[γ] TERSESAT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nia? Kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali," tanya Ann khawatir. Semenjak pulang dari lokasi penelitian, Nia membisu seribu bahasa.

Di rumah hunian baru, tempat yang akhirnya menjadi base camp pengganti karena penduduk di sana tidak nyaman jika mereka menginap di dalam hutan, di kamar para gadis terasa lebih sepi dibandingkan kamar sebelah. Ruangan yang dua kali lebih kecil dari kamar Nia di Samarinda yang serba lengkap itu terbilang kurang terawat. Dinding putih yang mulai menguning akibat air hujan yang merembes dari atap, tehel lantai putih yang retak di sana-sini dengan noda yang sulit dihilangkan dengan air semakin membuat suasana tidak nyaman.

Tempat itu memang sudah lama tidak dihuni orang. Sesekali dibersihkan oleh tetangga secara sukarela, itupun seadanya saja. Untungnya mereka membawa kantong tidur sehingga tidak perlu berpikir keras untuk mengistirahatkan tubuh sejenak di kamar yang kosong melompong itu. Mereka seperti kembali merasakan suasana saat menjalani KKN di pedalaman. Serba terbatas.

"Ann, Tris, aku rasa ... hutan itu tidak baik. Firasatku tidak enak." Nia mengatup tangannya dengan tidak nyaman.

"Loh? Memangnya kenapa? Kita kan enggak tinggal di dalam hutan. Apalagi rumah nenekmu ini pernah kamu tinggali, ya, kan?" sahut Tris tampak tidak peduli.

"Iya ... tapi kali ini beda. Aku mencium aroma aneh selama di hutan. Lalu, ada bayangan hitam yang mengikuti kita selama di sana." Nia menjelaskan dengan air muka yang memucat.

Ann yang mudah ketakutan spontan menyelimuti dirinya dengan selimut. "Ehhh? Ba-bayangan itu masih mengikuti kita, ti-tidak?" tanyanya dengan terbata-bata.

"Sepertinya tidak ... yang penting, di sana berbahaya. Lebih baik kita semua pulang ke rumah Ayah dulu. Kalau bisa secepatnya."

Tris seketika berdiri dan melempar pandangan menusuk ke arah Nia. "Tenanglah, Nia! Baru cerita gitu udah ketakutan. Kita sudah jauh-jauh datang ke sini, masa harus pulang dengan tangan kosong. Apalagi kamu yang sarankan kita untuk meniliti di sini. Jangan plin-plan, deh!" sergah Tris sembari berkacak pinggang.

"Tapi, Tris--"

"Tidurlah. Aku yang akan mengunci pintu. Selamat malam!" Tris membanting pintu dengan keras dan berlalu menuju kamar mandi. Seperti biasa, untuk ritual malamnya.

Nia merasa serba salah. Tris berhak marah kepadanya karena dari awal gadis berwajah keras itu tidak setuju dengan rencananya meneliti di sana. Walau memang alasannya terlalu remeh seperti dia tidak suka tinggal di sebuah tempat terpencil dengan fasilitas toilet yang tidak memadai. Alasan itu sempat membuat teman-teman yang lain ragu mengapa Tris masih mau melanjutkan kuliah di jurusan Kehutanan yang notabennya menjelajahi alam liar.

Semua rencana penelitian sudah Nia atur matang-matang bersama teman yang lain. Dia tidak ingin menyusahkan mereka, sehingga pilihan untuk meneliti di kampung halamannya adalah pilihan terbaik. Namun, pada saat mereka tiba di hutan, Nia ingin sekali lari dan menjauh dari tempat itu. Ada yang tidak beres di sana. Dan Nia yakin itu bukan sesuatu yang bisa mereka atasi bersama.

"Benar dikatakan Tris. Tidurlah Nia. Kalau mau, kubuatkan teh atau susu. Bisa jadi kamu sakit, mau sekalian kuambilkan obat?" ucap Ann cemas.

Nia tersenyum tipis sembari menggelengkan kepala. "Tidak, terima kasih. Mungkin ... aku cuman kelelahan." Akhirnya firasat Nia diabaikan. Dia memilih untuk tidur lebih awal.

Semuanya sudah tertidur pulas. Di malam yang gelap gulita dan senyap itu, samar-samar terdengar suara bisikan yang mengganggu tidur nyenyak Nia. Semakin lama, suara itu mulai bergema di kepala gadis yang kelelahan itu. Dia terbangun, masih setengah sadar. Seperti ditarik kekuataan yang sangat kuat, Nia bangkit dari kantong tidurnya. Ann dan Tris tidak menyadari bahwa temannya telah keluar dari kamar.

Nia terus berjalan, menjauh dari pemukiman warga, lebih masuk ke dalam hutan. Rambut sebahunya berkibar-kibar tertiup angin malam. Suara langkahnya tidak terdengar dengan kaki yang tidak beralaskan apapun. Aura dingin tidak dia pedulikan walau sedang mengenakan kaos tipis dan celana kain selutut. Dari kejauhan, bayangan hitam itu berseringai dengan taring yang mencuat keluar.

●●●

Nigel masih tertidur di ruang tamu, beralaskan tikar anyam di atas lantai yang dingin. Dia masih tidak bisa tidur bersama tiga manusia kampret penguasa kamar. Untuk ke depannya, Nigel akan terus tidur di ruang tamu. Kalau bisa, dia ingin meminjam kasur lipat milik warga. Lebih bagus lagi kalau dia bisa tidur di rumah mereka.

Sungai Amazon sudah terbentuk dan mengalir konstan di atas bantal malang yang menemani Nigel sepanjang malam. Alirannya berhenti seketika sesaat Ann mengguncang tubuh Nigel dengan kasar.

"NIGEEEL! Nigella Sativa! Bangun. Cepat. Gawat!" teriak Ann tepat di atas telinga Nigel.

Perlahan-lahan Nigel membuka kelopak matanya. Masih berusaha mengumpulkan nyawa, Ann tetap saja mengguncang tubuh pemuda itu. Setelah pengelihatannya mulai stabil, Nigel bisa melihat Ann yang pucat pasi. Air mata bercucuran di bawah matanya.

"Hmmm ... kenapa kamu menangis, Ann?" gumam Nigel yang masih belum sepenuhnya sadar.

"Nia, Nia. NIA MENGHILANG!"

"Hah? Mungkin dia pergi ke pasar kali," jawab Nigel asal.

"Mana ada pasar hari ini! Sekarang bukan hari minggu," omel Ann.

"Kalau gitu ke rumah tetangga kali."

"Tidak ada juga. Aku sudah tanya semua orang. Katanya tidak lihat Nia berkeliaran di luar."

"Mungkin dia pergi mandi di sungai. Sudah, ah. Aku mau tidur lagi." Nigel kembali menjatuhkan kepalanya di atas bantal basahnya.

Wajah Ann yang tadinya pucat, berubah menjadi kemerahan. Gadis berambut hitam itu mengepalkan tangannya. Sekuat tenaga dia memukul kepala Nigel. "Nigel bodoh! Mana ada orang mandi di sungai tengah hari gini. Cepat bangun, Kebo!"

Untung saja Nigel tidak bisa merasakan rasa sakit dari pukulan maut Ann. Dia hanya tersentak dengan energi besar yang mendarat ke atas kepalanya.

●●●

Mereka sudah menelusuri seluruh pemukiman, sungai, hingga jalan raya. Tidak ada tanda-tanda dari Nia.

Tris sudah menghubungi orang tua Nia tentang hilangnya putri mereka dan menanyakan tempat yang mungkin gadis itu biasa datangi. Cass, Ann, dan Xanor pergi memeriksa tempat pertambangan batu bara yang tidak jauh dari tempat mereka tinggal. Sedangkan Nigel dan Zea kembali menyusuri jalan raya dari ujung Bukit Tengkorak hingga ujung Bukit Menangis. Sayangnya, sampai sore hari, keberadaan Nia masih tidak diketahui.

Tempat terakhir yang belum mereka telusuri adalah hutan.

Langit sudah berwarna kuning kemerahan. Salah satu polisi yang sepertinya memiliki pangkat lebih tinggi, memberikan sebuah aba-aba kepada bawahannya untuk mundur. Dia pun berbalik ke Nigel dan kawan-kawan yang ikut bersama mereka mencari di hutan. "Kita lanjutkan besok lagi. Lebih baik kalian menunggu di rumah. Kami pasti akan mengabari kalau saudari Nia ditemukan."

"Tunggu, kenapa tidak dilanjut? Mungkin saja Nia terjebak di dalam hutan," protes Nigel pada sang polisi.

"Maaf, Dek. Kami kekurangan personil dan kami tidak ingin kehilangan mereka juga. Amannya, kita lanjutkan esok hari."

Zea tidak menyukai ucapan dari polisi tersebut. "Apa maksud Bapak dengan tidak ingin kehilangan juga? Bapak juga percaya takhayul begitu!" maki Zea sembari menganjungkan telunjuknya ke polisi yang tubuhnya dua kali lebih besar daripada dirinya.

"Tolong jaga sikap Anda. Sudah saya katakan dengan jelas. Kami akan melanjutkan pencarian besok. Pulang dan kunci rumah kalian rapat-rapat. Paham?" jelas polisi itu dengan nada tinggi dan tegas.

Nigel dan Zea hanya bisa terdiam dan kesal. Tidak mampu memahami mengapa semua orang tidak mau sekali keluar pada malam hari. Makhluk buas? Polisi hutan lebih tangguh dengan senjata apinya. Orang jahat? Sepertinya juga bukan. Jadi, apa yang membuat mereka semua ketakutan setengah mati?

Sedikit demi sedikit, orang-orang yang ikut melakukan pencarian meninggalkan hutan, menyisakan keenam mahasiswa yang khawatir dengan temannya yang menghilang entah ke mana.

Tris yang sudah kelelahan mulai berjalan ke arah pemukiman. "Lebih baik kita dengarkan perkataan mereka. Aku udah capek. Kulitku juga kusam gara-gara sinar ultraviolet sepanjang hari. Bisa-bisa aku jadi tarzanwati hitam di sini."

Cass yang sedari tadi diam akhirnya mengikuti Tris. "Maaf, aku ada janji dengan timku. Di sini tidak ada sinyal." Di suasana genting seperti ini pun, Cass tidak pernah lupa dengan urusannya di dunia paralelnya.

Nigel dan Zea saling bertukar pandang dan menghela napas bersamaan. Mereka berdua sangat ingin memarahi Tris dan Cass yang seolah-olah mementingkan hal lain dibandingkan Nia. Namun, mau mereka bertengkar sampai suara habis pun tidak akan megembalikan keadaan seperti sedia kala.

"Semoga Nia tidak apa-apa," kata Xanor dengan nada datar. Seperti biasa, tanpa ekspresi.

Mereka memutuskan untuk mengakhiri pencarian untuk hari ini. Tanpa bantuan orang-orang yang tahu tentang medan yang ada, sama saja seperti berjalan buta di tengah kegelapan. Maunya menyelamatkan Nia, malah mereka yang nantinya tersesat.

Ketika rombongan itu melewati lokasi penelitian yang baru mereka tandai kemarin, bendera merah berkibar-kibar tertiup angin. Ann sejenak menghentikan langkahnya, memandang pohon yang ada di hadapannya. Pohon itu begitu besar. Kalau satu orang disamakan dengan satu meter, maka tidak cukup satu orang untuk memeluk pohon itu. Mungkin sekitar lima? Atau enam orang?

Ada bayangan hitam yang mengikuti kita selama di sana.

Sontak bulu kuduk Ann meremang. Perasaannya mulai tidak enak.

"Ann! Apa yang kamu lakukan? Mau ditinggal, kah?" Teriakan Nigel segera menyadarkan Ann yang melamun.

"Biarkan saja. Kalau dia yang tersesat, aku malah senang," canda Zea sambil menyeringai jahat.

Ann membalikkan badannya dengan kesal. "Apa kamu bilang--" Belum selesai Ann berbicara, tiba-tiba dia melihat sesosok perempuan dengan terusan putih tampak berlari di balik pepohonan.

"H-hei ... i-itu bu-bukannya Nia?" kata Ann terbata-bata.

Serentak mereka menoleh ke belakang. Dan ternyata mereka melihat Nia sedang berlari melawan arah yang mereka tuju.

"NIA!" teriak mereka serempak.

Mereka berlari, terus berlari, berusaha mengejar gadis dengan terusan putih itu.

Tidak salah lagi, dia pasti Nia. Bagaimana tidak, postur tubuh Nia yang mungil dan rambut pendek sebahu andalannya sudah menjadi ciri khas yang tidak akan mungkin dilupakan oleh teman-temannya.

Gadis itu semakin menjauh. Padahal mereka sudah berkali-kali meneriaki namanya. Namun, dia sama sekali tidak merespon.

Ann yang tadinya paling penakut malah berada pada barisan paling depan. Nigel dan Zea tidak mau ketinggalan. Xanor serta Tris mengikuti ketiganya. Sedangkan Cass tertinggal jauh di belakang. Berlari adalah ide buruk untuk seorang gamer seperti Cass yang jarang berolah raga, kecuali olah raga jari.

"Hei ... tunggu aku!" teriak Cass sembari terbatuk-batuk kehabisan napas.

Mendengar teriakan Cass membuat mereka berhenti sejenak. Xanor mencoba mendekati Cass yang terjongkok.

Ann kembali menoleh ke arah Nia. Gadis dengan terusan putih itu sudah sangat jauh di depan. "Cepat! Nanti kita akan kehilangan Nia." Ann kembali berlari.

"Ann!" Tanpa berpikir panjang, Nigel mengejar Ann yang ternyata masih kuat berlari.

"Makanya, jadi cowok itu jangan cuman sibuk di depan HP aja. Cepat osteoporosis, baru tau rasa," sindir Tris yang ikut mengejar dua temannya dan di susul oleh Zea.

"Kamu istirahat saja dulu, Cass. Xanor bisa menemanimu!" teriak Zea sembari berlari.

"Woi! Ide buruk kalau kita terpisah. Dengarkan aku, keparat!" Peringatan dari Cass sayangnya tidak didengar oleh teman-teman yang sudah mendahuluinya.

Matahari sudah terbenam dan dalam waktu bersamaan udara di sekitar mereka menjadi dingin. Samar-samar terdengar suara dentangan gong bergema di udara yang semakin lama semakin mendekat. Membuat bulu kuduk sontak berdiri.

"Oh tidak, tidak, tidak. Ini benar-benar buruk. Heeei, cepat kembali ke sini. Semuanya!" Sesaat Cass kembali berteriak, suara gong itu semakin keras. Membuat telinga berdengu.

DONG .... DONG .... DONG ....

Seketika mereka kehilangan keseimbangan. Tanah bergetar keras. Pohon-pohon bergoyang ke sana kemari seperti menari-nari dalam kegelapan. Setiap detangan gong menyebabkan sumber cahaya mulai menghilang. Menyisakan kegelapan yang mengerikan. Mereka sudah tidak tahu apa yang terjadi satu sama lainnya. Suara jeritan tertelan dalam suara guruh yang tidak diketahui dari mana asalnya.

Pada detangan ke tiga belas, tiba-tiba cahaya merah muncul satu-persatu, dan semuanya berhenti bergetar.

Ann dan Nigel yang terduduk tidak berjauhan, bangkit dan melihat sekitar.

"Itu tadi gempa?" Nigel mencoba untuk berdiri. "Tunggu ... ini di mana?" tanyanya kebingungan.

Pohon-pohon tinggi yang tadinya berderet di sekitar mereka anehnya berubah menjadi rumah-rumah panggung yang asing. Tampak seperti kediamaan di cerita rakyat yang sering mereka lihat di buku bergambar anak-anak.

"Loh? Mana yang lain?" Ann memandang ke sekitarnya, berusaha mencari tanda-tanda dari teman-temannya. Ternyata yang tersisa di sana hanya Nigel dan Ann.

Mereka telah terpisah dengan yang lain.

💀💀💀

The Ominous Night begain .... 👹

Sudah serem engga? Belum? Okelah, akan kucoba lebih serem lagi, ya. 👻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro