OTY 47. Januar Wijaya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Q: Siapa kira-kira yang cocok jadi visualisasi Januar Wijaya?????

A:...........

***


"Yerisha mau pesan apa?" Pertanyaan Januar Wijaya menghentikan tatapan Yerisha yang sedari tadi tertuju pada lelaki itu, buru-buru ia menunduk, membaca buku menu di tangannya. Sebenarnya hanya berpura-pura agar Januar tak memergoki dirinya yang sedang memandang lelaki itu dengan tatapan kagum.

Mau ditaruh mana mukanya kalau sampai Januar tahu dia memandangi lelaki itu sedari tadi.

"Boleh kuberi rekomendasi, Yerisha?" tanya Januar karena melihat Yerisha kesulitan memilih minuman yang berada di menu.

"Ehmmm boleh, kak."

"Bagaimana kalau wedang ronde saja?" saran Januar membuat Yerisha terkejut dengan pilihan lelaki itu. Wedang ronde memang ada di buku menu, tapi Yerisha tak menyangka dari puluhan minuman di menu, Januar akan memilihnya.

"Tapi kalau kamu nggak mau, bisa pilih yang lain," ucap Januar ringan, dalam hati terkekeh melihat reaksi Yerisha yang terkejut saat ia menyebut wedang ronde. Di matanya reaksi gadis bertubuh mungil itu terlihat menggemaskan.

"Aku mau kok, kak. Sudah lama juga aku nggak minum itu," sergah Yerisha menutup buku menu, merasa tak perlu melihat lagi karena rekomendasi dari Januar patut dicoba. Sudah lama juga dia tidak minum wedang ronde padahal sering ada tukang ronde lewat depan rumahnya.

"Oke kita pesan itu saja," sahut Januar tersenyum lalu mengangkat tangan, melambai pada pramusaji yang berada dekat meja kasir. Tak lama pramusaji datang dan mencatat pesanan mereka.

Setelah kepergian pramusaji dari meja mereka, keheningan kembali menyergap. Keduanya sama-sama diam, sibuk memikirkan bahan untuk membuka obrolan di antara mereka.

Pertemuan pertama memang terasa begitu canggung. Ada banyak hal yang ingin dibicarakan tapi rasa bingung lebih mendominasi.

Yerisha takut salah bicara dengan Januar, mau bagaimanapun Januar adalah seniornya dulu, bintang di jurusannya, yang sudah membuat pencapaian luar biasa yang membanggakan bagi fakultasnya.

Sementara Januar, bingung untuk memulai obrolan dengan Yerisha yang di matanya begitu menarik. Tulisan Yerisha mampu membuatnya menyisihkan waktu di sela liburannya ke Indonesia untuk bertemu secara langsung dengan Yerisha.

"Ehmmm Yerisha..." Januar lah yang mencoba obrolan terlebih dahulu, walau kakinya di bawah meja sana bergerak saking gugupnya, wajah Januar tak menunjukkan kegugupan itu.

"Aku sudah baca novelmu dan menurutku sangat menarik."

"Benarkah kak? Padahal banyak yang tidak suka novelku."

"Itu hanya masalah selera, Yer. Mereka nggak suka bukan karena novelmu buruk tapi novelmu bukan selera mereka saja. Aku juga sering dapat ulasan buruk kok. Nggak semua orang suka dengan tulisanku." Ucapan Januar Wijaya sangat mirip dengan ucapan Ode waktu itu. Semua hanya masalah selera orang yang berbeda-beda. Tidak semua orang bisa menyukaimu, sebaik apapun kamu. Ah benar juga. Yerisha menyetujui itu semua.

"Terimakasih, Kak. Seseorang pernah mengatakan hal yang sama padaku. Membuatku belajar dan bersemangat untuk terus memperbaiki tulisanku."

"Seseorang?" Kedua alis Januar terangkat. Merasa tertarik dengan penyataan Yerisha. "pacarmu?"

Pacar?

Yerisha menggeleng dengan cepat. "Bukan bukan. Aku tak punya pacar."

Bagaimana bisa semua orang mengira dirinya dan Ode berpacaran? Padahal mereka hanya — bagaimana Yerisha menjelaskannya ya. Mereka terlibat hubungan yang rumit.

"Ah kukira pacarmu. Maaf," ucap Januar merasa bersalah.

"Hahahaha." Tawa Yerisha meledak. "Aku jomblo sejak lahir."

"Really? Nggak mungkin? Kamu pasti bohong."

"Serius, Kak. Aku jomblo."

"Kalau suka sama orang pernah kan?"

"Sering," jawab Yerisha.

"Sering? Kamu tipe yang mudah jatuh cinta dong."

Yerisha buru-buru menyilangkan kedua tangannya. Memberi isyarat ucapan Januar salah. "Bukan suka semacam cinta tapi lebih kepada suka karena kagum."

"Ohhh. Kalau jatuh cinta sering?"


Jatuh cinta ya—







"Kenapa aku merasa sedang merasa diinterogasi ya," gumam Yerisha akhirnya tak menjawab pertanyaan Januar karena merasa pertanyaan yang diajukan cowok itu mirip proses interogasi yang dilakukan polisi. Januar polisinya, dia tersangkanya.

"Hahahaha. Maaf," kekeh Januar mengangkat kedua tangannya. Mata  Januar sedikit menyipit saat tertawa. "Aku terlalu bersemangat bertanya tadi. Maaf kalau aku keluar batas."

Ya, Januar memang akan mengajukan pertanyaan demi pertanyaan ketika ia merasa penasaran terhadap seseorang. Ia tak suka diliputi rasa penasaran.

Yerisha tersenyum tipis. "Nggak apa-apa kok, Kak."

"Kalau kamu nggak nyaman dengan pertanyaan yang bersifat pribadi aku nggak akan bertanya lagi. Lagipula ini pertemuan pertama kita, memang aneh rasanya kita malah membicarakan hal-hal pribadi. Kalau pertanyaan tentang novelmu, kamu akan menjawabnya kan, Yer?"

"Karena jujur aku ingin mengenalmu."

"Mengenalmu lebih dekat."








Eh? Apa?

***

"Jadi hubungan papamu dan kamu bagaimana, De?"

Ode yang tengah mengaduk es tehnya, menghela napas lantas memandang Dery yang tak berhenti bertanya setelah Ode sedikit bercerita tentang dirinya.

"Sudah lebih baik."

Dery terlihat lega mendengarnya. "Keluarga baru papamu bagaimana?"

"Mereka baik padaku. Walau awalnya kaget."

Sekali lagi Dery bisa bernapas lega. Dia tahu Tante Rasti di atas sana akan bahagia juga saat mendengar cerita Ode.

Ode Juga lega antara dirinya dan papanya dengan keluarga barunya berjalan cukup baik. Tentang perasaan benci pada lelaki itu sebelumnya? Ode sedang berusaha menghilangkan yang perlahan.

"Terus Yerisha bagaimana?"

"Memang ada apa dengan Yerisha?"

"Nggak ada niatan jujur ke Yerisha soal perasaanmu."

Ode nampak kaget mendengar pertanyaan Dery."perasaan apa, Der? Kamu jangan aneh-aneh deh."

"Kmu suka sama Yerisha kan."

"Suka?"

"Iya. Suka sebagai wanita." Lama-lama Dery merasa gemas karena Ode begitu lambat memahami maksud ucapannya. Padahal soal materi kuliah Ode akan menyerapnya lebih cepat dari siapapun di kelas.

Ode tertawa. "Kamu ngawur, Der. Perasaanku ke Yerisha bukan semacam itu. Aku menyayanginya seperti rasa sayang kakak ke adiknya. Jangan salah paham, Der."

"Kamu serius? Atau kamu cuma menutupinya?"

"Nggak ada yang kututupi, Dery. Bagiku Yerisha adalah adikku. Aku adalah kakaknya. Dan akan terus begitu sampai kapanpun. Akupun sudah berjanji menjadi kakak yang terbaik buat Yerisha yang akan menjaga dan melindunginya."

"Sampai? Sampai kapan kamu akan menjadi kakak yang terbaik buat Yerisha yang akan menjaga dan melindunginya? Sampai tua?"

"Sampai kapanpun Yerisha butuh aku."

"Bagaimana kalau sebenarnya Yerisha butuhnya bukan kakak tapi kekasih misalnya? Bagaimana kalau nanti Yerisha punya pacar, apa kamu yakin bisa tetap menjadi kakak yang terbaik buat dia? Saat itu terjadi, kurasa Yerisha tak butuh kamu jaga dan lindungi, sudah ada pacarnya yang melakukan itu."

"Pacar bisa putus kan, Der. Tapi kakak enggak."

Dery terkejut mendengar jawaban Ode. Serta raut wajah tak suka yang ditunjukkan pemuda itu. "Jadi kamu mendoakan Yerisha putus dengan pacarnya bila suatu saat dia punya pacar? Wahhhh Herjuno lihat deh wajahmu sekarang, seperti orang yang terbakar api cemburu. Padahal ucapanku hanya berandai-andai tadi."

"Nggak lucu," jawab Ode ketus sembari mencomot gorengan di depannya. Mereka sedang berada di kantin rumah sakit. Sejenak beristirahat, menikmati waktu istirahat yang begitu berharga.

Dery tak bisa menahan tawanya. Di matanya Ode terlihat lucu saat cemberut.

"Stop menjodohkannya dengan Yerisha, Der. Kamu dan Saelin, stop melakukannya. Kami hanya adik kakak."

"Oke-oke. Kalian hanya adik kakak. Tapi saat nanti Yerisha dekat dengan seseorang jangan patah hati ya. Kamu cuma kakaknya. Ingat itu."

Ucapan Dery dibalas dengusan pelbagai Ode. Tak perlu diberi tahupun ia juga tahu batasannya. Batasannya menjadi kakak.

"De, aku balik dulu ya," ucap Dery tiba-tiba membuat Ode mengernyitkan dahi bingung.

"Loh? Kan makanannya belum dateng."

"Eum itu ada yang mau ketemu Sama kamu." Dery menunjuk seseorang yang berada di pintu masuk kantin, terlihat celingukan mencari sesuatu karena lingkungan itu terasa asing baginya. Saat matanya bertemu pandang dengan Ode, orang itu melangkah masuk dan mendekati meja yang ditempati Ode dan Dery.

"Aku nggak mau ganggu," bisik Dery sebelum pergi. Saat berpapasan dengan orang itu, Dery menyunggingkan sebuah senyuman.

Orang itu duduk di kursi di depan Ode, tempat yang tadi diduduki Dery. Ia menaruh dua tas kain di tangannya ke atas meja.

"Kenapa kamu bisa di sini?" tanya Ode bingung melihat orang itu ada di depannya

"Aku cuma disuruh nganterin ini sama mama," ucap orang itu menunjuk dua tas di atas meja.

"Isinya camilan, rendang, jaket karena khawatir kamu kedinginan terus apalagi ya hmmmmm."

"Harusnya mamamu tak perlu sampai serepot ini, Lu."

"Dia khawatir padamu. Dia sudah bertanya pada Tante Nana, apa saja yang kamu sukai. Jadi tenang saja yang di dalam sini semua hal yang kamu sukai dan butuh kan kok."

"Lu, terimakasih tapi aku merasa sungkan. Ini sangat merepotkan."

"Mama dan aku nggak merasa repot. Bukannya ini hal wajar yang dilakukan keluarga."

Ucapan pemuda itu yang tak lain adalah Luke membuat Ode membulatkan matanya. Sedikit kaget. Terlebih waktu itu Luke yang terlihat sangat shock sampai diam terus menerus.


"Aneh ya saat bilang keluarga, De?"

"Hmmm iya, Lu."

"Aku juga merasa begitu tapi itu sebuah fakta yang tak bisa kutolak. Aku harus belajar menerimanya pelan-pelan." Fakta tentang Ode adalah anak kandung papa tirinya yang dilupakan papanya selama bertahun-tahun yang terkadang masih sulit diterima Luke, mau tak mau ia harus belajar apa itu ikhlas.

"Ngomong-ngomong, aku sebenarnya mengajak Yerisha kemari tapi dia nggak bisa karena hendak bertemu seseorang."

"Siapa?"

"Januar Wijaya."

Januar Wijaya? Nama itu sangat asing bagi Ode.

Melihat wajah penuh tanda tanya Ode. Luke menjelaskan siapa itu Januar Wijaya. "Dia kakak kelas Yerisha, saat ini sedang melanjutkan kuliah di luar negeri. Dia penulis best seller. Yang diakui sampai mancanegara. Dia adalah bintangnya anak sastra "

"Ah...." Ode mengangguk paham. Kalau orang sehebat itu ditemui Yerisha pastilah Yerisha sangat senang.

"Kamu tahu mereka sangat dekat?"

"Dekat bagaimana maksudmu?"

Luke menghela napas. "Cowok sama cewek yang tak memiliki hubungan  darah kalau kalau dekat bagaimana sih, De?"

Pertanyaan Luke bagai menyentil perasaannya.







"Cowok sama cewek yang tak memiliki hubungan  darah kalau kalau dekat bagaimana sih, De?"

-tbc-




Hai bagaimana dengan part ini???? Masih bingung kah?

Masih ada pertanyaan?

Jangan lupa tinggalkan banyak komen ya hehehehe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro