Of a Calamity and It's Master

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terhitung sejak kemarin, Rose harus mengubah total jadwal hariannya. Saking sibuknya ia menulis ulang di agenda, ia sampai tak fokus memperhatikan pelajaran bahasa Spanyol dari Miss Abott dan pelajaran biologi dari Miss Adler. Dampaknya, ia harus menahan Wada untuk tak langsung pulang ke rumah, agar dapat membantunya mengerjakan tugas.

“Well, i think i can help you—a little. And it cost a cup of coffe. A vienna coffe.” Wada berkata saat tengah membereskan bukunya di meja.

“Persetan, Wada,” ucap Rose sambil mengibaskan tangan kanannya. Ia duduk di kursi yang terletak di depan meja Wada sambil menghadap lawan bicaranya itu. “Yang mau aku tahu, tugasku bisa selesai sebelum matahari tenggelam.”

“Piece of cake,” jawab Wada. Ia memasukkan buku terakhirnya ke dalam tas, kemudian bangkit berdiri dan beranjak pergi. Rose pun mengekorinya ke luar kelas.

Piece of cake, katanya? Tanya Rose dalam hati. Ia mendengus.

“Aku akan membelikannmu dua gelas sekaligus kalau kau bisa membantuku dalam waktu kurang dari satu jam.”

Wada menyunggingkan senyum pada salah satu sudut bibirnya. “Kau itu genius, jadi tak butuh waktu lama untuk mengajarimu,” sahut Wada. “Di sisi lain, aku tak keberatan kalau harus mengajarimu sehari penuh. Sayangnya, tentu saja, hal itu tak akan pernah terjadi.”

“Because of?”

Wada mengetuk kepala Rose dengan telunjuknya sebanyak dua kali. “Kau terlalu genius,” ujarnya bersungguh-sungguh.
“Cih. Mendengarmu memujiku seperti itu lebih terdengar seperti kau sedang meledekku. Hei, siapa yang memenangkan olimpiade internasional tahun lalu, hah? Aku? Hmph.”

Wada memalingkan wajahnya, dan sekali lagi, senyumnya mengembang secara samar setelah ia melihat Rose bersungut-sungut.

“Omong-omong, apa kau ada masalah,” tanya Wada, “sampai-sampai tak memperhatikan pelajaran dari Miss Abott dan Miss Adler sewaktu di kelas tadi?”

“Oh, glad you're noticed. Aku harus mengubah jadwal harianku setelah kebijakan baru diberlakukan. Aku jadi tak bisa fokus saat Miss Abott dan Miss Adler menjelaskan. Sialan.”

Kedua mata Wada sedikit membulat. Ia terkejut. “Apakah aku sudah menyebutkan kopi vienna tadi?”

“Ya, kenapa? Ada lagi yang kau ingin?”

“Berhenti menyumpah, Rose.”
Rose tertawa renyah, “I’m trying.”

“Maaf, Wada,” Wada meralat. “Kau sudah janji padaku. Jadi saat kau menyumpah lagi—yang mana melanggar janjimu—kau harusnya minta maaf kepadaku.”

“I can’t help it, i can’t controll my temper!”

“And yeah, you’re proofing it just now.”

Rose tak menyahut lagi.
Biasanya, selepas sekolah usai, Rose masih tinggal di kelas bersama beberapa temannya untuk menyelesaikan tugas sekolah, sekaligus menjadi tentor sukarelawan untuk teman kelasnya. Anak-anak yang lain juga masih tinggal selama beberapa waktu untuk sekedar berbincang-bincang. Akan tetapi, semenjak kejadian memalukan dua adik kelasnya yang tengah menjadi perbincangan hangat seluruh sekolah, kebijakan baru yang merugikan orang-orang tertentu harus diberlakukan. Orang-orang yang dirugikan itu, mencakup Rose.

PENGUMUMAN

MULAI HARI JUMAT, 20 JANUARI 2017, GERBANG MENUJU LANTAI DUA DAN TIGA AKAN DITUTUP 30 MENIT SETELAH BEL AKHIR PELAJARAN. SEMUA KEGIATAN HARUSLAH DILAKSANAKAN DI LANTAI SATU GEDUNG SEKOLAH.

TTD. KEPALA SEKOLAH.

Celakanya, kelas Rose berada di lantai tiga.

“Berkat kau, aku harus mengubah seluruh jadwal harianku. Dan harus repot-repot mencari lokasi baru untuk belajar. Thank you very much!” Rose menggerutu di depan papan pengumuman.

“Sepertinya sekolah harus segera membangun gedung perpustakaan di lantai pertama,” sahut Wada setengah bermonolog. “Sudahlah, ayo cari tempat belajar di lantai pertama!” ajaknya.

Sebuah tempat di dekat penyimpanan alat-alat olahraga yang menghadap langsung ke lapangan menjadi pilihan Wada. Rose sempat tak setuju karena beberapa alasan.

Pertama, Wada bisa sewaktu-waktu diminta untuk ikut bergabung bersama anak-anak yang tengah bermain sepak bola.
Kedua, permainan sepak bola mereka terlihat cukup anarkis, dan kalian bisa menebak apa yang terjadi kalau Rose tak pasang mata. Sebuah bola sepak bisa kapan pun melayang ke arahnya. Rose tak bercanda soal itu. Karena, sekalipun tempat penyimpanan alat olahraga berada di tanah yang jauh lebih tinggi dari lapangan, anak-anak itu bisa membuat bola sepaknya melambung jauh ke atas.

Ketiga, ia bisa melihat jalanan dari tempatnya berada dan begitu pula sebaliknya. Orang-orang yang berada di jalanan bisa melihatnya.

“Kau sudah mengerti, kan? Rumus di bab ini persis rumus perkalian matematika, p kuadrat ditambah dua p q ditambah q kuadrat.” Wada menulis rumus yang ia maksud pada buku catatan milik Rose, sementara anak perempuan itu terlihat sedang memperhatikan hal lain.

“Wada, apakah ini hanya perasaanku saja atau memang orang itu memperhatikan kita.”

“Kau terlalu percaya diri, Rose. Everyone is absolutely aware of your charm, but to be so confident is just—”

“Dia melihat ke arah kita, Wada!” desis Rose panik.

“Siapa?” tanya Wada yang akhirnya merasa penasaran.

“Orang yang duduk di halte bus di bawah sana.” Rose mengedikkan dagunya ke arah yang ia maksud. “Ah, jangan langsung menengok ke sana!”
Wada berdiri dan melakukan sedikit penguluran badan. Ia sempat mencuri pandangan ke arah yang dimaksud oleh Rose, dan ternyata langsung mengenali orang itu. Wada dapat melihat pria itu menganggukkan kepala padanya.

Wada sempat menghentikan penguluran badannya. Gerakannya terhenti, tapi kedua tangannya masih berada di belakang kepala. Ia mematung secara perlahan.

Dari gelagatnya, Rose yakin benar kalau Wada mengenal pria itu. Tapi, saat ia mencoba bertanya pada Wada, anak itu malah berusaha mengalihkan pembicaraan.

Tiba-tiba Rose teringat akan pembicaraan kedua orang tuanya beberapa waktu lalu. Ada seseorang yang menyusup ke rumah Wada, memecahkan vas bunganya, dan sepertinya terluka. Penyelidikan tengah dilakukan di rumahnya dan anak itu terlihat sangat tak menyukai rumahnya digeledah maupun dirinya yang harus dimintai keterangan.

“Wada, apakah mungkin pria itu ... seorang detektif?”

Tatapan terkejut dari Wada telah mewakili jawaban yang Rose butuhkan. Rose sempat berpikir dua kali tentang kegeniusan Wada. Bagaimana bisa orang segenius dirinya bisa begitu mudah ditebak?

Wada berdehem. “Kau sudah tahu apa yang terjadi di rumahku?”

Rose mengangguk. “Itu sudah menjadi rahasia umum di kompleks kita.” Ia mengibaskan tangan kanannya.

“Benarkah?” tanya Wada setengah terkejut. “Seberapa banyak yang kau tahu?”

Rose mendengung, “Semuanya,” ujarnya takut-takut. “Bahkan, alasan orang itu menyusup ke rumahmu,” ia mengimbuhkan.

“Dan dari mana kau tahu?”

“Ayahku,” jawab Rose.

“Ah, tentu saja, Petugas Gregson.” Wada berujar setengah bermonolog.

“A-Ayah tidak membicarakan ini kepadaku. Aku hanya ... tak sengaja mendengar pembicaraannya dengan Ibu,” ia meralat cepat-cepat.

Wada mendengus, “Atau lebih tepatnya, kau sengaja menguping,” ujar Wada. Rose hanya tersenyum kikuk.

Rose menggigit bibir bawahnya. “Wada?” panggilnya dengan nada tak enak hati.

Ah, betapa Wada tak ingin Rose mencoba menghiburnya atas kemalangan yang menimpa dirinya. Ia tak ingin dikasihani atau pun terlihat malang di depan orang lain. Terlebih Rose.
Wada menghela napas, “Aku tak apa. Percayalah—”

“Kau masih mau membantuku mengerjakan tugas ini, bukan? A-aku tidak akan menguping pembicaraan Ayahku lagi dan seenaknya mendengar tentang masalah orang lain.” Rose memohon sambil mengatupkan kedua tangannya. Akan tetapi, yang ia dapat hanyalah pandangan tak habis pikir dari Wada.

“Apa?” Wada mendengar dirinya sendiri bersuara. Mulanya, Wada sempat mengura kalau Rose sedang mencoba untuk menghibur dirinya.

“Dan tentu saja aku tidak berpikiran untuk mengikutimu saat bertemu dengan detektif itu,” ucap Rose, “aku janji.”

Wada terkekeh. Ternyata, bukan Roselah yang terlalu percaya diri. Melainkan, dirinya sendiri.

“Bagian mana lagi yang tak kau mengerti?”

Kedua mata Rose berbinar begitu saja setelah mendengar pertanyaan dari Wada. “Um, aku sudah bisa mengerjakan soal-soalnya, terlepas apakah jawabannya benar atau tidak. Ini, coba kau koreksi pekerjaanku.”

Mungkin, Wada malah sama sekali tak terlihat menyedihkan di hadapan Rose. Dan entah apakah kewarasan sudah bosan dengannya, namun Wada sangat ingin ditimpa kemalangan saat itu juga. Ah, tapi, bukankah mempunyai teman yang tak memahami kalau kau sedang ditimpa musibah sudah termasuk kemalangan?

Yah, setidaknya, Rose akan membelikannya segelas kopi vienna selepas ini.

*********

31 Januari 2017
-Black out
-Rainy outside
-Next morning : latihan UN CBT Bahasa Inggris

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro