku akan menelepon kepala pelayan untuk mengirimkan penjaga. Atau, bila perlu, kepala pelayan itu sendiri." Ia bergerak memberi perintah melalui ponsel dengan cepat kepada para bawahannya.

"Seberapa cepat mereka akan sampai?" Gadis itu menggertaknya. Suamiku bingung. "Seberapa cepat mereka akan sampai?! Lelaki itu sudah berada di sini!"

Apa ia memang menyebabkan trauma seperti itu?

Kenapa Mayu berkhianat, tak kutahu. Mungkin karena ia merasa aku tak pantas dimaafkan bahkan setelah ia berkata ia memaafkanku karena membunuh saudarinya. Aku ... aku menghancurkan dua kakak-beradik. Apa yang kulakukan?

"Apa ... apa kau bisa melindungi bayinya?" tanyaku lirih. Ia menatapku, bertanya-tanya.

"Tentu saja! Apa yang kau katakan?"

"Apa kau bisa melindungi bayinya?" tanyaku lagi. Kali ini, lebih menekan. Sorot kami saling bertemu satu sama lain, sedangkan gadis pelayan itu masih gemetar dalam syok.

"Kau ... kau tidak bermaksud ...."

"Mungkin ini hanya menunda sementara. Tapi, bisa kau bawa kabur bayinya untukku?"

"Don't you ever dare to say such things!" Ia membentak. Aku terkesiap. Cara ini memang takkan berhasil, apalagi dengannya yang sangat keras kepala.

[Jangan kau pernah berani mengatakan hal seperti itu!]

"Tidak ada jalan lain ...."

Aku tertawa miris dalam hati. Seberapa lamanya kita menunda, kematianku pasti akan datang. Tuhan sudah berbaik hati memberi kebahagiaan padaku beberapa tahun terakhir ini, membuatku bersyukur.

"Apa pihak rumah sakit bisa memberikan bantuan?" Gadis itu berceletuk, giginya bertabrakan akibat terlalu gugup. Tangannya bergetar luar biasa dengan tatap tak percaya. "M-maksud saya ... bukankah rumah sakit ini juga berada di bawah naungan Anda?"

Serius pertarungan ini harus dilakukan di rumah sakit?

"Kenapa lelaki itu ada di sini?"

"Tentu saja ... karena Nyonya!" Gadis itu menghela lalu membuang napas, melakukannya berkali-kali. "Saya hendak menuju bagian administrasi secara diam-diam, tapi, ia mendahului saya dan mengancam saya."

"Bagaimana kami bisa tahu kalau kau bukan jebakan?"

Aku mendelik, gadis itu terkejut. Cara berpikir yang rasional ... yang sungguh buatku tak habis pikir.

"S-saya rela menggores kulit saya jika itu artinya saya dapat membuktikan kesetiaan saya!" Gadis itu mengambil sebuah pisau bedah yang entah dari mana ia dapat melalui saku roknya, memegangnya erat.

"Ukir nama istriku."

"Hei!" Aku menarik bahu suamiku. Ia sudah keterlaluan.

Tak tahunya, gadis itu benar-benar melakukannya. Mengukir namaku di tangan pucatnya. Tiga huruf yang membentuk namaku ada di sana. Darah berjatuhan di lantai, tetapi, ia tak memekik maupun mengaduh. Ia menatap kami dengan tekad yang kuat.

"Bagus." Suamiku tersenyum miring, menengadahkan telapaknya; meminta pisau bedah itu.

Aku tak habis pikir. Bagaimana bisa adegan penuh darah itu kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri? Terlalu mengerikan, tak tertahankan, dan kalau bisa kukatakan hal-hal negatif lainnya yang mengikut.

"Sekarang, kau lari ke lantai dasar. Di sana, ada koordinator keamanan. Bilang saja namaku dan apa yang kita butuhkan. Itu akan datang secepatnya."

"Baik!" Gadis itu bersiap hendak berlari, tapi, suara suamiku mencegahnya.

"Tanpa bertemu ia."

Gadis itu mengulang, "Tanpa bertemu kekasih Nona Mayu."

"Sama sekali."

"Tanpa bertemu kekasih Nona Mayu sama sekali."

Oh, Tuhan, suasana ini sungguh intens.

8 Februari 2030.

"Selamat ulang tahun!"

Air mataku jatuh.

Aku terkesiap, melihat keadaan sekitar. Ada anakku dan ia yang membawa sebuah kafe serta kotak berlapiskan hiasan. Ini tanggal ... delapan Februari. Sudah berapa lama berlalu sejak kejadian itu?

"Mama? Apa Mama tidak apa-apa?"

Aku mengusap likuid bening tersebut. "Tidak, sayang. Kenapa bertanya begitu?"

"Sebab Mama menangis! Dan Mama memisah tidur dari kami!"

"Mama memisah tidur dari kalian?" Memoriku melayang pada malam di mana aku menolak tidur bersama mereka dan memilih di kamar tamu. Kamar tamu yang tak pernah digunakan karena ... tidak pernah ada tamu. "Ah, benar."

"Mama bertanya sendiri, menjawab sendiri." Alis anakku bertaut, kemudian terkekeh.

"Benar kata Papa! Mama memang seseorang yang lucu."

Lucu, lucu, lucu.

Hidupku juga lucu. Bagaimana dengan itu?

Tak bisa kulupakan malam di mana aku merasa benar-benar diperhatikan, benar-benar layak di dunia, benar-benar disayangi dan dicintai olehnya. Namun ... semua itu, harus terenggut karena keegoisanku yang tak memilih mati. Andaisaja ... andaikata ... waktu itu, aku tidak menjawab 'ya', mungkin ia masih hidup hingga kini.

Andai, andai, andai.

Andai yang tak pernah terjadi. Hanya beralih pada kemungkinan fisik tragedi, yang menjelma berupa fiksi. Oh, oh, oh. Sanggupkah aku berkata tanpa mempedulikan lalu-lalu yang agaknya tak ia peduli?

Berganti-ganti oleh sebuah mega yang mencabar mendungnya lini.

"Ini rasa apa?" tanyaku berusaha cipta gelak tawa. "Buatan siapa?" Aku mencipta krimnya; terlalu manis.

"Kau menderita hipoglikemia, 'kan? Aku naikkan sedikit gulanya, supaya kadar gula darahmu meninggi. Aku khawatir ketika tadi kucek, itu dibawah tujuh puluh."

Aku terpaku. Apa ... bagaimana ia tahu soal itu?

"Apa itu hipoglikemia, Papa? Apa itu penyakit yang serius? Mama akan baik-baik saja, bukan? Apa aku menderita itu juga?" Beruntun anakku bertanya, layangkan penasaran pada sosok yang disebut 'papa'.

"Pertama, itu agak rumit untuk dijelaskan. Kedua, itu tidak. Ketiga, Mama akan baik-baik saja. Keempat, iya, kau menderita itu juga. Maka dari itu, kalian berdua harus memakan yang manis-manis atau mengonsumsi camilan berat sebelum tidur."

Anak itu mengangguk-angguk. "Papa berbicara seperti dokter!"

Ia tertawa, mengusak-usak rambut putihnya.

"Tentu saja. Papa keren, 'kan?"

Anakku terkikik riang.

"Mama, kuenya enak, tidak?"

Aku mengangguk pelan. "Iya ... enak. Rasa vanilla ... ya?"

"Betul! Bukankah itu kesukaan Mama? Papa bilang Mama sangat menyukai rasa vanilla sehingga tiap hari meminum susu vanilla. Apa aku benar, Mama?" Anak itu aktif sekali.

"Benar," ujarku pelan.

Ia menatap mataku.

"It has always been you favorite, right?"

[Itu selalu menjadi favoritmu, bukan?]

Paralel sialan ini.

Kenapa pula ... aku harus mengalaminya?

Apa salahku? Apa salahku? Apa salahku?

Mau kuulang berapa kalipun, takkan ada jawabannya. Sebab seperti yang kukatakan sebelum-sebelumnya, ada beberapa pertanyaan yang tak memiliki jawaban dan yang ini pula. Aku ... aku ingin menuntaskan semuanya.

Ia sudah melakukannya.

Maksudku ... benar-benar menuntaskannya.

Kalau begitu, apa bayangan masa depan yang kulihat? Tentang ayah dari anakku yang katanya pernah kusumpahi? Tentang ayah dari anakku yang katanya menyebalkan? Tentang perpisahan kami? Tentang ibu yang masih hidup? Tentang ... nya?

Apa itu ... hanyalah halusinasi?

Aku tidak terima. Aku tidak terima.

Aku ingin itu menjadi nyata. Bisakah? Jika aku rutin pergi ke gereja lagi dan meminta pada Tuhan, mungkin semua ini bisa kembali. Semua ... semua yang menyangkutnya baik aku maupun ia. Keluargaku, aristokrat, dendam, pembalasan, semua itu tak perlu terjadi.

Kenapa ... kenapa ini harus ditimpakan kepadaku?

Bolehkah aku menangis? Tapi, hatiku tak kuasa lagi. Hatiku sudah lelah dicabik berkali-kali. Tanpa wajah dan meskipun begitu memakai kata, meluka hingga tak henti-henti. Sering aku terisak, nihil air mata yang keluar. Tak pernah aku merasa putus asa seperti ini. Bahkan saat aku terluntang-lantung di jalan, merasa tak punya tempat pulang, aku masih punya harapan bahwa ibu menungguku.

Tapi ... jika aku berharap seperti itu ... bukankah itu sama seperti ibu menungguku untuk mati?

Aku yakin beliau tidak begitu.

"Cukup," kataku. "Cukup, hentikan. Aku sudah tidak kuat." Aku mulai terisak. Anakku menatapku dengan tatap khawatir diguratkan di wajah.

"Mama kenapa? Ada yang sakit? Apa Mama perlu ke rumah sakit? Mama perlu obat? Apa maksud Mama tidak kuat? Mama—,"

"Diam!" bentakku kelepasan. Aku menutup telingaku dan tetap menangis kering, tenggorokanku serak. "Diam, diam. Tolong diam! Kumohon, biarkan aku tenang! Biarkan aku tenang ... kumohon diam!"

Aku berteriak sekencangnya, tertawa seperti orang gila. Aku tidak bisa menahan perasaan ini, perasaan yang meronta-ronta tatkala aku tak lepaskan sesak dalam dada. Aku ... aku ingin mati. Aku ingin mati.

"Mama ...."

"Apa kau tidak dengar apa yang baru saja kukatakan?! Keluar! Keluar! Keluar!" teriakku kalap. Aku melempari mereka dengan barang-barang terdekat yang bisa aku ambil.

Sigap ia memeluk anakku dan melindunginya dari vas yang kulambungkan, mengenai kepalanya. Aku tidak menyesal. Anak itu menggulir keluar dari pelukannya dan terjatuh dari ranjang. Aku tidak memedulikannya. Yang kuinginkan sekarang hanya melenyapkan sumber dari penderitaanku.

Aku menindihnya dan hendak menghunusnya dengan pecahan kaca yang kupegang erat-erat, menggores telapak tanganku. Itu ketika aku tidak mendengar suara anakku memanggil.

"Mama ...."

Aku tersadar, menjatuhkan pecahan kaca yang kupegang. Aku menjauhkan diriku darinya, bergerak menyentuh darah yang menetes di seprai putih itu.

"Apa yang sudah ... kulakukan?"

Aku mengerjap. Tergesa-gesa aku mendekatinya yang tak sadarkan diri. Ada sedikit pecah belah yang menancap di dahi kanannya, membuatku hampir menjerit.

"Panggilkan dokter!"

Anak itu terpaku. " ... Ya?"

"Panggilkan dokter! Cepat!" ulangku, lebih menekan kali ini.

"B-baik, Mama!" Anak itu berlari dari kamar dan menghilang dari pandanganku. Aku menyingkirkan kepingan beling tadi dari ranjang, menggores ujung jariku.

Aku mengaduh. "Tenanglah, tenanglah. Semuanya akan menjadi baik-baik saja. Tidak apa."

Aku melangkahkan kakiku menuju kotak kesehatan di ujung kamar, mengaduh kedua kalinya ketika dapati kakiku sakit luar biasa. Sudahlah, aku tidak peduli. Serpihan itu tak dapat menyakitiku lagi.

"Semuanya akan menjadi baik-baik saja."

Aku terus mengulangnya, kata demi kata yang dulu pernah ia ucapkan.

Memangnya, aku punya hak untuk mengatakan bahwa aku bahagia?

Aku membersihkan darah yang keluar dari dahinya menggunakan kasa, menyekanya terus menerus. Hati-hati kuambil beling yang tertancap itu, membuangnya di tempat yang telah kusediakan.

Aku terkekeh. "Semuanya akan menjadi baik-baik saja."

Berapa kali aku harus berkata seperti itu supaya aku bisa tenang?

Karena nyatanya, semua tidak juga menjadi baik-baik saja.

.

.

.

"Ia baik-baik saja, sudah dijahit dan lukanya tidak begitu serius." Dokter itu berkata, dokter yang bisa menjelma menjadi dokter apa saja. "Sebisa mungkin hindarkan kepala dari terkena air, itu akan membuat lukanya infeksi. Ganti perbannya selama sehari duakali."

Aku mengangguk. "Apa ada yang bisa saya lakukan lagi, Dokter?"

"Saya tidak akan bertanya ada apa, karena itu masalah pribadi kalian. Tapi, apabila kejadian seperti ini terjadi lagi, tolong jangan libatkan anak itu."

Aku menggigit bibir, memilin jari-jari.

"Baik, Dokter."

"Saya permisi dulu."

"Saya antar—,"

"Tidak perlu, temani saja anak itu."

Aku mengangguk lagi.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyaku dingin. Rasa bersalah yang biasa mengalir di pembuluh tak lagi ada, terganti oleh rasa penyesalan luar biasa yang dapat membuatku muntah.

"Baik. Papa menyelamatkanku."

Aku mengernyit. "Ia bukan papamu!"

"Apa maksud Mama?" Anak itu mendongak. "Papa adalah papaku."

"Ia bukan papamu!" ulangku. Mataku berkilat marah. Aku jadi mudah tersulut emosi akhir-akhir ini. Aku jadi sensitif, menyebalkan, dan egois. Aku bukan diriku yang dulu. Aku adalah pribadi baru yang tak tahu malu.

"Mama ... kenapa Mama seperti ini? Ada yang menyakiti Mama? Siapa?" Anak itu mulai menangis, ia merengek.

"Papamu!" Aku menyudutkannya. "Orang yang kau panggil 'papa' itu yang menyakitiku!"

Aku jatuh terduduk, tangan memegangi dada. "Tidak tahukah kau bahwa aku hampir mati karenanya? Tidak tahukah kau bahwa ia menyakitiku terlalu dalam hingga titik aku tak bisa merasa sakit lagi? Tidak tahukah kau, ia selama ini ... hidup dengan seluruh kebohongan yang ia buat sendiri?"

Suasana hening untuk beberapa saat. "A-aku ... aku tidak mengerti apa yang Mama katakan," ucapnya.

Aku mendengkus. "You don't have to, anyway."

[Kau tak perlu tahu, lagipula.]

"Stop being so rude to our child."

[Berhenti menjadi begitu kasar kepada anak kita.]

Mataku melebar. Anak kita? Anaknya? I would like to fucking hear it from him, not from that insufferable shitty bastard!

[Aku akan suka mendengarnya darinya, bukan dari bajingan brengsek yang tak tertahankan itu!]

"Our child? OUR?" Aku berkata tepat di depan mukanya, telunjukku mendorong-dorong dadanya. "Behave me, you jerk! Not those words being spoken by your damn mouth!"

[Anak kita? KITA?] [Bersikaplah padaku, kau brengsek! Bukan kata-kata itu yang diucapkan oleh mulut sialanmu!]

"Language, sweetheart."

[Jaga kata-katamu, Sayang.]

Aku memutar bola mata. "Do I look like I care? Guess what, you jerk? I can kill myself now and you won't be able to hold me nor do you can convince me to forgive you!"

[Apakah aku terlihat peduli? Tebak sesuatu, brengsek? Aku bisa membunuh diriku sekarang dan kau tak akan bisa menahanku maupun kau bisa meyakinkanku untuk memaafkanku!]

"Attitude!"

[Sikapmu!]

Ia menggertak. Aku mengepalkan tangan. "Attitude, your ass! You know me so well that you understand, this is because of you! You made me do this! You make me look like I'm the bad one when really, I'm not!"

[Sikapku, katamu! Kau mengetahuiku sangat baik hingga kau paham, ini semua karenamu! Kau membuatku melakukan ini! Kau membuatku terlihat seperti aku adalah yang jahat ketika pada kenyataannya aku tidak!]

"Stop."

[Berhenti.]

Aku bergerak mundur dan bersandar pada dinding, menyilangkan lenganku. Tak aku tundukkan kepala karena aku merasa benar. Aku memang benar. Balas dendamnya lebih menyakitkan daripada aku dibunuh dan langsung ke atas sana. Balas dendamnya lebih menyakitkan, sangat menyakitkan sampai aku tak bisa merasa sakit lagi.

Tapi ... aku lupa.

Hidup itu memiliki banyak sudut pandang, bukan? Dan, aku, aku bersikeras merasa aku benar.

Walau ... setelah semua yang terjadi, aku tetap tak boleh egois?

"Or what?"

[Atau apa?]

Aku tidak peduli. Pikiranku kosong. Aku tidak peduli selain meluapkan segala emosi, berharap aku akan mati. Walau, selanjutnya, lagi-lagi Tuhan tak membiarkan; aku harus apa?

"You'll sleep next to me this night. Our child will be in the guest room."

[Kau akan tidur di sampingku malam ini. Anak kita akan berada di kamar tamu.]

"Is that a fucking order? And why are you so sure that I'll obey you, clown fuck?" Aku berdecih. "And it is 'mine', not ours!"

[Apa itu sebuah perintah? Dan kenapa kau sangat yakin bahwa aku akan mematuhimu, dasar badut?] [Dan itu adalah 'milikku', bukan kita!]

Ia mengabaikanku. Ia beralih ke anakku yang berdiri ketakutan, tangannya gemetar. Ia membawanya menuju arah kamar tamu dan kembali sendirian. Aku rasa ia menyamankannya dahulu karena ia kembali cukup lama ke sini.

Ia berjalan mendekatiku, sedikit menunduk. Senyum remeh terulas di sana. Perbedaan tinggi kami sangat signifikan sehingga aku harus mendongak untuk bertatap mata dengannya. Aku beruntung tinggiku bertambah dua puluh senti dalam beberapa tahun terakhir. Walau masih selisih tiga puluh senti: aku seratus enam puluh, ia seratus sembilan puluh.

Aku tak gentar. Untuk apa?

"You still have the audacity to towering me, huh?"

[Kau masih punya muka untuk berdiri di hadapanku seperti itu, huh?]

"I'm not going to hurt you. Get in the room, okay?" Ia bertanya dengan halus. Batinku yang telah tercampur negatif serta prinsip 'berprasangka buruk adalah caraku bertahan hidup' berteriak mengatakan bahwa itu hanyalah sebuah akting.

[Aku tidak akan menyakitimu. Masuk ke kamar, oke?]

"No." Aku menolak. "I'd be so ashamed if I sleep with the man who killed my husband."

[Tidak.] [Aku akan sangat malu apabila aku tidur dengan lelaki yang telah membunuh suamiku.]

Otakku menerima. Bukan tentang akal sehat, apalagi masa lalu. Organ itu hanya terlalu lelah dan tidak kuat lagi menerima beban bertubi-tubi.

Aku harus berdamai.

Ini sudah satu tahun.

Lepaskan dukamu.

Aku menggeleng. Bagaimana aku bisa? Aku sudah tak memilikinya, begitu pula dengan ibu. Aku juga kehilangan anakku sendiri meski tiap hari ia membangunkanku. Aku mulai kehilangan diri sendiri juga.

Apa yang harus kulakukan?

Aku menerima uluran tangannya dan berjalan dengan tenang, mengikutinya dari belakang. Ia membuka pintu kamarku ... pintu penuh kenangan yang tak mungkin bisa kulupakan. Masa di mana ia berdiri di pintu itu dan menawarkan susu vanilla, masa di mana ia mengamatiku menulis dan tidak ingin mengganggu ... aku rindu masa itu.

Bisakah aku kembali?

Tidak.

Apa yang harus kulakukan?

Kau hanya harus menganggapnya ia.

Aku terkekeh tiba-tiba, membuatnya terkejut. Kami duduk di sisi ranjang dan saling memunggungi. Ia sedang melepas kemejanya.

Kemeja.

Kemeja.

Aku juga rindu wangi kemejanya. Baju-bajunya tak lagi ada di sini saat aku terbangun waktu itu. Seperti sudah disingkirkan olehnya.

Aku bisa gila.

Kenapa aku selalu kehilangan sesuatu?

Entah itu Lina, entah itu Mayu, entah itu ia.

Kenapa, kenapa, kenapa?

"Karena sejatinya manusia memang tidak pernah memiliki apapun, meleth nín." Ia menarik selimutnya dan aku ikut berbaring, menatap langit-langit. Hatiku kebas. "Kau tidak kehilangan apapun jika kau tidak pernah memilikinya."

Ia membalikkan perkataanku.

Meski kau menghapus seluruh keluargaku ... aku tidak kehilangan apa-apa. Karena aku ... masih memiliki diri sendiri.

Ha ha. Aku tertawa.

Ia mendekapku, aku membiarkannya.

Kata-katanya ada benarnya. Bukankah aku juga pernah berkata; bahwa hidup itu milik Tuhan? Kita tidak memiliki apa-apa. Manusia tidak pernah memilikinya.

Bahagiaku, segalaku, sedihku.

Aku tak pernah memilikinya.

Karena sejatinya manusia memang tidak pernah memiliki apapun.

...

Hai! Kembali lagi sama aku!

Buku ini sebenarnya sudah bisa dibilang selesai, tapi, karena aku penganut tidak boleh tamat jika semuanya belum selesai, nantikan dua bagian ending serta satu epilog-nya, ya!

Di tiga bagian tersebut, semuanya akan dijelaskan. Termasuk hubungan tokoh utama dengan dua bersaudara, serta hubungan tokoh utama dengan Mayu-Lina, serta statusnya sebagai penulis bernama pena 'Mayulina Eru', semua itu akan dijelaskan.

Cuma, kalau kalian cukup pintar, kalian tidak perlu membaca tiga bagian tersebut.

Apa lagi yang perlu kusampaikan, ya? Ah, tidak ada! Syukurlah DCM ini selesai dengan baik walau sering ada kendala (hehe).

Tiga bagian itu mungkin akan aku publish jika sempat, karena aku saja belum menulisnya (ngelawak). Entah kapan aku punya waktu untuk itu. Doakan saja, ya!

Auf Wiedersehen und bis später!

w/ lots of mayos,
—𝙈𝘼𝙔𝙐.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro