Ekstra Chapter

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mentari tersenyum menyambut hari yang membuat hawa dingin tidak menembus kulit. Dan bahkan, burung pun bernyanyi untuk menghiasi hari.

Sungguh, pagi yang indah. Namun, pagi yang indah tidak selalu sesuai dengan harapan.

Ya, ibu muda dari empat puluh dua suami dan empat puluh dua anak ini tidak diizinkan keluar rumah dengan alasan jika jalanan licin dan bisa mengganggu perkembangan janin di kandungannya. Sungguh mengganggu baginya jika ia diperlakukan seperti burung dalam sangkar.

Dan yang ia lakukan sepanjang hari hanyalah menikmati teh hangat, membaca buku, mendengarkan musik, berbaring. Intinya, semua kegiatan yang membosankan telah ia lakukan.

Tidak hanya itu, ia pun tidak tahu sudah berapa kali menghela nafas dihari ini.

'Aku harus apa,' batin Amagi yang tengah duduk lesu.

Namun, secara tidak langsung, ia teringat sesuatu. Ya, sesuatu yang seharusnya ia lakukan sedari dulu.

Ia pun bergegas menuju kamarnya dan meneliti rak buku hingga maniknya menatap satu buku berwarna merah muda. Tanpa basa-basi, ia pun mengambil buku itu dan membuka lembaran demi lembaran kertas dengan tulisan yang belum pudar.

"Menarik, bukan?"

Suara penuh aura keibuan muncul begitu saja saat ibu muda itu selesai membaca pada halaman yang berisi cerita pernikahan empat puluh dua pria dengan satu wanita.

Tanpa rasa takut, ibu muda itu menatap lawan bicaranya yang memiliki paras yang mirip dengannya. Parasnya cantik dengan senyuman semanis madu.

Rasanya, seperti ia melihat malaikat disini.

"Kau ...."

"(Last name) (name). Salam kenal, Amagi (name)," potongnya dengan senyuman yang belum luntur.

'Tolong tampar aku jika aku bermimpi,' batin Amagi dengan tatapan terkejut. Namun, hal itu justru membuat wanita dihadapannya tertawa pelan, "Ini bukan mimpi."

Amagi hanya bisa diam. Ia menunduk perlahan pada buku yang ia pegang. Dan entah mengapa, rasa bersalah justru menyelimuti dirinya saat melihat manik penuh harapan dari wanita dihadapannya.

Mengetahui situasi yang kurang baik, (Last name) duduk disebelah Amagi dan langsung merebut buku itu perlahan. Manik (eye colour) itu meneliti selembar kertas yang telah dinodai oleh tinta hitam.

"Aku tahu jika suatu saat kau akan membaca ini," ucap (Last name) dengan nada penuh persahabatan yang mengundang tatapan penuh pertanyaan dari lawan bicaranya.

"Kita serupa tapi tidak sama. Dan juga ... kau terlihat lebih manis dariku, Amagi," puji (Last name). Namun, ucapan itu terdengar seperti bukan jawaban dari apa yang ia cari dari satu tahun pernikahannya.

"Mengapa kau masih bisa tersenyum dengan kondisi seperti itu?" ucap Amagi yang mengundang (Last name) untuk berpikir sejenak.

"Hmmm ... aku rasa itu mudah. Karena kau selalu bersama keluarga kecil ku. Itu sudah cukup membuatku bahagia," jawab (Last name).

"Begitu ya .... Dan, aku rasa mereka juga pasti merasakan hal yang sama sepertimu," ucap Amagi yang langsung menatap lurus ke depan.

Amagi pun menghela nafas sejenak, "Mereka sangat baik juga padaku. Mungkin karena aku adalah reinkarnasi dari mu. Bahkan, aku juga sering mendengar mereka memanggil namamu."

(Last name) mengukir senyumannya lagi dan ia pun menggenggam lembut tangan wanita disebelahnya, "Kau cemburu?"

"Kau sendiri bagaimana?" balas Amagi yang membuat (Last name) semakin tersenyum, "Aku tidak keberatan ataupun cemburu pada siapapun. Selama mereka bisa membuatmu bahagia, itu sudah cukup untukku."

"Kau sangat baik, (Last name). Pantas saja mereka memperebutkan mu," gumam Amagi yang entah mengapa mood nya rusak secara tiba-tiba.

"Amagi, kau juga harus bahagia. Bagaimanapun, mereka juga mengkhawatirkan mu. Bahkan, aku merasa jika mereka lebih beruntung mendapatkan dirimu dibandingkan diriku," hibur (Last name).

"(Last name), apakah aku akan bernasib sama dengan dirimu?" ucap Amagi yang tiba-tiba merubah topik pembicaraan mereka.

"Maksud ...."

"Aku sedang mengandung saat ini. Dan usianya sudah memasuki tiga bulan," gumam Amagi yang membuat (Last name) tertawa kecil.

"Takdir tiap manusia berbeda-beda. Justru ... saat itu, aku senang jika anakku lahir dengan selamat. Walaupun pada akhirnya, nyawa harus ditukar nyawa," ucap (Last name).

"Sebelum meregang nyawa, aku meminta pada Tuhan jika aku ingin bereinkarnasi kembali untuk menjaga dan melindungi putri-putri ku. Dan aku juga berharap jika putriku mendapatkan kasih sayang serta perhatian yang cukup selama aku tidak disisi mereka. Namun, Tuhan seakan-akan menjawab doaku. Kau hadir bersama mereka. Kau menjaga dan melindungi mereka secara tidak langsung," ucap (Last name) dengan raut sedih.

"(Last name)-san ...."

"Apa aku terlihat sedih? Aku sangat bahagia. Terima kasih, Amagi ... terima kasih," ucap (Last name) yang tanpa sadar telah meneteskan air mata.

"(Last name)-san ...."

"Mungkin mereka belum bisa melupakan bayang-bayang ku. Tapi, kau lah satu-satunya bintang mereka," potong (Last name).

"Aku juga akan membantumu dari jauh, Amagi (Name) ...."

"Tunggu, (Last name)-san!"

Manik (Name) pun tiba-tiba terbuka. Ia terasa linglung dan menatap tempat dimana sosok wanita yang bersamanya tadi pergi secara mendadak.

"(Last name)-san, apa maksudmu ...." (Name) menekuk lutut dan menangis dalam diam. Hingga ia tidak menyadari jika pintu kamarnya telah terbuka.

"Mengapa kau menangis, Ojou-chan?"

Menyadari suara itu, (Name) segera menghapus air matanya dan bersikap seolah dia baik-baik saja.

"Aku baik-baik saja ... Rei," jawab (Name) yang masih belum sanggup menatap manik merah darah suaminya.

"Aku yakin jika (Last name) menemuimu, bukan?" tebak Rei sembari mendekati wanitanya yang enggan beranjak dari ranjang.

(Name) hanya diam. Ia tidak ingin menjawab apapun. Karena, ia takut jika apa yang ia ucapkan bisa merusak ataupun mengganggu rasa cinta suaminya pada sosok istri pertamanya.

Rei mengetahui situasi hati istrinya. Ia pun mengulurkan tangan dan mengelus perlahan surai istrinya yang tengah gundah.

"Aku tahu jika kau ingin mencari jawaban. Tapi, ada baiknya jika kau hapus air matamu dan tersenyum," ucap Rei yang membuat istrinya bertanya-tanya.

Dan secara tiba-tiba, Rei menutup mata istrinya dengan kain hitam dan menuntunnya menuruni tempat yang telah mereka siapkan.

Disepanjang perjalanan, (Name) tidak berniat bertanya apapun. Ia hanya diam dengan pikiran yang melayang kemana-mana.

Hingga tiba dimana Rei tiba-tiba melepas genggamannya. Ia berulang kali memanggil nama suami dan anak tirinya satu-persatu. Namun, ia tidak mendapatkan jawaban. Ditambah dengan ucapan Rei jika ia tidak boleh membuka penutup matanya sebelum diizinkan.

"Ayolah, ini tidak lucu," ucap (Name) dengan tangan yang mencoba meraih sesuatu sembari kembali memanggil nama mereka.

Setelah cukup lama (Name) berjalan perlahan tanpa kepastian. Tangannya pun menyapa tangan seseorang yang tiba-tiba meraihnya dan secara perlahan, penutup matanya mengendur lalu menampakkan rumah yang berbeda dari biasanya.

Ya, rumah ini sudah penuh dengan pernak-pernik berwarna merah muda dengan hiasan berbentuk hati. Tidak lupa, ada beberapa balon yang sengaja diterbangkan begitu saja.

Dan dihadapannya, ia melihat kue yang disusun mirip dengan fountain dan memiliki hiasan bunga yang amat cantik. Lengkap dengan kado yang tersusun melingkari kue itu.

"Ini ... siapa yang ulang tahun?" ucap (Name) dengan polos. Karena, seingatnya, tidak ada perayaan ulang tahun setelah ulang tahun dari Hidaka Hokuto.

Mendengar ucapan (Name), kumpulan ayah dan anak itupun saling menatap lalu mengukir senyuman.

"Mama ... apa Mama lupa, hari ini hari apa?" tanya Chika dengan wajah yang lebih polos.

"Ini kan hari Senin," jawab (Name) dengan wajah yang semakin polos.

Dan seketika, suasana menjadi kontes adu kepolosan antara ibu dan anak. Walaupun mereka anak tiri, dan ibu tiri mereka memiliki umur yang sama dengan mereka, mereka sama sekali tidak terlibat cekcok ataupun keributan lainnya.

Mungkin selisih paham selalu terjadi. Tapi tidak terlalu parah. Biasanya, (Name) yang meminta maaf duluan dan menjelaskan maksudnya agar tidak ada kesalahpahaman diantara mereka.

Tidak lama kemudian, anak dari Itsuki Shu, Yona mendekati (Name) secara perlahan dengan tangan yang ia sembunyikan di belakang punggungnya. Dan saat ia dihadapan (Name), ia melingkarkan sebuah syal yang pernah ayahnya buat untuk mendiang ibunya dulu.

"Yona?" Yona hanya tersenyum lalu kembali ke ayahnya.

"Kalian kenapa? Baik-baik saja?" ucap (Name) yang masih tidak mengerti tujuan mereka.

Lalu, alunan piano yang dimainkan oleh Ritsu pun mulai terdengar. Dan para anak tiri (Name) mulai menyanyikan lagu yang sudah lama tidak ia dengar, saemo.

(Silakan diputar videonya sambil membaca lanjutannya ^-^)

https://www.youtube.com/watch?v=VNUesDeon28

Ya, lagu itu mengungkapkan kekaguman dan kerinduan seorang anak pada ibunya. Walaupun terdengar sedikit rap, namun tetap saja lagu itu mampu menyentuh siapapun yang mendengarnya. Apalagi, jika dibawakan disaat-saat seperti ini.

'Apa kau bahagia, Amagi?' Bisikan itu terdengar jelas di telinga (Name) yang mulai terbawa arus suasana rumah ini.

"Iya ...," jawab (Name) pelan dengan mulut yang telah ia tutup dengan tangan.

'Amagi ... kau bisa lihat sekarang, betapa tulusnya mereka menerima dan menyayangimu. Selamat hari ibu untukmu, Amagi.'

(Name) sudah tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia mendekat dan memeluk salah satu anak tirinya dan menuangkan apa yang ia rasakan.

Sementara itu, para suami (Name) hanya bisa tersenyum dan menatap pemandangan yang tidak pernah mereka lihat selama ini.

Dan mereka pun berharap jika kejadian ini akan terus bertahan sampai kapanpun. Mereka juga berharap agar tidak ada kesedihan dan (Name) diberikan kekuatan lebih untuk menjalani hidup bersama mereka.

Ya, sosok wanita terkadang dipandang sebelah mata oleh pria. Namun, dari wanitalah negeri ini mendapatkan pemimpin yang berwibawa. Dari wanitalah, seorang pria bisa sukses. Dan dari wanitalah, seorang anak bisa menggapai semua impiannya.

Mereka rela berkorban lebih berat dari seorang pria. Ingatlah jika seorang wanita bisa menjadi seorang ayah. Namun, seorang ayah belum tentu bisa menjadi seorang ibu.

Maka dari itu, hormati dan perlakukan ibu sebagaimana mereka menyayangimu.

Selamat Hari Ibu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro