[θ] TERATAI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kilauan bilah besi dari mandau menari-nari di udara. Ayunan demi ayunan Tris layangkan ke arah monster yang mencoba untuk mendekat. Dia tidak akan memberikan mereka kesempatan untuk menyentuhnya, seujung rambut pun. Tris berdansa dengan senjatanya. Sangat menawan. Namun, mematikan. Satu monster berhasil Tris kalahkan dengan menebas lehernya hingga putus, sebelum lidah beracunnya mengenai kulit mulus Tris.

Sisa empat lagi. Melawan satu saja sudah lumayan memakan banyak waktu, apalagi empat sekaligus. Tidak pernah disangka bahwa Tris sang Ratu Angkatan memiliki bakat bela diri yang tidak bisa diremehkan. Bagaikan seorang atlet Wushu dengan Dao (1) yang berkilauan saking tajamnya.

Jiwa laki Zea tidak mau kalah. Pemuda satu itu memang tidak punya pengalaman di bidang seni melindungi diri, tapi dia suka berolah raga macam kasti maupun bulu tangkis. Otot-otot lengan dan instingnya bisa diandalkan di sini. Dia berusaha mencari tempo yang pas untuk menikam kepala ular itu sambil menghindar dari cambukan ekornya. Dia membayangkan dirinya sedang menangkis shuttlecock dari musuh sembari menghindari bola kasti yang mengincar anggota tubuhnya. Usahanya tidak sia-sia. Kesempatan itu terbuka.

Zea yang sedari tadi mengelilingi segerombolan monster melata itu, membuat salah satunya tidak sengaja menyerang kepala temannya. Badan saja yang besar dan mengitimidasi, tapi mereka tidak secerdik pemuda itu. Tanpa buang-buang waktu, Zea menancapkan ujung balok kayu ke mata monster yang gerakannya terkunci akibat serangan tadi.

"Rasakan!" teriak Zea penuh kepuasan. Akan tetapi, kebahagiaan itu segera terhenti ketika aroma busuk dari darah monster itu mencuat kepermukaan.

"Awas kamu muntah lagi. Atau berikutnya adalah giliranmu untuk kugorok!" Tris memperingatkan tanpa berhenti menyerang lawan di hadapannya.

Zea melirik sebentar ke gadis yang beringas itu sambil menelan ludahnya dalam-dalam. "He ... sombong banget. Akan kutunjukkan bahwa aku bisa membunuh makhluk tidak jelas ini, lebih banyak daripada kamu, Tris!" Diangkat tinggi-tinggi balok kayu itu, lalu dia hunuskan bagian tajamnya ke ekor monster lain yang tidak jauh dari kepala kawannya yang sudah bolong.

Kedua muda-mudi pemberani itu telah kembali menghajar dua monster. Membuat monster yang tersisa ketakutan dan berusaha melarikan diri. Dengan sigap, Tris dan Zea menyerang bersamaan, menerkam kepala dan leher monster itu yang ternyata lebih lembek dari bagian yang lain, tidak terlindungi dengan sisik bajanya.

Napas Tris dan Zea memburu. Efek samping dari serangan adrenalin amat terasa di sekujur tubuh. Akhirnya pertarungan itu selesai. Zea melemparkan senjatanya yang berlumuran dengan cairan hijau. Sedangkan Tris kembali memasukkan mandau ke dalam sarungnya.

"Hebat. Ini namanya kekuatan dari rasa takut akan mati. Dari tadi ada gemeruh genderang di kepalaku, meneriakan kalimat, serang atau mati!" kata Zea dengan puas.

"Ya ... itu sudah menjadi sifat alami manusia untuk berusaha bertahan hidup," balas Tris dengan napas yang masih tersengal-sengal.

"Ngomong-ngomong." Zea mengelap cipratan hijau dari wajah dengan jaket yang dia kenakan dan melanjutkan perkataannya. "Sejak kapan kamu jago bela diri? Itu ... Kungfu? Ah, kalau tidak salah kamu pernah bilang ikut accapella (2)?"

"Capoeira (3), bodoh. Accapella itu teknik menyanyi," balas Tris mengkoreksi.

"Mau accapella, kek, atatu capoeira, kek, yang penting itu ada kaitannya dengan Spanyol."

"Hah? Bukan! Itu dua hal yang sangat berbeda, dan bukan berasal dari Spanyol, tapi Brazil."

Zea mendecap lidahnya. "Cerewet."

"By the way ... kok kamu tidak ngeluh lagi mau muntah? Hidungmu udah kebanyakan kemasukan slime?" sindir Tris sambil menunjuk cairan hijau pekat yang berserakan di atas tanah berlumpur.

"Terima kasih atas perhatiannya, Akak!" sindir Zea kesal. "Aku udah resisten. Apalagi dekat-dekat sama cewek rantasa (4) macam dirimu."

"Kamu lebih rantasa lagi!"

Setelah perdebatan sengit tentang siapa yang lebih busuk dari yang lain, Zea dan Tris melanjutkan perjalanan menuju pemukiman yang tidak jauh dari tempat mereka sekarang.

Sambil berjalan, Tris memandang tubuhnya dengan jijik. Laced blouse kebanggaannya tidak terselamatkan. Lumpur yang sudah mengeras memberikan motif baru untuk skinny jeans biru lautnya. Penampilan modis bak artis Korea sudah banting stir menjadi gembel dari gua hantu.

Tris menghentikan langkahnya. "Tujuan kita untuk mendapatkan air belum terpenuhi. Aku tidak mau bertemu sama yang lain dengan wujud seperti ini."

"Kita? Enggak salah dengar nih? Bukannya itu urusan masing-masing--eh, bukan, derita loe?" Zea kembali menyindir dengan penekanan nada di tiap tanda tanyanya.

Tris menggeretakkan giginya. Pertanda tidak suka. "Ya udah, kamu pergi sendiri sana, aku mau cari kolam air di sekitar sini." Gadis berambut gelombang itu menyibakkan rambut dan mengambil arah berlawanan dari seharusnya.

Zea sejenak memandang punggung Tris yang semakin menjauh, lalu menoleh ke jalan yang dipenuhi sinar merah dari pohon-pohon di sekelilingnya. Akhirnya Zea mengalah. "Hei, tunggu," panggil Zea sembari berlari mengejar Tris lalu menyamai langkahnya hingga mereka berdua berjalan saling bersisian.

"Kamu yakin ada kolam air di sekitar sini?" tanya Zea setelah mereka membisu selama beberapa menit.

"Yakin. Rumahku dekat tanah rawa. Walaupun rawa itu sering terkesan kotor dan berlumpur, kadang ada air yang bersih. Biasanya karena tumbuh tanaman seperti eceng gondok atau sejenisnya."

"Hooo ... gitu. Asiap, Ratu Rawa Sejagad."

Tris menatap penuh kebencian ke arah Zea. Cowok satu itu memang bisa diandalkan, tapi mulutnya minta disodokan sama batu. Gadis itu pun membuang muka dan spontan mempercepat langkahnya. Netra matanya berhasil menemukan sesuatu. Sebuah kolam air dengan bunga teratai mengapung di atasnya.

"Tuh, kan. Apa kubilang. Tris memang jenius," ujar Tris dengan bangga.

"Orang yang bilang dirinya jenius sebenarnya orang bodoh yang tidak mau menerima kenyataan," gumam Zea setengah berbisik.

Dipenuhi antusias, Tris berjongkok di tepi kolam dan mengadahkan tangannya ke air jernih itu. Seketika, ada tangan keriput yang meraih pergelangan tangan Tris dan mencengkramnya dengan erat. Menarik tubuh gadis itu ke dasar kolam.

"Brengsek!" Untungnya Zea segera menahan tubuh Tris masuk lebih dalam dengan menarik pinggulnya dari belakang.

Ketika sebagian besar badan Tris keluar dari air, mendadak tangan-tangan itu mulai muncul lebih banyak lagi. Berusaha menyeret Tris kembali ke dalam air.

Tidak putus asa, Zea terus menarik dengan kekuatan penuh hingga Tris benar-benar telah menjauh dari kolam mematikan itu. Mereka berdua terpaku melihat tangan-tangan yang meraih-raih udara kosong--yang telah kehilangan santapannya.

"Itu bukan teratai ... itu nenek-nenek bertangan banyak. Mirip gurita, tapi itu bukan tentakel. Tapi tangan!" Tris terbatuk-batuk, berusaha menjelaskan apa yang dia lihat di bawah sana.

Zea menatap tubuh Tris yang basah kuyup. "Yang penting kamu sudah enggak kotor lagi. Coba lihat sisi baiknya," komentar Zea sambil tersenyum miring.

"Kudorong kamu ke kolam itu baru tau rasa!" ancam Tris geram.

"Ya, ya." Zea tampak tidak peduli dengan ancaman itu. "Jadi, kita lanjut ke sana tidak?" Pria bertindik satu itu menunjuk berkas-berkas cahaya merah di kejauhan.

Tidak banyak berkomentar, Tris berdiri dan berjalan mendahului Zea. Membuat pemuda itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dasar cewek keras kepala."

Mereka pun tiba di sebuah jalan setapak. Pohon-pohon berbaris rapi di pinggir jalan. Semak-semak tinggi memberi jarak satu pohon dengan pohon yang lain. Daun-daun kering yang berserakan hancur selama mereka menapakan kaki.

"Tidak terasa kita sudah lama terjebak. Masih tidak ada tanda-tanda waktu akan bergerak." Zea membuka kunci ponselnya dan memandang sekilas jam yang ada di beranda.

"Aku yakin ada alasan kenapa kita bisa berada di sini. Dan semua jawaban, ada di Nia," kata Tris optimis.

"Nia, ya ... sebenarnya apa yang terjadi dengannya?"

"Malam sebelum dia menghilang, Nia sempat bilang ingin pulang cepat. Katanya sih, ada sesuatu yang tidak baik di hutan."

Zea tiba-tiba berhenti. Seolah habis tersambar petir, dia bergeming. "Kenapa kamu tidak bilang dari awal! Coba ditau, mungkin kejadian ini tidak akan terjadi," bentaknya yang membuat Tris menundukkan kepalanya.

"Ya, maaf," cicit Tris meraasa bersalah. Dia memang gadis yang tangguh, tapi dia tahu semua kejadian ini terjadi karena meremehkan Nia.

Zea menghela napas panjang. "Sudahlah. Toh mimpi buruk ini sudah berhasil menjerumuskan kita. Mau marah satu sama lain juga enggak akan menyelesaikan apapun."

Tiba-tiba Tris teringat satu hal terkait malam hilangnya Nia. "Zea, ada satu hal lagi yang dikatakan Nia."

"Oke, beritahu aku."

"Dia bilang--" Tiba-tiba ada dua tangan menarik kuat-kuat Tris ke dalam semak-semak.

***

(1) Pedang bermata satu (golok) yang pada umumnya digunakan menebas dan memotong seperti saber.

(2) Musik yang dinyanyikan secara solo atau grup hanya dengan menggunakan vokal atau tanpa menggunakan instrumen musik.

(3) Olahraga bela diri yang dikembangkan oleh para budak Afrika di Brasil pada sekitar tahun 1500-an.

(4) Dalam bahasa Makassar artinya kotor atau jorok.

***

Siapa yang suka atau pernah melakukan olah raga yang diikuti Tris dan Zea? Aku pernah ikut pencak silat tapi pengen ikut capoera. Sayang ... tubuhku tidak elastis wkwkwkwk. Minat olahraga kayak gini bisa membantu, loh. Selagi masih muda, yuk dicoba, hehehe.

Vote, vote, koment, koment. 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro