SATU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Sebelum baca cerita ini, saya sarankan baca dulu ceritaku yang Pesona Kakak Ipar, karena cerita ini ada kaitannya dengan cerita itu. Atau ingin tahu tentang kehidupan Damian sebelumnya, bisa lihat di sana. Jangan lupa follow akunku karena ada bab yang akan aku unpublish dan publish ulang supaya kalian dapat notif tentang update terbarunya. Dan jangan lupa tinggalin vote dan koment di sana dan di sini. Oke]

♡♡♡

Untuk membuktikan pada Revan jika aku bukan wanita malas, aku menerima tawaran pekerjaan dari kakak sepupuku di Bali. Dia pikir, aku akan menyerah begitu saja atas apa yang sudah diucapkan padaku? Aku bukan wanita lemah! Aku kuat. Aku akan buktikan padanya jika aku wanita pekerja keras dan tidak malas. Aku hanya tidak bekerja satu tahun karena masa kontrak kerja selesai dan aku belum mendapatkan ganti pekerjaan sampai saat ini. Tapi, kali ini aku tidak akan membuang waktu untuk menerima pekerjaan dari Kak Sabrina.

Aku keluar dari kapal yang kunaiki. Ya. Aku naik kapal dari Pelabuhan Tanjung Mas ke Pelabuhan Gilimanuk, Bali. Sebenarnya aku bisa baik pesawat karena Kak Sabrina menawariku, tapi aku menolak karena aku ingin menikmati perjalananku melalui laut. Aku menyukai trip kecuali menaiki kapal kecil atau sampan karena aku takut kedalaman air. Aku tidak bisa berenang. Salah satu alasanku setuju dengan tawaran Kak Sabrina adalah keindahan Bali. Sejak dulu, aku penasaran dengan Pulau Dewata ini, dan aku beruntung karena kali ini mendapat kesempatan ke pulau ini. Di pulau ini terkenal dengan keindahan pantai dan alamnya.

Aku mengedarkan pandangan ketika tiba di tempat penjemputan. Aku kembali membuka pesan dari Kak Sabrina. Di parkiran belum ada mobil warna silver atau laki-laki memakai jaket warna coklat. Apa dia belum datang? Lebih baik aku kembali bertanya pada Kak Sabrina tentang kepastian orang yang menjemputku.

Matahari sangat terik di sini. Kulitku bisa gosong jika terus berdiri lama di sini. Sudah hampir satu jam aku menunggu jemputan, tapi dia tidak datang-datang. Benar-benar mengesalkan. Siapa sih Damian itu? Apa dia sengaja melambat-lambat? Atau dia mengalami masalah?

Kulihat seorang bule laki-laki mengenakan kaus putih berjalan mendekatiku. Aku silau dengan pantulan cahaya dari kacamatanya. Aku menatap ke arah lain, menjaga jarak. Aku takut di sini. Tak ada siapapun yang kukenal di sini. Aku hanya menunggu orang yang menjemputku. Aku harus hati-hati.

"Apa kamu Aisyah?" tanya bule yang berusaha mendekatiku.

Dia tahu namaku? Darimana? Apa dia orang suruhan Kak Sabrina untuk menjemputku?

"Hei! Aku bicara denganmu." Dia menegurku.

Aku menoleh ke arahnya. "Kamu siapa?" tanyaku.

"Ikut denganku." Dia membalikkan tubuh, lalu berjalan meninggalkanku.

Aku masih bergeming. "Aku nggak kenal kamu. Kenapa aku harus ikut kamu? Apa jangan-jangan kamu penculik?" Aku menatapnya.

Dia menghentikan langkah, berbalik badan, masih di tempatnya. Aku pun memasang wajah jutek padanya. Aku tak mau terbujuk seseorang di sini. Aku harus hati-hati.

"Aku menjemput Aisyah, sepupu Sabrina. Apa Sabrina tidak menyebutkan namaku?" Dia kembali bersuara.

"Aku ingin lihat KTPmu?" Aku butuh bukti darinya.

Kak Sabrina bilang jika akan ada orang yang menjemputku memakai jaket warna coklat, tapi kenapa dia memakai kaus warna putih? Aku jadi curiga.

"Itu privasiku. Jika kamu tak mau kujemput, maka tunggulah Sabrina yang akan menjemputmu, mungkin nanti malam." Dia membalikkan badan, lalu berjalan meninggalkanku.

Kuraih koperku, lalu mengikutinya. "Hei ...!!!
Aku hanya berhati-hati. Aku masih baru di sini, jadi wajar dong kalau aku minta identitas kamu buat keamanan. Apa aku salah?" Aku membalasnya.

"Awww ..." Aku terkejut ketika menabarak tubuh laki-laki itu. Dia berhenti tanpa aba-aba sehingga aku menabrak punggungnya.

"Jika aku sudah menyebut nama Sabrina, seharusnya kamu berpikir, aku orang yang menjemputmu." Dia tak menoleh ke arahku.

"Iya, maaf. Lagian kamu nggak bilang kalau kamu Damian." Aku menggerutu. Dia tak membalas. "Bisa tolong bantuin aku?" Aku meminta bantuan.

"Kamu punya tangan dan kurasa kamu masih kuat membawa barang-barangmu sendiri." Dia lanjut berjalan.

Aku menghela napas. Dia benar-benar tidak punya rasa peduli. Dia sudah terlambat menjemputku, tidak mau membantuku, dan sekarang meninggalkan aku. Dia benar-benar mengesalkan. Apes banget rasanya. Mana perutku lapar.

"Bisakan berjalan lebih cepat?" Dia banyak protes.

"Kamu ini aneh! Sudah nggak mau bantu, malah suruh aku cepat-cepat jalan. Seharusnya kamu ngerti dan bantuin aku. Nggak peka banget jadi cowok. Malah marah-marah." Aku menyindirnya. Laki-laki seperti dia harus diberi pelajaran.

Dia kembali menghentikan langkahnya, membalikkan tubuh, lalu berjalan ke arahku. Dia meraih koperku dan menariknya. Aku tersenyum puas. Ternyata ucapanku berhasil membuatnya tersinggung.

Aku berdiri di samping mobil warna hitam. Laki-laki itu memasukkan koperku ke dalam mobil itu. Bukankah yang menjemputku memakai mobil warna silver, lalu kenapa mobil hitam yang sekarang menjemputku?

"Cepat masuk." Dia mengintruksi.

Aku terkesiap. "Mobil silvernya mana?" tanyaku.

"Tinggal masuk saja jangan banyak protes." Dia masuk ke dalam mobil.

Aku masih ragu untuk masuk ke dalam mobil ini. Aku takut jika dia bukan yang menjemputku. Aku sudah bertanya pada Kak Sabrina, tapi dia belum membalas pesanku. Aku terkesiap ketika mendengar klakson mobil. Aku bergegas masuk ke dalam mobil itu. Semoga dia benar yang menjemputku. Aku merasa takut dengan orang ini. Aku hanya diam tanpa ingin bertanya atau membuka obrolan.

Kusentuh perutku ketika rasa lapar begitu terasa. Cacing di perutku seakan memberontak ingin cepat dikasih makan. Tadi pagi aku hanya makan roti dan air putih. Biasanya, jam segini aku sudah makan siang, tapi kali ini aku belum makan sama sekali.

"Bisakah kita berhenti dulu kalau ada orang jualan makanan? Aku lapar. Tadi pagi aku hanya makan roti dan air putih." Aku akhirnya angkat suara. Aku tidak mau menunda laparku. Itu tidak baik untuk perutku.

Dia tak merespon ucapanku. Dia hanya sibuk menyetir tanpa peduli pada kondisiku. Aku harus sabar menahan rasa perih perutku sampai rumah.

Mobil yang kunaiki berhenti. Aku menatap ke arah depan. Seperti sebuah restoran. Laki-laki itu turun dari mobil. Apa aku akan makan di sini?

"Kenapa belum turun? Apa kamu tidak mau makan?" tanyanya.

Aku bergegas turun. Kutatapi restoran yang ada di hadapanku saat ini. Aku mengikuti langkah kaki laki-laki itu. Ini pasti restoran mahal. Kenapa dia mengajakku ke sini? Aku akan cari makanan yang paling murah.

Aku duduk di kursi yang tersisa. Seorang pelayan memberikan buku menu pada kami. Aku langsung mencari menu makanan yang sesuai dengan kondisi keuanganku saat ini. Dugaanku benar. Ini restoran mahal. Menu makanan paling murah satu porsi limapuluh ribu. Itu hanya paket nasi, bebek goreng, sambal, dan sayuran. Tapi tidak apa-apa. Uangku masih cukup untuk memesan empat porsi.

Aku memberikan buku menu pada pelayan setelah mengajukan pemesanan. Sekilas aku menatap laki-laki yang ada di hadapanku saat ini. Aku tertegun. Dia terlihat tampan jika kacamatanya dilepas. Ah, tetap saja walaupun dia tampan, tapi perlakuannya buruk. Ketampanannya kalah dengan sifatnya yang kurang kusuka. Aku masih belum mengetahui identitas laki-laki itu. Entah dia suruhan Damian, atau dia Damian sendiri, aku tidak tahu.

Aku menyantap makanan yang kupesan. Laki-laki itu tidak memesan makanan, tapi hanya memesan minum. Dia hanya menungguiku yang sedang makan sambil bermain ponselnya. Aku harus segera menghabiskan makanan ini agar dia tidak menungguku terlalu lama.

Aku beranjak dari kursi. "Aku sudah selesai makan. Aku mau ke kasir." Aku berlalu.

"Tidak perlu. Aku yang akan membayar makananmu." Dia terdengar beranjak.

"Aku masih bisa bayar sendiri." Aku menolak.

"Aku yang menjemputmu, jadi aku bertanggungjawab atas apa yang terjadi selama dalam perjalanan menuju rumah." Dia mendahuluiku.

Biarlah. Dia benar. Dan lagipula, aku beruntung karena uangku tidak keluar. Tahu begitu, lebih baik tadi aku pesan makanan yang lebih mahal.

Aku masuk ke dalam mobil setelah perutku terisi. Aku tak tahu apa yang akan terjadi di rumah jika tadi masih menahan sakit perut karena lapar. Setidaknya, aku tak khawatir masalah makan karena perutku sudah kenyang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro