Bab 1 (Mala Petaka Baru)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

D  U  D  A     S  A  H  A B  A T K U

(Bukan maksudku merebut suamimu)

🌸🌸🌸

"Rumah ini bukan panti sosial. Wanita hamil mana pun bisa seenaknya tinggal di rumah ini."

"Hanya untuk beberapa hari, Mas. Serena sahabatku. Orang yang pernah kutitipi balas budiku. Kasihan, Mas."

"Jadi, kalau kamu hutang balas budi, semua orang bisa begitu saja tinggal di rumah ini?!"

Tari menggeleng ragu. Ah, walau ia menepis ujaran Aaraav, suaminya itu tak akan tahu. Pria bertubuh atletis dengan kulit sewarna zaitun yang dengan halus menyelimuti struktur otot dan tulangnya itu, setia duduk membelakangi.  Sibuk melepas atribut yang melekati tubuh. kancing lengan kemeja, dasi, terakhir kancing kemeja. Setelahnya, menanggalkan kemeja water chestnut itu, lalu mengonggokannya sembarangan.

"Kenapa, diam?" tanya Aaraav, saat Tari bungkam. "Suruh dia pulang," putusnya.

"Nggak bisa, Mas. Dia benar-benar butuh bantuanku."

Araav yang tak sabar dengan penolakan istrinya, seketika beranjak dari duduk. Mengintimidasi Tari dengan sorot mata tajamnya. Bisa-bisanya, suami pulang dari kerja--larut malam begini--- bukan disuguhi kopi, malah disuguhi permintaan yang tak masuk akal.

Tari mundur beberapa langkah. Pada mode ini, Araav tak bisa lagi dibantah. Wajah pria itu mengeras. Badai petir bisa mengancam kapan saja.

"Hanya tiga hari, Mas." Tari masih mencoba. Suaranya lirih, diiringi tiga jarinya yang mengudara.

"Nggak. Suruh dia pulang."

"Mas ... kumohon. Kondisinya sedang tidak memungkinan untuk pulang. Serena pucat dan lemas. Dengan kondisinya ini, keluarganya akan curiga."

Aarav menyipitkan mata. Meneliti wajah takut bercampur khawatir sang istri.

"Siapa suruh wanita itu hamil di luar nikah! Hasil kejalangannya sendiri, kenapa orang lain yang disusahkan."

Tari membelalak. Aarav mengucapkan penghinaan itu dengan keras. Jelas, Serena yang duduk di ruang tamu pasti mendengarnya. Seketika Tari menekan bibirnya dengan jari telunjuk, meminta Aaraav diam.

"Ssttt ... Serena bisa dengar, Mas. Nggak enak," lirihnya.

Aarav berdecak.  Mengibaskan tangannya tak peduli, lalu melenggang pergi ke arah kamar mandi.

Dan, benar saja dari balik pintu kamar itu, semua terdengar jelas. Sembari membenahi anak rambutnya yang menutupi pandangan, Serena beranjak dari duduk. Teh hangat yang masih mengepulkan asap di atas meja, tak terjamah sama sekali. Ia terlalu kenyang dengan penghinaan yang baru saja di dengarnya. Melukai harga diri---satu-satunya penghargaan yang selalu ia jaga sebelum kejadian memalukan itu terjadi.
Semua hancur dalam satu malam. Bersama pria yang tak diharapkan. Bahkan sampai detik ini, Serena tak tahu siapa ayah dari anak yang sedang di kandungnya ini.

Sekali lagi, penghinaan itu terngiang di telinga, sudah bagaikan ratusan inang yang memekakkan telinga. Kata jalang menjadi selimut tubuh. Semua orang pun pasti menganggapnya sama, seperti halnya suami Mentari menganggapnya.

Gontai dan lemas, Serena melangkah menuju pintu. Satu-satunya orang yang diharapkan dapat membantu, nyatanya tak dapat menjadi tempat pelarian untuk sementara. Sebaiknya ia pergi sebelum kehadirannya menjadi masalah bagi rumah tangga Mentari.

"Ren, mau ke mana?"

Pintu yang sudah terbuka, ia tutup kembali. Serena menoleh, mendapati Tari berdiri di depan pintu kamarnya cemas. Rumah Tari yang memang berukuran minimalis, membuat jarak setiap ruang terpangkas dengan cepat.

"Pergi, Tar. Sebaiknya aku menginap di hotel saja."

"Jangan. Kondisimu lemah, Ren. Apalagi ini sudah larut malam."

Bersamaan, Serena dan Tari melihat ke arah jam dinding yang tergantung di atas lemari pajangan. Pukul sepuluh malam.

"Aku nggak mau bikin kamu repot, Tar."

Cepat, Tari mendekati Serena. Mencekal pundak sahabatnya itu halus. Wajah polos tanpa riasan itu pucat. Rambut panjang sebahunya yang tegerai, sedikit menyamarkan tulang pipi yang terlalu menjorok ke dalam.

"Nggak! Nggak merepotkan."

"Tar, jangan hanya karena ingin menolongku. Kamu dan suamimu jadi bertengkar. Maaf ... tapi aku mendengar semuanya."

Mimik wajah Tari kian tegang.

"Sudah, aku menginap di hotel saja."

"Aku antar."

"Nggak usah, Tar."

Cekalan Tari mengendur. Sembari menguntai senyum, Serena melanjutkan tujuannya pergi dari rumah itu.

Selangkah ... dua langkah. Semua baik-baik saja, sampai rasa mual dan pening yang teramat melumpuhkan persendiannya. Dalam hitungan detik, Serena limbung dan kehilangan kesadaran.

***

Seperti gayanya menghadapi segala masalah, Serena menghadapinya dengan tenang dan santai. Gesit, tangkas, dan independen. Wanita yang mulai memasuki usia matang itu, tak pernah memiliki masalah yang cukup rumit untuk dihadapi.

Namun, kali ini irama hidupnya yang tenang bagaikan air mengalir, mendadak bergejolak. Masalah terlalu pelik untuk dapat dihadapi seorang diri. Bukan putus cinta, di PHK dari perusahaan. Melainkan hal besar yang memalukan. Ini bukan Amerika, Australia, atau negara antah berantah, yang menganggap hamil di luar nikah perkara biasa. Ini indonesia, dengan kultur ketimuran yang melekat kuat di masyarakat. Apa kata dunia?!

Apalagi ini Serena Yudisio, manager personalia yang terkenal memiliki tameng sekeras baja---tak mudah ditaklukkan sembarang pria---kecuali Adam, sang kekasih. Kini, ia sedang mengandung janin yang tak diketahui asal usul si penyumbangnya.

Mengerjap, Serena menyeimbangkan cahaya yang masuk ke kornea mata. Samar, ia melihat perabot asing yang tak terkenali. Sensasi hangat menggenggap pergelangan tangannya ringan.

"Kamu sudah bangun?"

Ah, ia kenal suara itu. Mentari.

Disasarnya sosok wanita berambut pirang berpotongan straihgt hair tersebut nanar. Tubuhnya yang benar-benar tak bertenaga serta bibirnya yang tak kuasa terbuka, pasrah saja akan keputusan Tari untuknya.

"Untuk malam ini kamu harus tinggal di sini. Setidaknya sampai besok pagi. Siapa tahu, suamiku berubah pikiran. Kalau kamu ingin pergi, besok pagi aku antar. Kita cari hotel yang jaraknya dekat dari sini. Jadi, aku bisa mengunjungimu saat senggang."

Itu titah dan tak boleh dibantah. Serena mengangguk lemah. Untuk malam ini saja, biarkan dia tidur nyenyak---saat semua rasa lelah itu telah berkumpul jadi satu. Biarkan masalah ini ia pikirkan lagi besok. 

Serena kembali memejamkan mata. Di antara bayang gelap yang kian pekat, suara menakutkan itu hadir. Hal satu-satunya yang ia ingat dari lelaki yang telah merampas harga dirinya.

"Sayang, tubuhmu milikku."

***

Siapa kira-kira yang menghamili Serena, ya?

Tinggalkan komentar dan likenya ya manteman.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro