Impian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah terbit dalam buku "Dream 1: From Zero to Hero [DPOS]"

"Di titik tertentu dalam kehidupan kita, kita kehilangan kendali atas apa yang terjadi pada kita, dan hidup kita kemudian dikontrol oleh nasib atau takdir. Itulah kebohongan terbesar di dunia.''

- The Alchemist, Paulo Coelho.

Kata-kata yang selalu kuingat. Itulah mengapa aku tak pernah menyerah meraih mimpi. Hidupku adalah pilihanku. Yang membuatku membuang jauh-jauh pikiran bahwa sebuah kegagalan dan eksistensi kita saat ini adalah bagian dari takdir.

Aku menyukai kata-kata bijak yang berhubungan dengan kehidupan. Membuatku tersadar untuk hidupku kedepannya.

Bersandar di kursi, ditemani kue brownis dan segelas susu. Membuka buku novel berjudul Alika, melanjutkan bacaanku.

***

Gadis itu duduk sambil melihat ke luar jendela kamarnya, yang berada di lantai dua. Bergumam soal apa yang dia pikirkan saat ini. Rinai hujan membasahi kaca jendela. Langit yang biru terang kini ditutupi awan-awan gelap. Hujan yang turun tanpa beban, membawa keberkahan dan ketidaksukaan bagi beberapa orang. Semakin lama semakin deras. Aliran air di kaca jendela mengalir lebih cepat.

"Abang pasti sedang berteduh. Jaket hujannya ketinggalan di kursi," ucapnya sedikit khawatir.

Dia mengetuk-ngetuk kaca jendela dengan tatapan kosong. Hujan membuatnya mengingat masa lalunya. Cerita kelam yang membuatnya hampir putus asa. Bagaimana tidak? Siapa yang bisa tahan saat kemenangan ada di depan mata, namun, harus gagal karena kecelakaan?

Penyesalan, itu yang dirasakannya. Berharap bisa memutar waktu untuk mengubah semuanya. Di saat orang lain sedang latihan, dia hanya bisa duduk diam memerhatikan mereka.

Satu hal yang membuatnya tetap semangat walaupun kehilangan mimpinya adalah ... dia bersyukur hingga saat ini dia masih hidup. Masih bisa melihat orang tua dan abangnya.

Alika Salsabila, remaja berusia enam belas tahun itu tidak bisa mengelak akan otaknya yang selalu teringat masa kelam itu. Dia membuka buku yang di berikan Andrea-abangnya. Membaca ulang kisah pahit yang ada dalam hidupnya, ditulis seolah-olah tokoh utama adalah karakter yang dia buat.

Dua tahun yang lalu.

**

Senin, 5 September 2016.

Garis finis di depan mata, suara peluit sudah siap ditiup. Alika berlari sekuat yang dia bisa, lomba lari maraton yang diadakan satu tahun sekali. Tahun ini dia memberanikan diri untuk ikut serta. Usahanya terbayar setelah berlatih sangat lama. Larinya makin pelan, berusaha menstabilkan tubuh dan napasnya. Bibirnya mengering, dia butuh air putih dan istirahat yang cukup. Keringat mengucur di seluruh tubuh, dia satu-satunya peserta yang terlihat.

Dengan terengah-engah dia berlari, beberapa kali terhenti untuk mengatur napas. Orang tua dan abangnya menonton sambil menyemangati. Suara mereka terdengar sampai ke telinga Alika, membuatnya semakin bersemangat.

Peluit dibunyikan. Alika Salsabila, menerima penghargaan resmi langsung dari wali kota atas kemenangannya. Tidak sia-sia usaha dan waktu yang dia lakukan untuk melatih ketahanan fisiknya. Satu hal yang ingin dia gapai, satu-satunya mimpi yang ingin dia wujudkan.

Menjadi atlet lari.

Cita-citanya sejak kecil. Terpukau ketika melihat Suryo Agung Wibowo, atlet lari asal Indonesia yang lahir di Surakarta. Rasanya seperti bebas, berlari sekencang mungkin, tanpa beban, semampu yang kita bisa. Menggapai garis finis, teriakan meriah, medali emas. Hal yang selama ini dia idam-idamkan akhirnya tercapai.

Namun nahas, nasibnya tak seindah yang dibayangkan. Usahanya selama ini seakan tak berarti. Dia mengalami kecelakaan. Saat menyeberang, salah satu mobil mengalami rem blong. tangan, dan tulang rusuk mengalami cedera parah. Tungkai bawahnya mengalami patah tulang terbuka, bagian tulang yang patah terlihat ke luar, ditambah lagi terdapat luka. Membuat kuman akan dengan mudah sampai ke tulang.

Alika dilarikan di rumah sakit secepatnya. Nyawanya masih bisa diselamatkan. Dia dirawat di rumah sakit selama berbulan-bulan. Namun, tungkai bawahnya mengalami kegagalan proses penyembuhan, sehingga proses pemulihan lebih efektif dengan amputasi.

Dengan berat hati dan keputusan yang dipikir berulang-ulang kali. Orang tua Alika dan abangnya memutuskan mengikhlaskan kedua kakinya untuk di amputasi demi kesembuhannya, walaupun harus membuat Alika sakit hati karena harus mengubur impiannya dalam-dalam.

Proses amputasi berjalan lancar, tinggal menunggu Alika sadar. Abangnya setiap pulang kuliah langsung menuju ke rumah sakit untuk menjenguk adik satu-satunya yang dia sayangi. Melihat Alika terbaring lemah dengan selang untuk membantunya tetap bernapas.

Abangnya yang bernama Andrea Putra, duduk di samping Alika yang sedang terbaring lemah. Dia tak tahan menahan kesedihannya. Meluapkan semua emosinya dalam diam, hanya air mata yang keluar.

Memegang erat tangan Alika dan berkata, "Abang yakin, kamu bakalan sadar. Karir kamu masih panjang. Abang bakalan temenin kamu kemanapun. Abang ga mau kejadian ini terjadi lagi. Abang janji." Air mata mengucur deras.

Berbulan-bulan lamanya. Akhirnya Alika sadar dari tidur panjangnya. Orang tuanya dan Andrea bersyukur, entah apa lagi yang harus mereka tunjukkan. Mereka hanya tersenyum bahagia, walau kesedihan sedikit tersirat di balik senyum tipis dan air mata yang terlukis di wajah.

Beberapa hari setelah kesadarannya. Kondisinya mulai membaik. Dia mengetahui fakta yang tidak ingin dia dengar. Dia menangis, memukul-mukul dadanya yang sesak. Andrea mencegahnya, menahan tangan Alika agar dia berhenti menyakiti diri.

"Alika harus kuat," ucap ibunya tak kuasa menahan tangis. "Alika kuat, 'kan?"

"Alika ga bisa lari lagi Ma, Pa."

Ayahnya tak tahan, hanya berdiri diam dan menangis. Kenyataan pahit membuatnya sedikit depresi.

"Kenapa hal sekejam ini hanya terjadi padaku?"

Masih dengan air mata yang tiada habisnya.

"Kenapa?"

"Kenapa?"

"Kenapa?"

"Alika, Abang bakalan nemenin kamu ke mana pun. Kamu kuat, Abang yakin."

Alika diam seribu bahasa. Dia memegang rambutnya, menariknya, mencoba menyakiti dirinya, lagi. Andrea dengan cepat memberhentikan perbuatan buruknya itu. Dia putus asa, merasa harapannya sudah hilang.

"Alika," ucap ibunya sembari menahan air mata, "Alika harus bersyukur. Setidaknya Alika masih diberi kesempatan hidup. Masih bisa lihat Ibu, Ayah sama Abang."

Alika hanya diam. Dia mengepal kedua tangannya, urat terlihat jelas walau bersembunyi di kulit pucatnya. Matanya yang sembap dan rambut acak-acakkan terlihat seperti pasien rumah sakit jiwa. Air mata tak berjeda, dia menahan rasa sakit di dada, meluapkan seluruh amarahnya dengan air mata.

Inikah yang dinamakan takdir? Lalu apa yang sedang Tuhan rencanakan sekarang?

Ini terlalu sakit. Dia telah berlatih keras, usahanya berhasil, dan sekarang tidak pernah, karena kondisinya yang lemah dia tak bisa lari menggunakan tungkai kaki robotik. Selama di rumah sakit ia hanya duduk murung.

Dua bulan kemudian lukanya pulih. Dia bisa tidur, makan dan beraktivitas di luar rumah sakit. Perasaan lega dan sedih bercampur menjadi satu. Alika lagi-lagi hanya diam. Senyum tipis yang hampa terlihat di wajahnya. Orang tua dan abangnya hanya diam dan berusaha tersenyum walau tahu kalau Alika tidak benar-benar bahagia.

Sebulan dia hanya di rumah, berkeliling kompleks menggunakan kursi roda yang di dorong ibu dan abangnya. Alika teringat ayahnya yang sedang kerja, harus berpura-pura kuat. Masalah pribadi tidak boleh di bawa ke kantor. Siapa yang tidak sedih putri bungsunya sedang sakit, membutuhkan perhatian lebih, tapi harus mengurus kerjaan?

Ya. Uang yang didapat juga untuk keluarganya.

Seminggu kemudian, Andrea membelikan Alika buku. Buku sedang yang cukup tebal dengan kover klasik yang digunakan Alika untuk menulis keluh kesahnya. Andrea sengaja agar Alika yang sulit bicara itu bisa dengan bebas mengeluarkan apa yang dia mau. Orang tua dan Andrea tidak diperbolehkan membacanya. Hingga dia merasa lebih baik.

Dan sampai saat ini. Dia bersyukur memiliki keluarga yang sangat sayang padanya.

**

Dia menutup kembali bukunya. Mengelap air mata yang jatuh. Iris cokelat itu menatap kian lekat ke buku yang baru saja dia baca. Hujan semakin deras. Dia mengalihkan pandangan sejenak ke langit. Kemudian melihat lagi ke buku.

Alika tersenyum, membuka buku itu kembali dan melanjutkan tulisannya.

"Aku ... tidak ingin mengalah dengan takdir. Mungkin aku akan memulai sesuatu yang baru. Sesuatu yang jauh dari kelebihanku, atau mungkin ... tidak pernah kulirik dan kubayangkan sebelumnya. Akan kubuat dalam satu buku dan membuat banyak orang membacanya,'' lirihnya. ''Dan untukmu hujan, jika kau tidak turun, mungkin aku tidak akan mengingat cerita suram itu dan menjadikannya sebuah karya. Terima kasih,'' sambungnya mengulum senyum.

Rencana Tuhan memang paling terbaik, tapi akan sia-sia jika kita tidak bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang lebih.

Kalian sudah pasti tahu bagian akhir buku ini. Alika berharap, kalian bisa belajar dari pengalamannya.

Dari situ Alika mulai belajar lebih dalam soal dunia kepenulisan, pengalaman yang asing. Walaupun akan ditolak beberapa kali, dia akan tetap berjuangan, membagikan kisah hidupnya kepada dunia untuk dijadikan sebuah pembelajaran yang berarti.

End

***

Aku menutup novel itu pelan. Menarik napas berat. Aku bisa, aku yakin!

Namaku Akila, aku akan mengejar mimpiku menjadi seperti Alika-ibuku yaitu ... seorang atlet lari. Walau sempat cedera, aku tak akan mundur. Sedikit demi sedikit kulatih fisik dan ilmuku. Aku akan berjalan perlahan.

Karena aku harus berjuang, walaupun gagal total, setidaknya aku pernah mencoba.

Ibuku, menggapai impiannya menjadi seorang penulis, setelah mengubur kesukaannya pada olahraga lari. Walaupun sudah meninggal, aku tetap merasa, beliau ada di belakangku. Menjagaku dengan dekapan hangat, yang selalu tersenyum walau aku tak bisa melihatnya.

Kupeluk novel itu erat. Berjanji pada diriku akan menggapai impian. Membuat ibuku bangga, meskipun dia tak dapat melihatnya secara langsung. Aku yang akan mewujudkan cita-cita ibuku! Aku tak akan rapuh walau kehilangan satu penyemangat paling berharga.

Aku berlatih lebih giat, namun tak lupa istirahat. Merubah pola makan dan kebiasaan. Aku harus berdiri di tengah-tengah, memegang piala bertuliskan "Juara 1" aku harus! Karena sukses tidak datang dengan sendirinya.

Dari cerita Alika-ibuku, aku belajar. Kita bisa menjadi apa pun yang kita mau, karena kita memiliki kontrol penuh untuk membentuk kehidupan seperti apa yang kita harapkan.

END


Don't forget to click star button. Free~


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro