Darling! [10]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"The best love is the kind that awakens the soul and makes us reach for more, that plants a fire in our hearts and brings peace to our minds. And that's what you've given me."

(The Notebook)


Ellen masih menghilang. Rhea mencoba mendatangi kantor manajemen milik Richie dan tidak mendapat informasi tambahan yang berguna. Selain bahwa Richie "sedang tidak berada di tempat karena ada keperluan mendesak dan tidak tahu kapan akan masuk kantor". Mustahil Rhea berceloteh tentang Richie dan Ellen yang kawin lari untuk mendesak supaya karyawan lelaki itu mau buka mulut tentang keberadaan bosnya, kan?

Yang melegakan Dexter tidak mengganggunya. Walau mungkin hanya untuk sementara. Itu membuat Rhea bisa merasa bebannya berkurang drastis. Berdekatan dengan Dexter membuatnya merasa inferior. Bukan karena Dexter menghina atau merendahkannya. Melainkan karena aura kekuatan dan kepercayaan diri yang begitu kental terpancar di setiap geraknya. Khas alpha male. Dexter itu tipe manusia egois yang sangat tahu apa kelebihannya. Ellen pernah punya pendapat menarik soal itu.

"Menurutmu Dexter egois? Aha, kamu memang nggak kenal kaum laki-laki, Rhea! Justru di situlah menariknya lelaki sukses seperti Dexter, Dik! Pria macam dia jadi egois dan mungkin narsis karena punya ambisi yang besar."

Sudah berlalu lebih dari dua minggu sejak Dexter mencegat Rhea di tempat parkir kantornya. Meski sudah berkata akan memikirkan masalah Ellen, lelaki itu tidak melakukan apa-apa. Atau belum. Namun, setidaknya Rhea bisa lega karena tidak membaca berita negatif tentang Ellen. Dia bahkan cukup takjub karena berita pernikahan mendadak kakaknya, sampai saat ini tidak tercium oleh media.

Pada hari Minggu, Rhea sedang bersiap menuju pusat kebugaran yang ada di kompleks perumahan yang ditempatinya. Namun, perempuan itu malah mengurungkan niatnya. Itu terjadi setelah secara tak sengaja dia melihat televisi menayangkan acara balapan pembuka Formula One di Melbourne. Mendadak Rhea terdorong ingin melihat aksi Dexter untuk pertama kalinya.

"Mau ke mana, Rhea? Ke gym?" tanya ayahnya yang sedang duduk di sofa dan mengarahkan tatapannya ke layar televisi. Entah seperti apa kecamuk perasaan Irvan melihat salah satu pembalap yang sedang bersiap untuk berlaga itu adalah mantan calon menantunya.

"Tadinya sih gitu, Pa. Sejak pagi hujan, makanya aku pergi sesiang ini. Tapi ... kok lebih enak di rumah kayaknya."

"Kencan butamu gimana? Tante Arini sudah beberapa kali menelepon. Katanya, anak salah satu sahabat Om Otto kali ini pasti cocok untukmu." Ayahnya tertawa, tapi terdengar getir. Matanya diliputi kemuraman. "Entah sudah berapa kali dia mengulanginya. Papa sampai bosan mendengarnya."

Rhea ikut tersenyum. Adik bungsu ayahnya itu memang sering berlebihan. Namun, Rhea percaya dengan penilaian tantenya. "Tante Arini akan menjadwal ulang, Pa. Karena calon teman kencanku itu—namanya Lionel—ada pekerjaan dan lagi nggak berada di Jakarta. Aku juga penasaran pengin tahu kayak apa orang yang ingin diperkenalkannya. Seganteng siapa? Stephen Amell? Ryan Reynolds? Tom Hardy?" katanya melantur.

"Apa?" Irvan mengerutkan alis.

"Lupakan, Pa! Omongan nggak penting," Rhea tertawa. "Aku ke kamar dulu, ya, Pa. Kayaknya batal ke gym, mendadak malas."

Rhea bergegas menuju kamarnya dan menyalakan televisi. Setelah mendapatkan channel yang diinginkan, perempuan itu duduk di ranjang. Dari starting grid yang terbaca di layar televisi, Dexter harus memulai lomba dari posisi empat belas.

Rhea merasakan keanehan yang menyergap dadanya. Sebelum hari ini, dia sama sekali tidak pernah menyaksikan balapan Formula One secara khusus meskipun tidak terlalu buta seputar ajang bergengsi itu. Kini, dia malah mengunci diri di kamar dan membatalkan rencana ke pusat kebugaran yang rutin dilakoni bertahun-tahun. Hanya untuk melihat Dexter Romain membalap. Astaga! Ada apa ini?

Rhea seakan terpaku pada layar televisi, melihat bagaimana Dexter membalap dengan gaya agresif. Dia tidak pernah tahu tipe pembalap seperti apa pria itu. Makanya Rhea terpana menyaksikan Dexter mampu menyodok ke posisi dua belas karena start-nya yang mulus dan cepat.

Sayang, dua lap kemudian Dexter terpaksa mundur satu posisi karena agak melebar saat berbelok dan disalip oleh pembalap di belakangnya. Rhea tidak sadar jika tangannya mencengkeram seprai dengan kencang saat melihat Dexter kembali merebut posisi dua belas dan melakukan gerakan mengejutkan di sebuah trek lurus.

"Dasar bodoh! Kenapa aku harus ikut-ikutan tegang?" Rhea memaki dirinya sendiri.

Perempuan itu ikut kecewa saat penampilan impresif Dexter harus terhenti di lap ke 23 saat mobilnya berbelok liar dan menabrak dinding pembatas yang terbuat dari ban. Jantung Rhea ikut berdenyut kencang. Bagaimana pun dia tidak ingin melihat Dexter celaka, meskipun pria itu sangat menjengkelkan. Rhea mengembuskan napas lega saat Dexter keluar dari kokpit tanpa cedera.

"Ah, baguslah kalau kamu masih hidup," Rhea menutupi rasa jengah karena mencemaskan lelaki itu. Setelah Dexter retire, perempuan itu enggan terus menonton. Rhea mematikan televisi dan merasa aneh pada diri sendiri. Mengkhawatirkan Dexter? Itu seharusnya menjadi hal terakhir yang akan terjadi dalam hidupnya.

"Kira-kira kayak apa perasaan Dexter saat membalap, ya? Apa konsentrasinya terpecah gara-gara Ellen?" Rhea tetap kesulitan berhenti bertanya-tanya.

***

Dexter sudah cukup familier dengan nama Rhea karena Ellen melisankannya dalam beberapa kesempatan. Berdasarkan apa yang diceritakan perempuan itu, Dexter mengambil kesimpulan bahwa Rhea adalah sosok yang tak memiliki persamaan dengan kakaknya.

Bukan cuma menggeluti dunia yang berbeda, Rhea tampaknya perempuan penurut yang tak pernah sungkan membantu Ellen dalam banyak kesempatan. Tipikal adik yang bisa diandalkan. Dexter sendiri tidak asing dengan tipe saudara seperti itu karena kakak dan adiknya pun tak berbeda dari Rhea.

"Aku beruntung karena Rhea yang jadi adikku. Kadang aku membuatnya susah tapi dia selalu mau membantu," komentar Ellen di masa lalu.

Meski tidak pernah membayangkan secara khusus, entah kenapa Dexter berkesimpulan jika Rhea dan Ellen memiliki fisik yang mirip. Ellen memiliki tinggi tidak sampai 170 sentimeter, berkulit putih, dagu bulat dengan belahan samar, hidung mancung, rambut panjang nan terawat, gigi rapi, bibir mungil, serta mata bulat dengan pupil hitam.

Siapa sangka kemiripan kakak beradik itu cuma sebatas mata dan gigi saja? Gigi Rhea bahkan tak serapi kakaknya. Perempuan itu memotong pendek rambut gelapnya hingga menampakkan tengkuk. Rhea lebih tinggi minimal lima sentimeter dan lebih berat beberapa kilogram dari Ellen. Wajah Rhea berbentuk hati yang dipercantik dengan tulang pipi yang tinggi. Hidungnya yang bisa dibilang mungil. Sementara bibirnya menyerupai bentuk busur panah, penuh.

Kali pertama mereka bertemu, Dexter kaget karena Rhea yang tidak mirip dengan Ellen. Dia selalu menyukai perempuan anggun seperti Ellen yang menjaga penampilannya sebaik mungkin dengan rambut panjang minimal sepunggung. Rhea tidak berpenampilan semrawut. Akan tetapi, kaus agak kedodoran yang dipakainya saat menemui Dexter setelah mandi, sama sekali tidak enak untuk dilihat. Belum lagi rambut pendeknya.

"Terlalu tinggi, kurang langsing, nggak mengikuti standar mode. Oh ya, aku juga nggak suka perempuan berambut pendek kayak laki-laki. Nggak seksi."

Dexter bahkan mengucapkan kalimat yang membuat wajah Rhea merah padam.

Perbedaan antara dua saudara itu makin tajam setelah Dexter dan Rhea menghabiskan waktu untuk bicara tentang Ellen. Awalnya, lelaki itu cuma ingin tahu apa saja yang diucapkan Ellen kepada adiknya. Paling tidak, Dexter butuh untuk memahami alasan yang membuat Ellen mengambil tindakan tak masuk akal itu.

Namun, bahkan sebelum meninggalkan rumah keluarga mantan kekasihnya, Dexter sudah merasa terganggu dengan sikap Rhea. Perempuan itu tampaknya ingin menjauh dari Dexter dan sama sekali tidak berniat berurusan dengannya. Bahkan, Dexter sempat merasa jika Rhea takut padanya atau sesuatu yang mirip itu.

Pemikiran itu membuat Dexter sangat kesal. Sebagai impaknya, sifat jeleknya pun mencuat. Sinis dan cenderung dingin. Itu mekanisme pertahanan diri yang muncul begitu saja jika Dexter berhadapan dengan orang yang mampu membuatnya terintimidasi. Entah kenapa, Rhea bisa memberi efek seperti itu.

"Kamu itu kadang bisa berubah sinis banget. Kok, bisa begitu, sih?" tanya ibunya di suatu ketika. "Supaya dianggap sebagai cowok yang susah dijangkau atau apa?"

"Aku nggak sinis, Ma. Anggap aja itu bagian dari pesonaku," sesumbarnya.

Kesinisan Dexter makin parah setelah mereka beradu kata. Sejak remaja, Dexter tidak ingat jika dia pernah bertemu perempuan segalak Rhea. Dia terbiasa berhadapan dengan kaum hawa yang bertutur lembut dengan kata-kata—boleh dibilang—manis. Apalagi setelah dia berkarier sebagai pembalap. Bukan rahasia umum jika pria-pria berprofesi seperti Dexter menjadi incaran banyak perempuan.

Intinya, Rhea adalah antitesis dari semua perempuan yang biasa dikenal Dexter. Belum lagi sisi sok tahunya yang luar biasa. Perempuan itu berani-beraninya mengira jika Dexter luluh lantak karena ditinggal Ellen. Rhea memang tidak mengucapkannya terang-terangan. Namun, Dexter bisa memindai dari ekspresi dan tatapan prihatin Rhea yang sempat tertangkap matanya meski dalam kesempatan terbatas.

Seharusnya, Dexter menjauh dari perempuan itu, tidak pernah lagi berhubungan dengan Rhea. Toh, mereka tidak punya urusan sama sekali. Akan tetapi, entah kenapa dia malah tidak berniat melakukan itu. Mungkinkah itu cuma didorong oleh rasa penasaran karena belum pernah mengenal perempuan yang bersuara begitu lantang dengan kalimat-kalimat menyilet?

Apa pun itu, rasa ingin tahunya begitu kuat mendominasi. Membuat Dexter tak mampu melewatkan kesempatan untuk mengusik Rhea berkali-kali. Bahkan hingga menugaskan perempuan itu untuk bicara dengan Ellen. Sesuatu yang sungguh-sungguh tak perlu.

Di hari normal, Dexter takkan sudi melakukan itu. Sayangnya, perempuan bernama depan Rhea itu mengusik Dexter begitu besar. Membuatnya tergoda untuk memperturutkan kata hati meski akal sehat Dexter sudah menggaungkan peringatan berkali-kali. Lelaki itu malah berkata pada diri sendiri, apa ruginya jika bertemu Rhea beberapa kali lagi di sela-sela kegiatannya? Kebetulan yang entah patut disyukuri atau tidak, tahun ini dia terlibat banyak aktivitas promosi di Asia, termasuk Indonesia. Acara itu digagas oleh pihak sponsor balapnya dalam upaya membuat ajang balap Formula One makin populer. Setelahnya, mereka bisa saling melupakan, bukan?

"Setelah membuat Rhea tersiksa satu atau dua minggu lagi, barulah aku akan menghilang selamanya dari hadapan perempuan itu," janji Dexter pada diri sendiri. Janji yang dia sendiri pun tahu terdengar begitu kekanakan.

Sebenarnya, Dexter masih ingin menyelesaikan "urusan" dengan Rhea tapi dia memiliki jadwal balapan yang ketat. Bertengkar dengan perempuan yang sama sekali tidak menatapnya dengan pandangan terpesona, ternyata cukup menyenangkan. Dan anehnya, membuat Dexter bersemangat. Mungkin, seperti itulah rasanya menemukan sesuatu yang tak biasa atau unik. Meski begitu, dia akan memastikan jika semua takkan bergerak seperti bola liar. Berhenti hanya sampai taraf "menyenangkan". Kapan lagi ada perempuan judes yang berani mengomelinya dengan bibir mengerucut dan mata menyala oleh kemarahan?


Lagu : ME! (Taylor Swift ft. Brendon Urie)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro