13 November 2019

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| E-Jazzy | 617 words ||

| Short Story |

| Indigenous - Cerita Lepas |

Tema:
Buat sebuah mitos/legenda/folktales ke mana manusia akan pergi setelah meninggal

Sementara anak seumuranku bertanya "Ke mana kita akan pergi akhir pekan ini?" kepada orang tua mereka, aku bertanya "Ke mana kami akan pergi begitu jatah hidup kami berakhir?" kepada Maut.

Sebenarnya, ngeri juga bertanya langsung ke sumbernya begini, tetapi aku tak punya pilihan.

Di hadapanku, ia bersosok seperti jubah kelabu bertudung yang melayang-layang, tanpa wajah, tanpa tampak tangan mau pun kakinya. Di sekitarnya, menguaklah asap kelabu pekat seperti gas beracun. Kurasa, sosoknya merepresentasikan caraku mati suatu hari nanti.

"Kenapa kau bertanya begitu, Grey?"

Lengan jubah sang Maut bertumpu pada pegangan sabit raksasanya. Melihatnya santai begitu, aku pun duduk bersila di bebatuan di depannya. "Cuma kepingin tahu, Pak."

"Kenapa kau seenaknya menentukan gender-ku?"

"Karena Anda cuma manifestasi dari konsep kematian. Wujud Anda di mata saya mirip laki-laki walau tidak ada wajahnya—jadi terima saja panggilan 'pak' itu, Pak."

Walau tak bisa melihat ekspresi wajahnya, aku bisa tahu Maut tengah terkekeh karena bahu jubahnya berguncang samar. Suara tawanya dingin menusuk sampai ke ubun-ubun.

"Jadi," kataku tak sabar. "Ke mana Anda membawa kami setelah mati?"

"Kenapa tak kau tanya ibumu?"

"Mamaku sebenarnya takut pada hal-hal semacam ini."

"Kakak perempuanmu yang nyentrik itu?"

"Sudah. Kak Nila bilang, ruh kami bakal dibawa ke loker Davy Jones di rumah Flying Dutchman. Kecuali Anda berwujud hijau dengan janggut dikepang, Pak Maut, saya takkan percaya jawaban kakak saya."

Maut terkekeh lagi.

"Saya sudah tanya ke guru di sekolah—saya baru masuk SD bulan lalu, omong-omong. Nah, jawaban beliau sama seperti jawaban orang teis lainnya. Surga dan neraka, reinkarnasi ...."

Aku terdiam sebentar, mengingat-ingat semua cerita yang pernah kakakku baca. Kak Nila kadang suka menceritakan apa yang dibacanya padaku karena; pertama, aku tidak bisa membaca, kedua, dia tidak punya teman yang mau mendengarnya mengoceh tentang kisah-kisah yang dikaguminya itu.

"Ada tempat yang disebut limbo. Ada juga Underworld—Dunia Bawah yang dikuasai Hades ... atau Osiris? Tahu, 'kan, kayak tanah orang mati yang mesti dicapai pakai kapal. Terus, ada juga tempat bernama Valhalla—"

"Tempat, ya?" Maut terdengar seperti mengejek. "Ya, untuk pemahaman manusia, semuanya disederhanakan dalam bahasa kalian agar bisa diterima oleh otak fana nan rapuh itu."

"Jadi, bukan tempat?" selidikku. Aku hampir khilaf menarik jubahnya—kebiasaan setiap kali meminta sesuatu, aku selalu menarik daster mama atau lengan piama Kak Nila.

"Aku tidak bilang bukan tempat," sanggah Maut, mulai main teka-teki. "Aku hanya bilang bahwa pemahaman kalian masih sebatas itu—bahwa afterlife adalah ruang, wadah, lahan, dan sebagainya. Bahkan dari caramu bertanya saja, 'ke mana' itu sudah menunjukkan betapa terbatasnya pemahaman kalian tentang afterlife."

Aku jadi kepikiran ....

Benar juga.

Kenapa tempat? Kenapa mesti 'ke mana'? Dan bukannya 'kapan'? Karena dari konsep reinkarnasi saja, berarti afterlife tidak terletak di mana-mana, melainkan kami hidup kembali sebagai sosok lain di waktu yang lain.

"Dan jangan salah kaprah juga dengan segera menyimpulkan bahwa afterlife artinya kalian bakal hidup di lintasan waktu lain." Maut menukas seolah bisa membaca lamunanku. "Sudah kukatakan afterlife tidak sesederhana itu, Grey. Dan lucunya, kalian suka memakai istilah 'kehidupan setelah mati'. Pfft. Yang namanya mati ya mati."

Aku jadi tergoda merebut sabit raksasanya dan mengejarnya berkeliling sekitar sini. Namun, kurasa itu bukan tindakan bijak.

"Sama sepertiku saat ini," lanjut Maut. "Aku hanya sebatas konsep, kematian—sesuatu yang tak semestinya bisa disentuh secara fisik—dan di sinilah aku, berwujud serupa Dementor laki-laki yang dipanggil 'pak' agar otak fana para manusia bisa meraba sosokku. Nah, terserah kalian saja mau mendefinisikannya bagaimana."

Aku mendesak tak sabar, "Jadi, ke mana kami pergi setelah mati?"

Wah, aku pakai kata 'ke mana' lagi.

"Kenapa?" Maut bertanya seraya mendekatkan wajahnya yang hampa. "Mau coba?"

Aku mengkeret mundur. "Tapi, nanti boleh balik?"

"Wah, tak tahu ya." Bebatuan di bawahku berguncang seolah menanggapi gelegar tawa sang Maut. "Kita takkan pernah tahu kalau belum dicoba."

Sabit Pak Maut terayun dengan kurang ajarnya ke kepalaku, dan aku hanya bisa memekik karena kakiku keram saking lamanya duduk bersila. Mungkin inilah kenapa orang-orang bilang kita tak boleh bercanda dengan Maut. Karena, kalau Maut menanggapinya, kita akan ... yah ... mampus.

Lalu, aku terbangun di atas tempat tidurkku, dengan kaki yang terkalung di leher Kak Nila.

Aku lupa dia tidur denganku tadi malam karena kami habis nonton film horor berdua—sebenarnya sih, berempat, tetapi Kak Nila belum bisa melihat Annemie dan kucingnya.

Aku menggosok mataku dan melepaskan Kak Nila dari cekikkan kakiku, lalu aku bertanya, "Kenapa Kak Nila masuk ke kaitan kakiku?"

Kak Nila tampak pucat seperti orang bergulat semalaman—yang mana barangkali memang benar, soalnya aku tidur seperti atlet pro di atas ring.

Dengan suara parau, Kak Nila meracau, "Kamu nyaris mengirimku ke loker Davy Jones, Grey."

Lagi dilema, ngetik RavAges dulu apa spin off Indigenous yang pake sudut pandang Grey

Lalu teringat ....

Jazz, ini masih DWC sampai akhir November

//menangis tanpa suara

Doakan saya masih hidup sampai 17 hari ke depan ( /'-')/

Next >>> 14 November 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro