OTY 08. Martabak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



P L A Y L I S T

WarnaHyndia

semuanya berbeda, cara mereka melihatnya, warna- warna yang terlihat yang membuat jaraknyaHyndia


Ingin makan martabak saat jam 11 malam adalah hal terandom yang Yerisha rasakan malam itu. Seusai mengerjakan tugas, perutnya tiba-tiba berbunyi, menginginkan diisi martabak telur spesial langganannya. Beruntung zaman semakin canggih, Yerisua bisa memesan martabak lewat aplikasi kesayangan sejuta umat. Aplikasi berwarna hijau itu, Yerisha pandangi semenjak tadi. Awalnya ia bersemangat sebelum memesan, tapi sudah tiga kali memesan tak ada satupun driver yang mengambil.

"Arghhhh pengen sekali makan martabak!" erangnya frustasi setelah kesekian kalinya order namun gagal.

Yerisha hanya bisa meringkuk di kasurnya dengan perut keroncongan. Sebenarnya di dapur pasti ada makanan tapi dia tak berminat dan hanya ingin martabak saja.

"Sayang, kok belum tidur," tanya mamanya dari ambang pintu kamar yang setengah terbuka, keasyikan memelototi ponsel membuatnya tak sadar pintu kamar terbuka dari luar.

"Masih nugas?" tanya mamanya melirik lampu meja belajar yang menyala dan buku-buku berserakan di atasnya.

"Udah selesai, Ma. Tapi aku lapar."

"Yasudah makan dulu. Di dapur ada rendang."

"Aku nggak pengen, Ma."

"Kamu sedang diet?" tanya sang mama, biasanya para perempuan lebih memilih kelaparan daripada makan saat malam.

"Bukan, Ma."

"Ah iya mama hampir lupa, makan terlalu malam memang tidak bagus, apalagi kalau setelah makan langsung tidur. Makanan tak tercerna dengan baik."

"Bukan karena itu, Ma."

"Lalu?"

"Aku ingin makan martabak," jawab Yerisha dengan mata berkaca-kaca, memohon.

"Sudah order?"

"Nggak diambil dari tadi."

"Mungkin babang ojolnya sedang pada sholat malam dulu jadi nggak ada yang mengambil," canda mama Yeri membuat putrinya merenggut.

"Ma..."

"Oke. Maaf. Kamu serius ingin sekali?"

"Sangat, Ma."

"Kamu nggak sedang ngidam kan Sayang?"

Ngidam? Kata-kata itu membuat Yerisha cemberut. Ya kali Yerisha ngidam, kapan hamilnya?

"Mama, aku sedang serius ini."

"Mama juga serius sayang, kalau memang kamu ngidam mama penasaran cowok seperti apa yang mau sama kamu."

Yerisha hanya bisa mengelus dada menanggapi candaan mamanya. Sang mama tertawa kecil sambil menyilangkan tangan depan dada.

"Mama pikir aku nggak laku ya?"

"Buktinya kamu jomblo terus, Sayang."

"Mama udah deh. Aku pengennya martabak bukan pengen makan ceramah mama."

"Dasar bandel," gerutu mamanya."Ya udah kamu keluar beli martabak sana."

"Nggak berani. Udah malem."

"Nanti di antar kakakmu," ucap sang mama meninggalkan pintu kamarnya yang terbuka lalu menuju kamar samping. Kamar Ode.

Diantar Ode? Tentu Yerisha akan menolak.

"Ode antarkan adikmu beli martabak."

Terlambat. Ode terlanjur menyanggupi permintaan mamanya.

Di sinilah ia sekarang, di depan rumahnya menunggu Ode mengeluarkan motor Vespa antik kesayangan papanya, yang akhir-akhir ini Ode gunakan ke kampus. Tadinya papanya ingin membelikan Ode motor sport tapi cowok itu menolak dan memilih Vespa butut itu.

Aneh memang.

"Pakai," sahut Ode menyerahkan helm berwarna putih ke Yerisha, sementara pemuda itu mengenakan helm berwarna hitam.

"Ngapain pakai helm? Kan hanya depan kompleks lagian udah malem nggak ada polisi."

"Safety and security itu penting, Yerisha. Demi diri sendiri kenapa harus nunggu ada polisi atau enggak."

"Iya iya," putusnya menerima helm itu, enggan berdebat.

Ode menaiki motor lebih dulu, menghidupkan mesin motor, baru Yeri naik setelahnya.

"Ayo jalan," suruhnya karena pemuda itu tak kunjung menjalankan motor.

"Pegangan."

Pegangan? WTF?! Jelas Yerisha dengan tegas menolak.

"NGGAK MAU!!!" Mata Yerisha memelotot marah, kesal dengan Ode yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Pegangan padanya? Memeluk pinggangnya begitu seperti adegan di film? Big No!

Ode memperhatikan Yerisha dari kaca spion." Aku nggak meminta kamu pegangan dengan cara meluk aku. Pegangan di ujung jaketku udah cukup. Demi keselamatanmu juga."

Yerisha memanyunkan bibir.

"Kalau kamu kenapa-napa, aku yang kena marah papa dan mama."

"Iya iya. Bawel," keluhnya memegang jaket bagian pinggang pemuda itu.

Barulah pemuda itu menjalankan motornya keluar dari area halaman rumah. Di jok belakang, Yerisha memandangi punggung Ode sambil mengumpat, sebenarnya ia ingin memukul pemuda itu. Sangat ingin.

***

Beruntung penjual martabat depan kompleks perumahan mereka belum tutup ketika mereka sampai di sana. Yerisha memesan martabak dan terang bulan sementara Ode memarkirkan motor di dekat gerobak milik penjual martabak.

"Mas dan mbak so sweet sekali berduaan naik motor Vespa hanya untuk beli martabak malam-malam."

Yerisha terdiam, sedikit tak suka dengan ucapan penjual martabak itu. Apa istimewanya naik Vespa untuk membeli martabak?

"Dia sedang ingin makan martabak, Mas," ucap Ode duduk di kursi plastik yang tersedia untuk pembeli yang menunggu pesanan jadi. Pemuda itu menepuk kursi kosong di sebelahnya, menyuruhnya duduk di situ.

Yerisha melengos, memilih berdiri di samping gerobak martabak. Selain enggan duduk di samping pemuda itu, ia bisa melihat proses pembuatan martabak.

"Oh mbaknya lagi ngidam ya? Tengah malem ingin martabak. Mirip tetangga saya kemarin. Tengah malah rumah saya diketuk, saya disuruh membuat martabak."

Kok tukang martabaknya jadi curhat ya? Tapi apa barusan dia bilang, dia ngidam?

"Berapa bulan, Mbak?"

"Apanya, Mas?"

"Usia kandungannya."

"Hah? Saya nggak hamil kok, nikah saja belum"

"Loh saya kira mbak dan masnya suami-istri."

"Memang tampang saya terlihat seperti orang yang sudah menikah. Saya masih muda, Mas."

"Tapi zaman sekarang banyak yang nikah muda, mbak."

Kok Yerisha kesal ya. Lama-lama ia terkena darah tinggi.

"Kalau mbak dan masnya bukan suami istri nggak baik malem-malem keluar berdua."

Yerisha memutar bola matanya. Memang ya tingkat ikut campur masalah orang lain itu tinggi.

"Saya bukan pacar dia. Saya nggak ada hubungan apa-apa sama dia." Yerisha yang mulai kesal memperhatikan gerak tangan penjual martabak yang menelan gara-gara keasyikan mengobrol dengannya."Mas, lebih baik mas fokus membuat martabak pesanan saya deh, soalnya udah malam."

"Iya, mbak."

Penjual martabak itu melanjutkan aktivitasnya, membuat martabak dan terang bulan pesanan Yerisha. Yerisha tak tahu apakah Ode mendengar obrolannya dengan penjual martabak atau tidak, kalaupun mendengar ia tak peduli juga sih.

Setelah menunggu lima belas menitan, martabak pesanannya siap. Yerisha menyerahkan uang seratus ribuan pada penjualnya.

"Serius deh mbak dan masnya bukan sepasang kekasih?"

"Bukan, Mas."

"Tapi pandangan masnya ke mbak itu beda," jelas sang penjual martabak sambil membuka laci uang untuk mengambil kembalian.

Beda?????

"Nggak usah, mas. Kembaliannya buat mas aja," ucap Yerisha segera berbalik menuju motornya yang terparkir. Ode segera menyimpan ponselnya ke saku celana dan bangkit mengekori Yerisha.

Ucapan penjual martabak barusan terngiang terus di telinganya.

Ia membeku di samping motor, tak sadar saat Ode menyerahkan helm padanya.

"Yerisha kenapa?" tanya Ode bingung karena Yerisha tiba-tiba diam.

Yerisha mendongak, memandang Ode yang lebih tinggi darinya itu. Dia memandang pemuda itu dengan tatapan menyelidik. Memang tatapan Ode padanya berbeda ya? Berbeda di mananya?

"Yerisha," panggil Ode balik menatap Yerisha dengan bingung.

Tatapan Ode yang lembut dan hangat membuat Yerisha kesulitan menjawab. Bahkan ia diam saja dan membiarkan Ode memakaikan helm di kepalanya.

-to be continued-

So, gimana????? Hmmmm mungkin cerita ini tuh bakalan slow banget dari segi alur. Mungkin. Mungkin loh ya. Tapi semoga tetep enak dibaca.

Lanjut nggak nih?

Btw bagi yang Nemu atau punya cerita Xiaojun Yeri jangan lupa kasih tahu aku ya muehehehe kebetulan aku lagi nyari dan pengen baca cerita mereka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro