Babak 23: Tanpa Sayap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dalam sekejap petir menyambar, disusul gemuruh guntur memenuhi langit yang dipenuhi awan hitam. Alvin menoleh ke dinding kaca di sebelah kanannya, sedikit mendongak, tidak menyangka akan ada perubahan cuaca yang cukup ekstrim. Saat dia menuju kafe itu, dia bersumpah tidak melihat awan satupun. Entah dari mana asalnya, awan yang seolah menambah suasana mencekam di sana memenuhi sepanjang mata memandang. Bergumpal-gumpal penuh kesuraman. Terlihat seperti latar klise di dalam film horor.

Setelah mengetahui jalan permainan kali ini, mereka memutuskan menghabiskan waktu sendiri-sendiri. Menjaga jarak satu sama lain. Entah disebabkan kebiasaan orang-orang di zaman sekarang yang ketergantungan dengan internet, kehilangan kebutuhan yang sudah bisa disetarakan dengan nasi, membuat mereka bingung menjalani sisa hari yang tersisa. Atau sebenarnya ... mereka berusaha menyembunyikan sisi kelamnya masing-masing.

Siapa coba yang ingin terlihat lemah, aneh, menakutkan, hingga menjijikan? Tidak ada. Meski mereka tahu tiap insan di dunia ini pasti memiliki rahasia tergelapnya, tapi itu adalah aib yang tidak boleh sampai diketahui siapapun. Sebab setitik noda hitam di atas putih tidak akan mudah hilang dari ingatan yang pernah melihatnya. Buktinya Xanor masih saja meringkuk seperti bola besar di sofa. Sebuah selimut menutupi seluruh tubuhnya, kebaikan dari Cass yang ingin memberikan sobatnya yang terguncang itu sedikit privasi.

Sendirian di meja bar yang memanjang, Alvin menyesap kopi seduh racikannya sendiri yang berakhir pahit dan asam sebab dirinya terlalu percaya diri menjadi barista dadakan. Alvin menghela napas, kemudian meraih sebotol air mineral untuk membasuh bibir dan lidahnya.

Di dalam keriuhan hujah deras dan angin kencang, sebuah keanehan dialami Alvin. Dia dapat mendengar suara sayup-sayup di luar, pemuda itu menoleh ke arah sekat kaca yang mengarah ke area outdoor di samping kafe, di tengah-tengahnya terdapat pohon beringin muda yang tingginya sudah mencapai atap dari gedung berlantai satu itu. Ada sesuatu yang bergerak di bawah bayangan pohon.

Sementara memperhatikan, sesosok bayangan muncul dan melangkah ke arahnya. Alvin terkejut bukan main. Petir untuk kesekian kali menyambar, membuat gumpalan awan hitam terlihat menghilang dalam sepersekian detik. Guntur bergemuruh kencang membuat ngilu telinga. Sesaat bayangan itu mendekat dan disinari cahaya terang dari langit. Alvin semakin yakin dia melihat mendiang adik laki-lakinya sedang berdiri di sana, bermandikan cairan merah di sekujur tubuhnya.

Kakak.

Alvin merasa mendengar tiga suara berbicara bersamaan; suara adiknya yang amat dirindukan, suara ibunya yang menenangkan, dan suara berat nan tegas ayahnya. Ketiga suara itu terdengar bersahut-sahutan sehingga Alvin tidak tahu siapa yang terakhir atau lebih dulu berbicara.

Alvin heran mendapati dirinya mulai menangis. Tapi hal itu tidak dia biarkan begitu saja. Dia tidak ingin ilusi itu mempengaruhinya. Sambil menahan air matanya agar tidak jatuh, Alvin mengalihkan pandangannya. Alvin menelan ludah dan menelan lagi. Sayangnya tindakan itu tidak dapat menghentikan air mata menitik.

Rasa penyesalan, kesedihan, dan kemarahan mulai membakar dari dalam. Sekujur tubuh Alvin merasakan demam yang tidak menghasilkan panas di dahi sampai tengkuknya. Sebuah pertanda di mana serangan PTSD-nya kembali menyerang. Depresi yang dilapisi emosi negatif yang tak tertahankan.

Bagaimana dia tahu nasib keluarganya akan sehancur ini? Dia tidak bisa memprediksi apa yang akan menimpa dirinya atau orang yang dia sayangi. Alvin bukanlah peramal atau ahli nujum. Dia hanyalah manusia biasa yang sekarang menjadi manusia cacat. Namun jika dia bisa menggunakan hal mustahil seperti sihir, dia ingin bisa memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan, agar dia bisa mencegahnya. Namun, itu cuman mimpi di siang bolong. Itulah yang membuatnya sedih.

"Alvin? Kamu kenapa?" Ivy yang entah mengapa lebih sering diam saat permainan kedua ini dimulai, akhirnya mengeluarkan suaranya. Selama ini dia terus mengikuti Alvin dari belakang.

"Ah, tidak. Aku tidak apa-apa. Mungkin ... sebaiknya aku tidur dulu. Dari kemarin waktu istrihataku tidak ada." Alvin melipat kedua tangannya di meja kemudian menenggelamkan wajahnya di sana.

Ivy tidak berbicara lagi. Dia tahu hanya akan menjadi masalah jika dia kembali menanyakan keadaan pemuda itu. Setidaknya istirahat bukanlah ide yang buruk.

Namun waktu yang tenang itu berubah dalam selang lima menit berikutnya.

Suara jeritan wanita terdengar di bagian belakang kafe. Spontan semua orang berdiri dari tempatnya bernaung. Alvin mengedarkan pandangan, mencari siapa yang tidak ada di sana. Cass ada di area meja keluarga, tepat di seberang Xanor. Sedangkan Raka dan Hana masih di tempat yang sama, saling bergandengan tangan seperti tali yang disimpul kuat. Tersisa Clarisa yang entah di mana keberadaannya.

"Jangan-jangan ...." Alvin yang posisinya tidak jauh dari sumber suara, bergegas berlari, terpincang-pincang menuju ruangan yang diyakini sebagai ruangan staf, di mana Pak Erik berada. Mereka semua--kecuali Xanor, berbondong-bondong mencari tahu apa yang terjadi di sana.

Petir mendadak menyambar lagi, namun hal itu tidak membuat langkah mereka tertahan. Suara guntur terdengar membahana. Alvin mendorong pintu dengan dua daun pintu itu secara bersamaan, mendapati Clarisa yang berdiri terpaku di tempatnya.

Dia berdiri membeku. Matanya melotot dan tidak berkedip. Setelah teriakan itu, dia tidak berkata apa-apa. Dia tidak melakukan apapun. Dia hanya berdiri di sana, bergidik ketakutan menatap sesuatu yang berayun-ayun di udara.

Tubuh Erik berkelepai-lepai di udara, seakan dia melayang tanpa sepasang sayap. Hanya rantai panjang yang melingkar di lehernya yang menahan tubuh itu agar tidak tersentuh tanah.

Sementara semua pasang mata tertegun melihat tubuh tak bernyawa itu, Alvin mendapati keganjilan lainnya. Di ruangan tanpa jendela itu, sebuah lampu meja menyala terang di sudut ruangan, menyinari sebuah amplop putih yang terbungkus rapi di sana. Dia memutuskan untuk mengambilnya.

"Hei! Alvin! Apa yang kamu lakukan?" bentak Cass dari kejauhan. Dia tidak dapat menyusul juniornya itu sebab dia masih syok dengan mayat yang ada di hadapannya.

"Ini ... surat wasiat," ucap Alvin sambil memperlihatkan tulisan yang ditorehkan di depan surat.

[Siapapun yang menemukan surat ini, tolong baca, kemudian bakar sampai habis.]

Tetap semangat dan jangan self-diagnosa, oke? Penyakit mental bukanlah sesuatu yang keren atau dibanggakan.

#mentalhealthismatter

*** *** ***
Author note:

WARNING!

If you reading this story on any other platform OTHER THAN WATTPAD, you will risk of a malware attack. If you wish to read this story safety, read this in THE ORIGINAL web! Please, support the author with some respect.

Thank you,

Hygea Galenica

--- --- ---

PERINGATAN!

Jika Anda membaca cerita ini di platform lain SELAIN WATTPAD, Anda akan berisiko terkena serangan malware. Jika Anda ingin membaca cerita ini dengan aman, bacalah di web ASLI! Tolong, dukung penulis dengan cara yang lebih terhormat.

Terima kasih,

Hygea Galenica

*** *** ***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro