[ο] RENCANA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hmmm ..." Zea dan Cass bergumam dalam waktu bersamaan.

"Aku sudah menceritakan semuanya. Kalau tidak percaya, coba tanyakan pada Ann," kata Nigel yang menatap lekat-lekat Zea dan Cass secara bergantian. Dua hakim yang akan melayangkan keputusan terhadap nasibnya.

"Tris," panggil Zea dengan nada datar.

"Apa?" jawab Tris dengan malasnya.

"Penggal kepala Nigel."

"EHHH!" Cass berteriak sangat kencang, kaget dengan keputusan sobatnya itu.

Tapi di lain pihak Nigel langsung memasang wajah jengkel. "Kamu pasti bercanda, Zea."

"... Memang." Zea tersenyum miring dan dilanjutkan dengan suara kekehannya yang menyebalkan.

Spontan, sepatu pantofel hitam melayang ke wajah Zea. "Brengsek! Kamu hampir membuatku kena serangan jantung!" maki Ann yang tadi hampir pingsan ketika mendengar lelucon jahat dari Zea.

Disusul dengan sikuan keras yang dilayangkan ke pinggang Zea, membuat pria bermata sipit itu tersungkur tak berdaya setelah terkena dua serangan telak. "Kampret, kau Zea! Siala!" umpat Cass penuh kemarahan.

"Hehehe ... habis kalian serius banget dengarnya. Aku malah pengen ketawa," jelas Zea yang masih mencengkram erat pinggangnya yang merasakan gelid an sakit secara bersamaan.

"Apa isi kepalamu juga lagi dipengaruhi Eberus? Kalau iya, mari, biar kuhantam supaya kamu sadar kembali." Ann sudah bersiap untuk kembali melempar muka Zea dengan sepatu pantofelnya yang tinggal sebelah.

Nigel mengelah napas panjang. "Dia memang begitu. Tipe orang yang enggak bisa diajak bicara serius."

"Tapi aku bisa tau orang yang berbohong, ya kan, Nigel?"

"Iya ... kamu benar-benar peka kalau masalah begituan."

"Artinya Nigel berkata jujur?" tanya Cass kepada Zea.

"Yoi."

"Sejak kapan kamu tau?"

"Sejak dia bilang rela dikurung sampai dibunuh."

"Weee, bangsat! Bilang dari awal dong. Kalau ditau gitu, aku enggak bakalan terlalu menghayati sekali cerita Nigel. Dari tadi bulu kudukku berdiri terus."

"Hahaha." Zea tertawa puas.

"Liat, kan. Dia manusia paling tidak bisa dipercaya kata-katanya," komentar Ann sebal.

"Aku setuju denganmu, Ann," sahut Tris mengiyakan.

Nigel berdeham keras, menandakan teman-temannya untuk diam sejenak. "Kita sudah tau situasi yang ada dan sudah menyatukan pendapat. Sebelum keluar dari sini dan mencari Nia, kita harus menyusun rencana."

"Bukannya lebih baik kita cari tau dulu cara keluar dari sini, baru mencari Nia?" sela Tris sebelum semua orang menyetujui perkataan Nigel.

"Kita tidak boleh membuang-buang waktu untuk mencari tau hal yang belum jelas. Bukannya tujuan kita ada di sini adalah untuk menyelamatkan Nia? Kalau kalian lebih memilih mencari jalan keluar, biar aku saja yang pergi mencari Nia," jelas Nigel dengan mimik sangat teguh, walau sempat terdengar getaran di nada bicaranya.

"Tapi--" Belum selesai Ann berbicara; Zea, Cass, dan Xanor mengangkuk setuju.

"Kamu tadi mau bilang apa, Ann?" tanya Nigel memastikan.

"Tidak--tidak jadi." Ann memalingkan wajahnya, menggigit bibirnya kuat-kuat.

"Cass, Xanor ... kalian bilang Nia ada di seberang sungai?" Nigel melanjutkan diskusi mereka.

"Ya, kami yakin sekali," jawab Cass mewakili.

"Tunggu ... kita harus menyebrang sungai? Bukan kah ada monster ikan di sana?" Ann tampak ragu dengan arah pembicaraan yang ada.

"Tidak ada pilihan lain. Kita akan menyebrang dengan perahu, atau lebih tepatnya rakit."

"Maksudmu dengan bambu yang ada di dekat sungai?" tanya Cass.

"Atau ada pilihan lain? Apakah kamu melihat ada perahu nganggur di dekat sungai?"

Xanor menggeleng lemah. "Tidak ada."

Tris tiba-tiba mengangkat tangannya. "Ya, Tris, ada apa?" ucap Nigel sembari menoleh ke arah wanita yang tampak masih menatap Nigel dengan curiga.

"Jujur, aku belum bisa percaya denganmu."

"Itu hakmu untuk berpendapat dan aku tidak akan banyak berkomentar."

"Bagaimana kalau kita mencari petunjuk di luar? Mungkin aku bisa berubah pikiran," tantang Tris yang langsung bangkit dan berdiri di hadapan Nigel.

"Apa kamu yakin? Bukannya kamu tidak percaya sama aku?"

"Karena itulah aku harus mengawasimu."

Nigel menghela napas. "Terserah."

"Kalau gitu, ayo. Oh!" Tris tiba-tiba teringat sesuatu. "Hampir saja aku lupa memberitahu kalian. Ini tentang apa yang dibilang Nia sebelum menghilang."

"Oh iya! Kamu berhutang penjelasan dengan kami." Zea megajungkan tangannya tanpa malu ke arah Tris.

"Santai aja, keles! Ini juga mau dikasih tau." Tris risih dengan sikap Zea yang masih dendam dengan dirinya. "Malam itu, Nia sudah memberi tahuku setelah mengunci pintu dan kembali ke kamar. Dia bilang, bukan orang pedalaman yang jadi pelaku penculikan di sini."

"Itu sih udah kita tau," potong Zea tidak sabaran.

"Bisa diam sebentar enggak? Lama-lama kusleding, baru tau rasa."

"Iya, iya."

"Sampai di mana tadi? Ah iya, pelakunya bukan orang pedalaman atau orang yang tinggal di sekitar sini. Tapi seseorang yang kita kenal sejak lama."

Seketika keheningan menyerang. Mereka membeku, tidak menyangka dengan kata-kata terakhir Nia untuk teman-temannya. Bagaimana bisa ... mereka mengenal si pelaku? Tidak. Jangan-jangan, pelakunya ada di antara mereka berenam.

***

Nigel dan Tris sepakat untuk pergi berkeliling di sekitar desa yang belum sempat diselidiki. Zea, Ann, Cass, serta Xanor tetap tinggal di pos utama sambil menyempatkan diri untuk beristirahat. Karena Xanor mencemaskan kedua temannya yang pergi keluar, dia pun memilih untuk berjaga-jaga di depan pintu utama. Akhirnya yang tersisa di ruang tengah hanyalah Cass, Zea, dan Ann.

Baru saja Cass merebahkan badannya di atas tikar, saat itupula dia langsung terlelap dalam mimpinya. Melihat Cass tertidur, Ann berdiri dan berlalu tanpa mengucapkan apa-apa.

"Ann, kamu mau ke mana?"

Ann bergeming dan masuk ke kamar utama.

"Kenapa lagi tuh anak." Zea menyusul Ann ke dalam kamar.

Tidak suka diikuti, Ann pun berbalik. "Bisa tidak jangan ikuti aku."

"Lah, emang kenapa? Suka-suka aku dong mau ikut atau enggak. Aku juga bosan menunggu, malas juga tidur bareng cowok. Enakan tidur sama cewek," goda Zea sembari menatap nakal Ann dan kasur besar yang ada di depan mereka.

"Masih mau dipukul kepalamu, hah?" ancam Ann yang mengangkat kaki kanan dan melepas sepatu pantofelnya.

"Jadi kamu mau diriku yang serius? Okelah kalau begitu." Zea menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa tidak ada orang yang sedang menguping pembicaraan mereka berdua. "Kamu sebenarnya suka sama Nigel, ya kan? Ayo ngaku," kata Zea frontal.

Mendengar pernyataan Zea, membuat wajah hingga kuping Ann segera memerah. "Ko-ko-kok ... KOK KAMU TAU!" pekik Ann yang langsung menutup mulutnya karena kaget dengan suaranya sendiri.

"Sudah Nigel bilang tadi, kan. Tidak ada yang bisa melawan kejelianku ini. Tidak ada yang bisa menutupi perasaannya dari hadapanku," ucap Zea penuh kebanggaan, sampai-sampai hidungnya seakan tumbuh panjang sesenti.

"Kapan kamu tau?" tanya Ann malu-malu.

"Kapan ya ... aku sudah lupa. Kayaknya dari dulu."

"Dari dulu kapan!" tanya Ann tambah penasaran.

"Mungkin ... dari pas kita masih maba (1), pas ospek."

Tebakan Zea tepat. Hati Ann langsung tertembak pas di sasaran.

"Hahaha, betul, kan? Aku sudah tau dirimu Ann. Kamu kira perkelahian kita itu tidak ada alasannya."

"Maksudmu?"

"Oke, aku mengaku. Karena aku tau kamu suka Nigel, makanya aku suka ganggu kamu. Eh, tapi kamu harusnya berterima kasih kepadaku. Sebab dari pertikaian kita berdua, kamu jadi dekat sama Nigel. Betul enggak?" Zea berseringai penuh kemenangan.

Coba saja di sana ada mandau Tris, Ann tidak akan ragu-ragu untuk menikam Zea yang usilnya minta ampun. Namun, saat Ann teringat kata-kata Nigel yang ingin menyelamatkan Nia. Air mukanya pun meredup.

Menyadari perubahan suasana hati Ann, Zea pun melanjutkan perkataannya, "Sebenarnya kamu sangat mencemaskan Nigel. Kamu sangat tidak setuju dengan rencana kita untuk menyebrangi sungai, benar atau tidak?"

"Benar," jawab Ann lesu.

"Tapi tadi kamu takut menyatakan pendapatmu karena dirimu tidak mau dipandang egois sama Nigel."

"Benar."

Zea memijat-mijat keningnya, tampak bingung menghadapi kemurungan Ann.

"Mau sampai kapan kamu menyembunyikannya? Nanti Nigel nembak Nia, baru nyesel, gitu? Atau kamu mati duluan daripada dia? Beh, semoga tidak terjadi. Dari dulu kamu tau Nigel suka sama Nia, kan?"

"Iya, aku tau." Ann menunduk dan meremas bajunya kuat-kuat.

"Saranku, kamu harus kasih tau Nigel perasaanmu yang sebenarnya. Kalau bisa sebelum kita kembali bertemu dengan Nia." Zea membalikan badannya dan mulai berjalan kembali ke ruang tengah. "Tapi aku enggak tau waktu yang tepat. Karena kita sekarang ada di tengah-tengah masalah besar. Hidup dan mati tidak bisa diprediksi, loh."

Setelah sosok Zea telah menjauh dari kamar utama, dengan lemas Ann melangkah ke sudut kamar yang gelap, duduk, dan merangkul kedua lututnya erat-erat. Dan mulai menangisi kegundahan hatinya.

***

(1) Mahasiswa baru.

Uhhh ... kasian Ann lagi galau. Kalau kalian jadi Ann, apa yang kalian lakukan?

Jangan lupa vote dan komentarnya. 😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro