[υ] KEBANGKITAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ingatan yang selama ini dia segel rapat-rapat, berhasil terbuka akibat banjiran emosi yang begitu hebat. Memperlihatkan sebuah kenyataan mengerikan yang terkubur begitu lama.

***

Suara mobil berderu sepanjang jalan. Bangunan-bangunan di bahu jalan silih berganti di balik jendela. Nigel menatap kosong pemandangan yang membosankan dari kursi penumpang. Sedangkan pamannya fokus menyetir mobil dengan kecepatan standar.

Nigel baru pulang dari sekolah, seragam putih merahnya sudah kusut dan basah dengan keringat setelah bermain sepak bola untuk mengisi waktu sebelum dijemput pamannya. Teringat kejadian yang baru saja berlalu, Nigel kecil pun ingin bertanya kepada pamannya yang bijak.

"Paman," panggil Nigel memecah keheningan.

"Ya?" Paman Nigel menyahut tanpa melepaskan pandangan dari jalan raya.

"Tadi aku kan main bola sama teman sekelasku. Lalu, ada yang jatuh dan akhirnya menangis karena kakinya terkilir. Kenapa ya, teman-temanku kalau terluka sedikit saja menangis, sedangkan Nigel tidak?"

Paman Nigel sedikit tersentak mendengar pertanyaan tadi. Dia berusaha mencari alasan yang tidak membuat Nigel takut akan dirinya sendiri. "Artinya kamu kuat, Nigel."

"Kuat? Nigel kuat, ya, Paman?"

"Benar. Nigel bukan anak cengeng yang baru jatuh udah mengompol di celana."

Nigel mengangguk. Pria kecil itu sudah berumur tujuh tahun dan dia bangga akan kemandiriannya semenjak masuk di bangku sekolah. "Nigel memang sudah tidak mengompol di celana lagi. Tadi saja Nigel bisa pergi sendiri ke kamar kecil tanpa ditemani ibu guru."

"Pintar." Paman Nigel tersenyum bangga.

"Tapi ... kadang guru-guruku menatap Nigel dengan muka yang aneh dan selalu bertanya apa Nigel baik-baik saja. Apa Nigel terlihat aneh kalau Nigel lebih kuat dibanding teman-teman?"

Senyuman paman Nigel berangsur-angsur memudar. Namun, dia mencoba tetap berbicara dengan nada ceria. "Nigel juga bisa merasakan sakit, loh," ucapnya meyakinkan sambil membelokkan stir ke kiri, masuk ke sebuah gang, menjauh dari jalan raya.

"Masa? Aku mau merasakannya."

Paman Nigel tertawa terbahak-bahak. "Astaga, permintaan macam apa itu."

"Habis, aku tidak tau rasanya. Apakah sakit itu bisa membuat kita menangis seperti saat Ibu mengupas bawang?"

Nigel yang begitu polos kadang membuat pama Nigel ingin menangis. Dia begitu rapuh, begitu muda, tapi beban yang dia miliki terlalu besar untuk ditanggung dua bahu kecilnya.

Paman Nigel melepas salah satu tangannya dan mengelus kepala Nigel yang duduk kursi penumpang tepat di sebelahnya. "Nigel pasti akan merasakannya, suatu hari nanti."

"Benarkah? Sakit seperti apa itu, Paman?"

"Namanya, sakit dari dalam." Paman Nigel menunjuk dada Nigel dengan telunjuknya. "Sakit yang amat dahsyat itu berasal dari sini."

"Sakit dada?"

"Bukan, sakit hati."

***

"Tidak mungkin ... Paman?" Wajah Nigel pucat pasi, memandang orang yang sangat dia sayangi ternyata adalah pelaku semua malapetaka yang ada. Sang pengkhianat yang sebenarnya.

Rasa sakit itu menusuk-nusuk perasaan Nigel. Dia memang tidak bisa merasakan sakit secara fisik, namun serangan mental amatlah efektif dan bisa memberikan dampak dua kali lipat bagi dirinya. Pemuda itu mulai paham pembicaraannya dulu dengan sang paman tentang sakit hati sejalan dengan bertambahnya umur.

Kekejian, keserakahan, kemurkaan, kerakusan, keegoisan--begitu banyak keburukan satu manusia yang bisa berdampak ke manusia lainnya. Membuat mereka ketakutan, merana, marah, dan sedih. Jika manusia adalah makhluk sosial yang bisa membangun kebahagian bila bersama, maka tiang-tiang kemalangan bisa terbentuk akibat kebersamaan itu pula.

Nigel sudah tahu rasanya ketika orang-orang menjauhinya, mengkhianatinya dengan bertingkah baik di depannya, namun menusuk dari belakang. Dia sudah merasakan itu semuannya, sampai dia muak. Sampai ke titik di mana dia sudah tidak percaya dengan orang lain lagi. Namun, berkat adanya Zea, Nia, Ann, dan teman-temannya yang lain, dinding yang sudah dibuat untuk membentengi dirinya yang lemah perlahan runtuh. Setidaknya ... dia punya penompang baru bernama sahabat. Itu saja cukup.

Sayangnya, penompang milik Nigel perlahan lenyap, satu per satu. Dari Xanor hingga Zea. Kalau ditambah dengan Ann, Cass, dan Nia ... mau jadi apa Nigel sekarang? Ini semua salah pamannya. Pengkhianatan ini telah merenggut kebahagian yang Nigel dambakan.

Pria setengah baya itu berdiri tegak di tengah lingkaran sihir. Jubah hitamnya menyelimuti tubuhnya yang tinggi dan kekar. Tidak tampak bahwa dia sudah menginjak kepala lima. Kulit wajahnya yang sudah mulai kendur dan berkeriput, tidak terlalu menonjol dengan adanya luka gores besar yang tajam dan dalam. Manik cokelatnya tampak kosong dan hampa, seperti mata boneka yang tak bernyawa.

Pria itu tersenyum lebar ketika mata mereka saling bertemu. "Akhirnya kamu sampai juga ... Nigel."

"Tidak, tidak, tidak. Bohong. Kenapa Paman ada di sini!"

"Nigel ...." Nia menatap sendu ke sosok Nigel yang syok akan kenyataan yang harus dia hadapi.

"Bukannya Paman seharusnya ada di Itali? Lalu, lalu, Paman juga menghilang tanpa kabar. Ayah, Ibu--semua orang mencemaskan Paman. Terlebih Bibi, dia ...." Nigel tidak kuat melanjutkan perkataannya. Dia mengelum bibirnya kuat-kuat. "Apa yang sebenarnya terjadi selama ini? Jawab!" Nigel berbicara dengan penuh luapan emosi yang tak bisa dikendalikan. Rasa kaget, marah, sedih; membuat Nigel ingin meledak saja.

"Sebelum aku menjelaskan semuanya, tidak sopan sekali kalau aku tidak memperkenalkan diri kepada teman-temanmu yang telah beruntung sampai ke sini."

"Beruntung?" Cass kebingungan dengan ucapan dari Paman Nigel.

"Ficus Benjamina (1), paman Nigel. Senang bertemu dengan kalian."

"Hah, senang?" sindir Cass dengan nada tidak suka. Pria beralis tebal itu langsung berlari, mencoba melayangkan pukulan ke arah pria berjubah hitam itu. "Bangsat! Kau sudah membunuh teman-temanku!"

"Cass! Jangan!" Nia berteriak untuk menghentikan Cass. Sayangnya tidak berhasil, Cass sudah berada beberapa langkah dari Ficus.

"Berisik sekali." Ficus menggerakan tangan kanannya seperti menampar. Tidak ada angin maupun benda apapun, Cass seketika terpental hingga terjatuh ke jurang.

"CASS!" teriak Nigel, Ann, dan Nia.

"Sampai di mana tadi? Oh ya, terima kasih sudah mau berteman dengan Nigel. Mungkin hanya sampai di sini saja pertemuan kita. Ada urusan besar yang harus kulakukan setelah di sini."

"Apa maksud semua ini, Paman! Kumohon, hentikan."

"Nigel ... aku senang kamu sudah tumbuh sehat sampai sekarang. Tapi Paman harus melakukannya. Ini demi kebaikanmu."

"Kebaikan apanya! Paman sudah membunuh banyak orang. Pengorbanan warga desa ini sia-sia karena Paman. Sebenarnya, apa yang Paman pikirkan selama ini? Kukira Paman ...." Nigel kembali tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Seperti ada tangan tak terlihat yang mencekik tenggorokannya. Suara maupun napas begitu sulit untuk dikeluarkan. Mata cokelat yang identic dengan pamannya mulai berkaca-kaca, berusaha menahan air matanya keluar.

Ficus terdiam sebentar, lalu berkata dengan suara yang begitu lirih, "Dunia ini sudah rusak, busuk hingga ke akar-akarnya."

"Paman ...."

"Selama bertahun-tahun, aku terus mempelajari arti kehidupan dari berbagai sisi. Semakin kupelajari, semakin kutau bahwa dunia ini sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Berada di mana Tuhan sekarang? Apa Dia sedang melihat kita? Kenapa Dia tidak menghentikan semua manusia yang berbuat dosa? Mengapa Dia diam saja dan terus membiarkan semua umat manusia melakukan dosa? Kalau Dia memang hanya bisa melihat saja, maka biar aku yang menindak semuanya." Ficus menjelaskan dengan nada penuh penderitaan. Bagaikan dia memiliki luka yang teramat dalam, beban hidup yang terlalu berat dan sudah terlalu lama dia pikul.

"Apa maksudnya, Paman?" Nigel perlahan-lahan mendekati pamannya.

Ficus merengkuh dirinya sendiri, senyuman yang mengerikan berkembang di wajahnya. "Aku tidak bisa menyelamatkan siapapun, apapun. Jadi lebih baik, semuanya lenyap saja."

Nia merasakan pertanda buruk, bulu romanya berdiri seketika. "NIGEL, MENJAUH DARI PAMANMU!"

Tiba-tiba asap hitam pekat keluar dari mulut Ficus. Dalam waktu singkat, asap itu mencoba untuk menyerang Nigel. "Nigel, aku tidak mau kamu hidup di dunia yang bobrok ini. Aku tidak bisa melindungimu terus. Karena itu, lebih baik dunia ini ditelan oleh kegelapan."

Semua terjadi begitu cepat. Nigel yang mencoba melindungi dirinya sendiri tidak menyangka bahwa Ann berhasil berdiri di depannya, menjadi tameng untuk Nigel, sebelum terlambat. Tanpa mereka semua sadari, Ann yang sudah dilupakan keberadaannya tadi, sudah berlari mendekati Nigel dari belakang sebelum Nia memperingatkan pemuda itu.

Asap itu memukul keras tubuh Ann. Membuat gadis berambut ikal itu seketika lemas tak berdaya.

"Ann!" Nigel langsung menangkap tubuh Ann yang terkulai di atas tanah.

"Tidak ... Ann ... Ann, Ann!" Nigel mencoba terus memanggil Ann, menggoyangkan tubuh gadis itu. Tapi sayangnya tidak ada respon sama sekali. Napas Ann semakin menipis.

"Kalau begitu." Nigel menaruh kedua telapak tangannya di pipi Ann, dahi mereka saling bertemu satu sama lain. "Kumohon, berhasillah."

Ficus menyadari sebuah perubahan yang terjadi pada keponakannya itu setelah serangan tadi. "Nigel? Jangan-jangan kamu--"

Spontan, cahaya terang menyinari seluruh tubuh Ann. Cahaya yang hangat dan lembut berhasil memukul mundur kegelapan di sekitar Nigel dan Ann.

"Ternyata kamu sudah bangkit, Nigel. Ah, bukan, maksudku, Apollo (2)."

***

(1) Pohon pencekik (strangler tree) ini bernama lokal beringin, waringin, caringin (Sunda) atau ringin (Jawa). Beringin adalah pohon yang memulai hidupnya sebagai epifit ketika bijinya bersemai di celah atau retakan pohon induknya.

(2) Dewa musik, ramalan, panahan, penyembuhan, dan masa muda. Dia adalah saudara kembar Artemis. Apollo merupakan putra Titan Leto, anak perempuan Titan Koios dan Foibe. Ia terkenal dengan nama Foibos Apollo, dan dengan demikian dikenal pula sebagai dewa cahaya dan matahari.

***

Apakah Ann akan selamat? Apakah mereka bisa menghentikan Ficus? Jangan lupa vote dan komentar kalian untuk mendukung cerita ini. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro