Acknowledgement

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Korban-korban luka sudah mendapatkan perawatan medis yang lebih layak dan otoritas juga sudah mengamankan lokasi rubuhnya kedai. Sofiya yang tentu saja tidak mau identitasnya diketahui oleh para otoritas sudah lebih dulu menghilang dari lokasi. Begitu pula dengan Zayne yang mengetahui Sofia menyelinap pergi diam-diam, bergegas pergi dari tempat itu juga.

“Kau mau kemana?” tanya Dean yang berjalan mengikuti Zayne.

“Tidak ada, hanya berjalan melihat-lihat,” jawab Zayne yang dengan ekor matanya, mengawasi kemana perginya Sofiya.

Dean memicingkan kedua matanya. Terminologi berjalan melihat-lihat ini terlalu abstrak, batinnya. Terlebih, gerak-gerik Zayne cukup mencurigakan.

“Kalau kau letih, kau bisa pulang lebih dulu,” ujar Zayne.

“Mana bisa begitu. Sebentar lagi malam puncak festival. Kau juga masih berkeliaran di sini,” sergah Dean.

“Hm,” jawab Zayne acuh tak acuh. Meskipun ia terlihat sangat tenang, seluruh atensinya hanya terpusat pada Sofiya yang kini sedang berada di sebuah slot perhiasan. Ia bisa melihat kedua mata gadis itu berbinar saat mengamati perhiasan yang dipamerkan oleh si pedangang.

“Rui, kau mau coba salah satu?” tanya Sofiya. “Pilih mana saja yang kau suka.”

Rui mengedarkan pandangannya pada cincin yang ada di sana. Ia menemukan satu cincin yang cantik di ujung meja, dan berniat memberi tahu Sofiya pilihannya itu. Namun, saat ia menoleh pada Sofiya, gadis itu ternyata sedang terlihat mengagumi sebuah cincin yang ukirannya memang terlihat sangat cantik. Rui mendekat pada Sofiya seraya berkata, “Bukankah yang ini cantik, Nona?” tanya Rui.

Sofiya mengamati cincin yang ditunjuk oleh Rui. Cincin yang memang sejak tadi menarik perhatiannya.  Ia mengangguk setuju. Ukirannya sangat cantik.

“Kalau saja aku punya cukup uang, aku ingin membelikan nona cincin itu.”

Sofiya tertawa kecil. “Kita pergi kemari untuk membelikanmu cincin, Rui. Bukan sebaliknya.”

Belum sempat Rui menjawab, terdengar lonceng berbunyi di kejauhan, menandakan bahwa pembagian lampion sudah dimulai. “Rui, lampionnya!” seru Sofiya. “Kita kembali kemari setelah acara lampionnya selesai, ya?”

Rui mengangguk antusias, kemudian keduanya bergegas menuju tempat pembagian lampion.

Melihat Sofiya dan dayangnya bergegas pergi, Zayne buru-buru menghampiri pedagang perhiasan tadi.

“Silakan, Tuan. Cincin-cincin ini pasti akan sangat disukai oleh kekasih Tuan.”

Zayne mengamati sekilas perhiasan yang tersebar di meja.

“Kau ingin membelikan sesuatu untuk ibumu?”

“Mungkin beberapa aksesoris rambut,” ujar Zayne.

“Aksesoris rambut? Tapi di sini hanya menjual cincin,” gumam Dean sedikit kebingungan melihat Zayne yang sangat fokus memilih cincin.

“Aku ingin membeli yang ini,” ujar Zayne seraya menunjuk sebuah cincin.

“Oh,” kelakar si penjual. “Cincin yang juga menarik perhatian dua orang nona cantik. Sayang sekali cincinnya sudah terjuan di Anda, Tuan.”

***

Malam puncak festival akhirnya tiba. Pengunjung yang datang lebih awal sudah mendapatkan lampion gratis yang dibagikan oleh otoritas setempat. Lampion-lampion itu sudah dinyalakan apinya dan siap untuk dihanyutkan di sungai maupun diterbangkan. Sofiya dan Rui yang berada agak jauh dari pinggir sungai tentu saja tidak memiliki pilihan selain menerbangkan lampion yang mereka dapat di daratan. Beberapa pengunjung yang beruntung karena datang lebih awal sudah naik perahu.

Lonceng berdentang beberapa kali, menandakan aba-aba untuk melepas lampion.

Rui sudah lebih dulu berhasil menerbangkan lampion miliknya. Sementara lampion milik Sofiya hanya mampu terbang beberapa detik, kemudian terjatuh kembali. Lalu tiba-tiba seseorang membantu melambungkan lampionnya, sehingga lampion itu mampu terbang seperti lampion-lampion lain.

“Oh?” gumam Sofiya.

Ketika Sofiya mendongak, ia mendapati laki-laki yang beberapa waktu lalu ia temui di lokasi ambruknya kedai. Lagi-lagi Sofiya merasakan hal yang sama untuk kedua kalinya. Perasaan asing yang dalam waktu sama sangat ia rindukan. Ia bertanya-tanya, apakah orang di hadapannya ini merasakan hal yang sama?

Laki-laki itu mengunci tatapannya pada kedua mata Sofiya. Seraya mengulum senyuman tipis dan hangat, ia berujar lirih, “Kita bertemu lagi, Tuan Puteri.” []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro