OTY 38. Fakta Yang di sembunyikan Herjuno

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yerisha membuka aplikasi WhatsApp di ponselnya, setelah tak menemukan pesan baru, ia menutupnya. Beberapa menit kemudian ia membukanya, lalu menutupnya kembali. Berkali-kali ia melakukan itu. Wajah penuh harap saat membuka WhatsApp, lalu wajah kecewa ketika menutupnya menjadi pemandangan selama setengah jam.

Jelas Yerisha sedang menunggu seseorang. Menunggu pesan dari seseorang lebih tepatnya.

Saat ponselnya berbunyi ia terlonjak dan membuka aplikasi whatsaappnya dengan cepat.

Senyumnya merekah seketika.

Ode: mau dibawain apa? Nasi goreng? Martabak?

Jemari Yerisha mulai menari di atas keyboard ponselnya, mengetik kalimat balasan.

Yerisha: martabak ya, De

Ode: martabak manis atau telur?

Yerisha berpikir sebentar sebelum  menjawab.

Yerisha: dua-duanya boleh?

Ode: boleh, kok

Setelah mendapatkan jawaban dari Ode, Yerisha segera menutup ponselnya dan meraih buku di atas meja, ia memilih duduk berselonjor di atas karpet sambil bersandar ke dinding. Posisi yang paling nyaman untuk membaca.

Yerisha sedari tadi menunggu chat dari Ode. Pemuda itu sudah mulai sibuk, karena sudah memulai koasnya.

Ketukan di pintu kamarnya membuat Yerisha meletakkan bukunya lalu bangkit untuk membukakan pintu. Mamanya berdiri di depan kamarnya sambil membawa nampan berisi teh hangat dan setoples kue kering.

"Kamu sedang belajar ya sayang? Ini mama bawakan camilan dan minuman untuk menemani kamu belajar."

"Nggak kok, Ma. Aku sedang baca buku aja."

"Oh begitu, yaudah ini buat camilan saat membaca saja," sahut sang mama memasuki kamar lalu meletakkan nampan yang dibawanya ke atas meja.

"Terimakasih, Ma," ucap Yerisha bersyukur mamanya begitu memperhatikannya.

"Oh iya, Yer. Boleh mama bicara denganmu?"

"Ya boleh dong, Ma." Senyum Yerisha merekah. Dia dan mamanya duduk di pinggir kamar tidur.

Dia bertanya-tanya apa yang hendak dibicarakan mamanya terlebih saat melihat mamanya memasang wajah serius.

"Ini soal Ode, Yerisha," ucap sang mama membuat Yerisha tersentak seketika.

Kalau soal Ode mungkinkah tentang hidupnya? Begitu yang Yerisha pikirkan. Entah mengapa perasaannya berkecamuk seketika.

"Mungkin ini waktu yang tepat untuk mengatakan soal Ode," ucap Ratna, mamanya. Setelah berbulan-bulan memilih bungkam, mencari waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya pada Ode, akhirnya beliau merasa saat ini adalah waktu yang tepat. Terlebih hubungan Yerisha dan Ode terlihat sangat akrab akhir-akhir ini. Sudah seperti kakak dan adik.

Mendengar ucapan sang mama, tangan Yerisha sedikit gemetar.

Mengapa ia merasa takut ya?

Ia takut mendengar ucapan mamanya, ia belum siap menerima kenyataan soal Ode. Terlebih bila kenyataan itu sesuai dengan apa yang dipikirkannya selama ini.

Kalau boleh memilih, Yerisha ingin menolak. Tapi tak bisa—

Jemari hangat mamanya menggenggamnya.

Kalau yang kupikirkan itu benar, bukankah mama yang paling sakit saat ini? Bukan aku?

Yerisha menyadari bisa saja mamanya adalah orang yang paling menderita saat ini. Beban yang dibawa mamanya pasti sangat berat.

***

Saelin: Yerisha, kamu tahu soal mama kak Ode?

Yerisha hanya menatap kosong pesan dari Saelin, tanpa berniat membalasnya sedikitpun. Sepeninggal mamanya usai menceritakan soal Ode, Yerisha hanya diam dan termenung duduk di karpet.

Kemudian ia memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya di sana.

Tak berselang lama, tangisnya pecah seketika. Yerisha menangis sesenggukan. Semenjak tadi ia menahan diri agar tak menangis. Ya dia tak boleh menangis. Tapi gagal. Pada akhirnya ia menangis.

Mengapa ia begitu cengeng?

Yerisha merutuki diri sendiri. Dia yang begitu cengeng, yang begitu mudahnya menangis.

Ponselnya yang berdering diabaikannya, nama Saelin terpampang di layar. Sepupunya itu menelpon tapi diabaikannya. Bukan Yerisha yang biasanya mengabaikan telpon dari sepupunya.

Yerisha ingin menyendiri dahulu, perasaannya saat ini sangat campur aduk.

Ia berusaha sekuat tenaga tak menangis dengan keras agar papa dan mamanya tak sadar. Ia takut papa dan mamanya khawatir bila mengetahui ia menangis.

Saat mendengar suara motor Ode yang memasuki rumah, ia segera menghentikan tangisnya. Ia bangkit menuju meja, mengambil beberapa lembar tisu untuk mengelap air mata yang membasahi pipinya.

Ya, dia tak boleh terlihat habis menangis. Tidak boleh. Terlebih di hadapan Ode.

Yerisha mengambil cermin kecil di atas meja, melihat keadaannya. Matanya yang sembab dan jelas sekali habis menangis membuatnya menghela napas.

Dengan cepat ia mencari bedak untuk menutupi bekas-bekas yang menjadi bukti ia telah menangis.

Suara langkah kaki yang semakin mendekat membuatnya mempercepat gerakannya menyapukan bedak ke wajahnya.

Saat pintu kamarnya di ketuk. Ia segera meletakkan bedaknya, memeriksa penampilannya melalui cermin, memastikan semuanya baik-baik saja sebelum akhirnya ia berjalan mendekat ke arah pintu.

"Yerisha," panggil Ode.

Langkah Yerisha terhenti di depan pintu. Ia memegang kenop pintu, mendengar suara Ode membuatnya ingin menangis lagi.

Nggak, Yerisha. Jangan menangis.

"Yerisha, kamu udah tidur?"

Setelah menarik napas dalam-dalam dan menguatkan diri, Yerisha membuka pintu perlahan.

"Aku belum tidur kok," ucap Yerisha lirih sengaja membuka setengah pintu saja.

"Ah kukira kamu sudah tidur. Ini pesanan kamu." Ode menyerahkan kantong kresek berisi martabak manis dan telur pesanan Yerisha. Cowok itu tak menyadari sedikitpun Yerisha baru saja menangis.

"Terimakasih," jawab Yerisha singkat mengambil kantong kresek berisi martabak itu.

"Sama-sama. Aku ke kamar dulu ya," pamit Ode mengulas senyum.

Senyum yang membuat Yerisha termenung sesaat.

Kamu selalu tersenyum padaku, De. Seolah kamu baik-baik saja padahal enggak, bisiknya dalam hati.

Setelah berpamitan dengan Yerisha, Ode balik badan, melangkah menuju kamar di sebelah Yerisha. Cowok itu tak menyadari perasaan Yerisha yang berkecamuk karena dirinya.

Ode memutar kenop pintu kamarnya, membuka pintu kamarnya perlahan. Kaki kanannya melangkah masuk.

Baru selangkah, dan ia merasakan tangan seseorang melingkar di pinggangnya. Ode tersentak dan membeku dengan pelukan dari belakang yang secara tiba-tiba dan pelakunya adalah— Yerisha.

Ode menengok ke samping, kresek berisi martabak yang tadinya di tangan Yerisha terjatuh di depan pintu gadis itu.

"Y-Yer," panggil Ode terbata-bata, siapa yang tak kaget dengan pelukan yang mendadak itu terlebih dari seorang Yerisha.

"Y-Yer."

Isakan pelan Yerisha terdengar di telinganya. Matanya membulat, terkejut mendengar tangis Yerisha.

Dia ingin berbalik, bertanya mengapa gadis itu menangis tapi pelukan erat Yerisha menyulitkannya.

Sehingga ia memilih membuatkan Yerisha menangis di punggungnya.

Entah apa yang membuat gadis itu menangis?

Apa Luke melukai Yerisha?

Kalau itu benar, Ode tak akan memaafkannya terlebih ia mempercayai pemuda itu adalah orang yang tepat untuk Yerisha.

Sebagai kakak, ia tak terima Yerisha disakiti.

Tidak.













"Kenapa nggak bilang, De?"

"Nggak bilang soal apa, Yer?"

"Kenapa nggak bilang soal mamamu?"

Mata Ode membulat seketika.

"K-kamu—" tenggorokan Ode tersadar tercekat, ia kesulitan mengucapkan kalimat yang terasa seakan tertahan di ujung lidah.

"Kenapa kamu nggak bilang kalau tujuh hari sebelum kamu ke rumah ini—"







"Mamamu pergi meninggalkanmu."

-tbc-

Nih aku pending dulu magernya, aku update hari ini hohoho






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro