Chapter 22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ribuan mahasiswa telah memenuhi lapangan. Berbagai hiasan dan pernak-pernik kelulusan menghiasi tempat ini.

Tidak lupa, para orang tua pun sangat antusias menatap punggung anaknya. Ya, punggung itu tertulis sejuta harapan dan masa depan yang akan mereka tuangkan dalam sejarah.

Begitu juga bagi (Name). Saat ini ia tengah duduk diantara para mahasiswa lainnya yang hendak maju di hadapan rektor.

Tetapi, ada hal yang membuatnya sangat bahagia. Ia menjadi lulusan termuda dan terbaik Universitas Havard.

Bahkan, ia pun sempat menangis bahagia saat dirinya dipersilakan untuk berbicara di podium. Sungguh momen sangat ia syukuri.

Namun, saat ini hatinya merasa kosong. Ya, kosong akan cinta dari orang tuanya. Jauh di lubuk hatinya, ia ingin agar orang tuanya menyaksikan dirinya memiliki prestasi seperti ini.

Mungkin tidak sekarang. Tetapi nanti, disaat ia telah mengetahui semuanya.

Kini, berbagai acara kelulusan telah digelar. Tidak lupa, momen foto bersama pun dilakukan sebagai kenang-kenangan.

"So, you're going back to Japan?" tanya Alex, yang notabenenya adalah teman laki-laki (Name) yang sangat pengertian dan perhatian padanya.

Selain itu, Alex adalah bintang kampus ini. Ia memiliki perawakan yang sedikit berbeda dari pria kampus kebanyakan.

Tidak lupa, manik biru langit serta rambut blonde nya membuat Alex semakin menawan.

"Yes, of course. Because my visa is a student visa. So, you know if I have to return to my home country right away," ucap (Name) dengan senyum manisnya.

"I see, ah but ... may I ask you for certainty?" ucap Alex dengan tatapan grogi.

"Certainty?" ulang (Name) dengan tatapan bingung sekaligus penuh antusias.

"You know, I told you about a girl I like. And ... I think it's time to say it. (Name), do you want to be my lover?"

Mendengar penjelasan itu, (Name) hanya bisa terkejut. Bagaimana tidak, sangat langka jika orang Jepang bisa menjalin hubungan dengan orang luar negeri.

Ditambah dengan status sebagai sepasang kekasih. Membayangkannya saja sudah membuat gadis manapun terlena.

Tetapi, (Name) masih mengingat budaya di negaranya. Sangat berbeda dari kebanyakan negara. Karena, negaranya justru kurang senang akan kehadiran orang-orang luar negeri.

"Ehem!" Suzu berdeham yang membuat kedua remaja itu saling bertatapan sebentar dan mulai canggung kembali.

"So, what do you think?" tanya Alex yang tersirat antusias jika (Name) menerimanya.

(Name) merasa bingung. Ia menatap Suzu sebentar lalu ia menundukkan kepalanya.

"Forgive me. I think ... I can't be your lover yet. Because, you know right? I'm a different girl from most girls. Most likely, I'm not the destiny of your life," tegas (Name) yang membuat Alex hanya bisa pasrah dengan wajah kecewa yang ia ukir secara terang-terangan.

"OK. I guess it's okay, because I feel relieved to be able to express my feelings all this time," ucap Alex yang kemudian meninggalkan (Name) bersama Suzu.

"Nyaris saja," gumam Suzu yang membuat (Name) tersenyum singkat lalu kembali sedikit dingin.

*****

"Kau berhasil mewujudkannya, (Name)," ucap Suzu yang terdengar berat untuk mengatakan yang sesungguhnya.

"Jadi, apa aku bisa mendengarnya sekarang?" tanya (Name) dengan nada tenang sekaligus penasaran.

Suzu pun menghela nafas sejenak dengan harapan agar ia tidak terbawa suasana. Tidak lupa, ia pun memandang luar jendela yang menampakkan halamannya yang sangat rindang.

"(Last Name) (Name), itulah nama gadis yang mirip denganmu. Dia memiliki kepribadian dan senyuman yang sama denganmu," ucap Suzu yang belum ingin menatap (Name).

"Maksudnya?"

"(Last Name) (Name) adalah ibu dari empat puluh dua gadis dari seluruh idola Ensemble Square," jawab Suzu cepat.

(Name) terhenyak. Pikirannya tidak sampai ke sana, walaupun ia cerdas.

Dan entah mengapa, perkataan Suzu justru membuat hatinya sakit. Ia seakan-akan lupa dengan hal yang harus ia lakukan.

"(Name), apa kau tahu mengapa Ibara mengirim dirimu kemari?" tanya Suzu yang membuat (Name) bergeleng pelan.

"Itu ... itu karena kau reinkarnasi dari (Last Name) (Name). Kehadiranmu sangat penting bagi empat puluh dua pria itu. Apa kau tahu? Betapa kehilangannya mereka saat melihatmu terbaring dalam pusara?"

"Kurasa kau salah orang," ucap (Name) dengan nada penuh keraguan.

"Salah? Apa yang salah? Apa kau tidak lihat betapa bahagianya empat puluh dua pria itu saat melihatmu? Apa kau tidak melihat raut kesedihan dalam wajah mereka?" balas Suzu yang membuat (Name) tertunduk.

"Diam ...," gumam (Name) dengan tatapan yang sedang membendung air mata.

"Aku tahu jika kau mengingatnya, (Name). Aku tahu jika jiwamu yang sesungguhnya adalah (Last Name) (Name). Tolong, (Name) ... kembalilah untuk mereka," ucap Suzu sembari menatap (Name) dengan intens.

"Tidak! Aku yakin jika kau pasti salah ...."

"Apa kau ingat tentang permintaan terakhir mu!? Apa kau ingat, (Last Name) (Name)!"

"Aaaa!"

(Name) berteriak sembari menjambak rambutnya sendiri. Ia tidak peduli jika kepalanya akan terasa sakit atau ia akan terluka.

"Kau bilang padaku jika kau ingin hadir dan melihat anak-anak mu besar! Dan sekarang, lihatlah mereka! Tatap mereka! Anak-anak mu terkubur dalam lubang yang belum pernah digali oleh siapapun. Bahkan ayahnya sendiri pun terlalu takut untuk menguak semuanya. Apa kau tidak kasihan pada mereka! "

"Cukup ...," gumam (Name).

Plak!

Suzu pun tidak tahan lagi. Ia langsung meraih dan menampar (Name) keras yang membuat (Name) menatap Suzu dengan tatapan takut.

"Aku sahabatmu, (Name). Kau yang mengembalikan ku pada saudara kembarku, Kagehira Mika. Apa kau lupa itu? Apa kau lupa jika kau yang memotivasi Tsukinaga Ruka untuk menjadi gadis yang selalu berani dalam meraih impian? Apa kau lupa jika kau selalu ada disisi Eichi disaat ia jatuh sakit? Apa kau juga lupa atas usaha mu, Anzu, dan para suamimu yang lain untuk membatalkan rencana pertunangan keluarga Tsukinaga yang ingin menikahkan Leo dengan Ruri! Apa kau juga sudah lupa betapa sakitnya dirimu saat diculik oleh Akashi Seijuuro saat kau mengandung di usia delapan bulan! Apa kau melupakan semuanya, (Last Name) (Name)!"

(Name) tidak berkutik. Pikirannya kosong. Bahkan, rasanya sangat sulit untuk berpikir jernih.

"Amagi (Name), ingatlah dirimu yang sesungguhnya. Ingatlah tujuanmu kembali ke dunia ini. Jika kau menolak empat puluh dua pria itu, setidaknya, lakukanlah untuk anak-anak mu," ucap Suzu dengan isak tangisnya. Lalu, ia pun meninggalkan (Name) seorang diri yang tengah termenung dengan tatapan kosong.

Bruk!

(Name) jatuh terduduk. Dirinya terlalu sulit mencerna semua kenyataan yang telah disampaikan oleh walinya.

Menyakitkan, sungguh menyakitkan. Mau bagaimanapun, rasanya sungguh menyakitkan jika diri yang kosong dipaksa untuk mengingat hal yang sulit diketahui.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro