(48) Sensitif - Norway [Lukas Bondevik]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sensitif"

Request dari Utsulicca

Fandom: Hetalia

Norway x Sensitive!Petite!Reader

Happy Reading!

"(Name)."

Mendengar seseorang memanggil namanya, membuat perempuan mungil berambut (h/c) menoleh dan melihat laki-laki yang lebih tinggi darinya, dan memiliki rambut yang unik.

"Matthias, ada apa?" tanya (Name) memiringkan kepalanya.

Matthias, laki-laki asal Denmark itu langsung tersenyum lebar.

"Tidak apa-apa, aku hanya ingin mendengar suaramu," ucap Matthias mengusap kepala (Name)—sekaligus mengacak rambut (h/c)nya.

(Name) berkedip berberapa kali, kemudian mengerutkan alisnya dengan heran—menatap Matthias yang sudah pergi.

"Jangan dipikirkan, (Name)," ucap Tino berdiri di sebelah (Name), "Matthias selalu begitu sebelum café dibuka, kan? Selalu memanggilmu."

"Benar juga," jawab (Name) mengangguk, "tapi kenapa hanya padaku?"

Tino tampak kaget dengan pertanyaan (Name), kemudian mengelus kepala (Name)—merapikan rambutnya yang sempat diacak Matthias tadi.

"Karena kau sumber penyemangat bagi semua staff Hetalia Café."

Hetalia Café, tempat (Name) bekerja, adalah café terkenal di Jepang karena staff mereka yang terbilang tampan dan cantik. Karena itulah café ini tidak pernah sepi pengunjung—entah pengunjung ingin menikmati menu yang mereka sajikan, ataupun cuci mata dengan melihat staff yang menyegarkan mata. Selain penampilan, staff yang bekerja di café Hetalia adalah staff yang berhasil melalui tes yang ketat.

Semua staff yang bekerja di café ini berasal dari negara yang berbeda—beberapa pengecualian untuk mereka yang bersaudara (dari Jerman) dan mereka yang kembar (dari Italia). Alasan dari syarat ini adalah untuk memudahkan komunikasi dengan pelanggan, jika pelanggan itu tidak berasal dari Jepang. Walaupun begitu, para staff juga harus lancar berbahasa jepang untuk pelayanan sehari-hari.

Seperti Matthias yang berasal dari Denmark, dan Tino yang berasal dari Finlandia. Sedangkan (Name) sendiri adalah staff yang berasal dari Indonesia.

Ironisnya, walaupun café-nya berada di Jepang—negara timur, mayoritas staff yang bekerja di café ini adalah staff yang berasal dari negara barat.

Karena berasal dari negara timur, tubuh (Name) terbilang mungil bagi para staff yang kebanyakan berasal dari negara barat. (Name) bahkan lebih pendek dari Kiku (manajer café) yang adalah staff laki-laki terpendek. Tingginya yang tidak mencapai 170 membuat (Name) dicap 'staff marmut' oleh semua staff yang kebanyakan adalah laki-laki.

Syarat selanjutnya adalah, mereka tidak mendaftar—melainkan pemilik dari café ini yang menarik mereka dan menjadikan mereka staff. Oleh karena itu, tidak ada pencarian staff baru—kecuali staff itu memang ditarik dari pemilik café itu sendiri.

"Oh—aku harus bekerja," ucap (Name) tersadar kemudian hendak berjalan ke ruang staff, melihat tugas apa yang dia dapat hari ini.

"(Name)! Dudette!"

"Hyaa!"

Tiba-tiba ada yang mengangkat (Name) dari belakang—layaknya anak kecil, membuat iris (e/c)nya melebar kaget dan memekik kaget. (Name) menoleh ke belakang—dan melihat laki-laki berkacamata sedang tersenyum lebar kepadanya.

"Alfred," sapa (Name) mengangguk canggung—kemudian diturunkan oleh Alfred, "ada apa?"

Lagi-lagi sama seperti Matthias, Alfred mengelus kepala (Name)—tak lupa sedikit mengacaknya.

"Aku ingin mendengar suara sidekick-ku sebelum bekerja sebagai hero," ucap Alfred kemudian meninggalkan (Name).

'Mereka semua menganggapku seperti anak kecil,' pikir (Name) merapikan rambutnya.

Setelah merasa rambutnya sudah rapi, (Name) pun kembali berjalan. Saat (Name) sampai di ruang staff, iris matanya menangkap seorang laki-laki yang sedang menatap papan tugas dengan tatapan datar. Sadar ada yang memasuki ruang staff, laki-laki itu menoleh dan terjadi kontak mata antara mereka.

"Oh—pagi, (Name)."

(Name) berkedip berberapa kali, 'Aku tidak pernah bertemu laki-laki ini sebelumnya?'

"Anko selalu membicarakanmu," ucap laki-laki itu mendekati (Name), "kita tidak pernah bertemu karena jadwal kita tidak pernah sama. Namaku Lukas," lalu lak-laki itu mengulurkan tangannya.

"O-ooh, halo Lukas," ucap (Name) lalu membalas uluran tangan Lukas.

Lalu, Lukas mengenggam pelan tangan (Name)—mengagetkan perempuan itu.

"Benar kata para staff, kau memang mungil—staff marmut," komentar Lukas melepas jabat tangan mereka.

Pipi (Name) memerah, kemudian mengembungkan kedua pipinya—sambil menatap Lukas yang jauh lebih tinggi darinya itu dengan tatapan tak terima.

"Aku bukan marmut," protes (Name).

Tiba-tiba Lukas memegang kedua pipi (Name), "lihat—wajah ngambekmu saja seperti marmut."

Iris (e/c) (Name) melebar—dan pipinya jadi semakin merah. Saat (Name) hendak menyahut, Lukas sudah melepaskan pegangannya dari pipi (Name).

"Kita akan ditegur Kiku jika terlalu lama, kau bertugas membuat kopi, kan? Hari ini kita patner," ucap Lukas berjalan melewati (Name).

(Name) membuka mulutnya, tapi kemudian menutupnya kembali lalu berjalan di sebelah Lukas.

'Ekspresi Lukas tidak berubah sedari tadi,' pikir (Name), 'aku penasaran dia dari mana.'

"Aku dari Norwegia."

(Name) berkedip sekali, "apa aku mengucapkannya tanpa kusadari?"

Lukas hanya melirik (Name) sejenak, "wajahmu mengatakan semuanya."

(Name) menunduk malu, "e-eehh...."

Mereka berdua sampai di tempat mereka bekerja hari ini—tempat membuat kopi dan minuman panas lainnya. Mata (Name) langsung tertutup saat mencium aroma khas kopi, dan dia sedikit tersenyum.

"Dan kau sendiri, dari Indonesia, kan?" tanya Lukas mengagetkan (Name), berjalan ke kompor untuk membuat persediaan air panas.

"E-eeh, i-iya," jawab (Name), "Lukas tahu banyak tentangku—aku jadi bingung ingin cerita apa lagi," gumam (Name) mengambil gelas lalu membersihkannya dengan kain.

"Anko banyak cerita tentangmu saat kami dapat tugas bersama," sahut Lukas.

"Anko?"

"Matthias."

"Ooh."

Suasana menjadi sunyi, (Name) dan Lukas sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Sampai ada seorang laki-laki masuk ke ruangan mereka.

"Black coffe dan cappuchino," ucap laki-laki itu.

"Oh, Arthur," sapa (Name) menyadari alis tebal sang laki-laki, berjalan ke meja pembuatan dan mulai membuat pesanan yang disebutkan tadi, "ah Lukas—aku membuat cappuchino ya."

"Kalau begitu aku black coffe," sahut Lukas berdiri di sebelah (Name).

"Hari ini kau bekerja dengan Lukas, ya?" tanya Arthur duduk di dekat meja tempat (Name) berkerja.

(Name) mengangguk, "bagaimana dengan pelayan hari ini?"

"Aku, Matthias, Alfred, Gilbert, dan Elizabeth," jawab Arthur.

"Selamat bekerja, kalau begitu," ucap (Name) menyerahkan secangkir cappuchino, bersamaan dengan black coffe buatan Lukas.

"Ya, kalian berdua juga," sahut Arthur keluar dari ruangan.

Suasana kembali sunyi. Sampai tiba-tiba—

"Ack!"

Lukas menoleh ke arah (Name), yang kini sedang memegang tangan kanannya.

"Apa kau baik-baik saja, (Name)?" tanya Lukas mendekati (Name).

"Aku baik-baik saja," ucap (Name) tersenyum.

Lukas tidak merespons, tapi dia langsung mengenggam tangan kanan (Name) dengan tangan kirinya dan melihat punggung tangan kanan (Name) yang memerah.

"Aku hanya terkena sedikit air panas," ucap (Name) berusaha menarik tangannya, tapi tak digubris Lukas.

"Sedikit, tapi tanganmu terlihat seperti habis disiram air panas," sahut Lukas menekan bagian yang merah dengan jari tangan kirinya—membuat (Name) sedikit tersentak kaget.

"I-itu karena kulitku sensitif," ungkap (Name), "aku tidak bisa bertahan di panas matahari terlalu lama—kulitku aka cepat merah dan bisa mengelupas jika aku tetap di luar."

Lukas menatap lama (Name), kemudian dengan tangan kanannya yang bebas, Lukas mulai mengelus tangan (Name).

"Apa yang kau lakukan Lukas?" tanya (Name), "lukanya akan sembuh sendiri nanti."

Tapi cahaya kecil menarik perhatian (Name), dan perempuan itu melihat cahaya kecil berwarna biru muncul dari jari Lukas yang menyentuh punggung tangan (Name).

"Eh—aku tidak merasakan sakitnya lagi? Walaupun kulitku masih merah," kaget (Name) melihat punggung tangannya setelah Lukas melepaskan pegangannya, "tunggu—" (Name) menatap Lukas dengan tatapan syok, "jangan-jangan ini yang sering Arthur lakukan—kau memakai sihir?"

Lukas meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya, lalu sedikit tersenyum.

"Rahasiakan ini, ok?"

Seketika (Name) merasakan pipinya menjadi panas—sejak bertemu di ruang staff tadi, baru kali ini Lukas tersenyum, and damn that's too much to handle.

"B-b-b-b-baik!" ucap (Name) gugup.

"Dan satu lagi," ucap Lukas.

Lukas kembali mengambil tangan kanan (Name) dengan tangan kanannya, kemudian menautkan jari-jarinya dengan jari tangan (Name)—yang refleks ikut menautkan jarinya.

"Ada apa, Lukas?" tanya (Name).

"Menyembuhkan bekas merah di punggung tanganmu," jawab Lukas singkat.

Sebelum akhirnya mencium punggung tangan (Name).

.

.

.

Omake:

"LUKAS!! CAPPUCHINO DUAA~" ucap Matthias memasuki ruang kopi.

Lalu laki-laki asal Denmark itu melihat (Name) yang sudah seperti kepiting rebus.

"(Name)!? Apa kau tadi keluar?" kaget Matthias langsung memegang kedua pundak (Name).

"Eh, aku disini dari awal jam kerja?" jawab (Name) bingung.

Kedua tangan Matthias berpindah ke pipi (Name).

"Wajahmu merah lho! Apa kau kena air panas?"

(Name) berkedip berberapa kali, kemudian menggeleng dan akhirnya menjelaskan semuanya pada Matthias, kecuali (Name) tidak menjelaskan bahwa Lukas memakai sihir.

"Jadi—Lukas mencium tanganmu yang terkena air panas?"

(Name) mengangguk pelan. Diluar dugaan Matthias langsung berjalan mendekati Lukas yang sedang membuat pesanan.

"Hei Lukas! Tanggung jawab karena telah—"

"T-t-tunggu dulu Matthias—bukan salah Lukas kok! Kau tahu kalau kulitku sensitif, kan!" ucap (Name) menarik tangan Matthias, "dan juga Matthias—berhenti menceritakan diriku pada Lukas! Aku jadi tidak tahu ingin memberitahu apa lagi tentangku pada Lukas."

Ucapan (Name) membuat Matthias berhenti.

"Aku?" heran Matthias, "aku tidak pernah menceritakanmu pada Lukas?"

(Name) berkedip berberapa kali, "e-eh, tapi Lukas bilang...."

Matthias terdiam, sebelum akhirnya menyeringai lalu berbisik ke telinga (Name).

"Tanpa kuberitahu pun, Lukas sudah tahu banyak tentangmu, sampai jadwal bekerjamu karena dia—"

"Anko, dua cappuchino."

Tiba-tiba ada yang menarik dasi Matthias, yang membuatnya menjauh dari (Name). Perempuan itu menoleh dan melihat Lukas dengan tangan kanannya membawa nampan yang diatasnya ada dua cappuchino, serta tangan kirinya menarik dasi Matthias—mencekik laki-laki itu perlahan.

"Lukas, k-k-kau mencekikku—"

Perhatian Lukas berpindah ke arah (Name) yang wajahnya masih merah.

"Ada apa dengan wajahmu (Name)? Merah sekali," tanya Lukas melepaskan pegangannya dari Matthias, yang kemudian memberikan nampannya pada Matthias.

"E-ehm bukan apa-apa kok!" ucap (Name) melambaikan kedua tangannya dengan panik.

Tapi diluar dugaan, Lukas sedikit menunduk lalu mencium hidung (Name).

"Apa perlu kucium seluruh wajahmu agar bisa kembali normal?" tanya Lukas menyeringai lebar.

(Name) syok, lalu pingsan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro