15 Februari 2022

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DWC #15
[Masuk ke website https://perchance.org/emoji masukkan angka 3 dan klik centang unique. Buatlah cerita yang mengandung makna dari tiga emoji tersebut. Makna diinterpretasikan sedekat mungkin dengan emoji, sebisa mungkin literal]

:.:.:

|| Short Story ||

|| Supernatural, Teenfiction ||

|| 2944 words ||

Ini kelanjutan cerita Naya yang dikirim ke sekolah asrama anak-anak bermasalah tanggal 8 Februari lalu '-')/

"Rowan, kau sudah kumpulkan data untuk artikel mading dan majalah sekolah bulan depan?"

Kujatuhkan kepala dengan malas ke atas meja. Aku masuk mading agar hidupku tenang, bukan untuk bekerja keras.

"Kenapa tidak kau saja yang melakukannya?" tanyaku sengit. "Aku sudah melakukannya selama empat bulan terakhir ini sejak bergabung. Kau tidak melakukan apa-apa kecuali menerima semua pujian."

"Dan aku juga menerima semua cibiran untuk semua artikel yang kau tulis." Ezra menuding mukaku. Kacamatanya berkabut, menyembunyikan bola matanya yang sehijau batu zamrud. "Kau pasti sudah dengar tentang anak baru yang membuat kehebohan di pintu depan sampai lobi sekolah. Anak-anak bilang, cewek itu bisa memanggil hantu. Dia membuat Darwin kencing di celana dan kroco-kroconya berlarian sampai terguling di tangga. Aku ingin kau wawancarai salah satu siswa yang ada di sana, Darwin, dan Naya—si anak baru."

Aku membuka mulut untuk protes, tetapi Ezra keburu melenggang pergi.

Dalam sekolah asrama yang mirip penjara ini (secara harfiah benar-benar penjara untuk anak-anak bermasalah), status dalam kasta adalah segalanya. Kasta-kasta itu biasanya terpatri dalam klub-klub. Jika kau siswa tenar dari klub olahraga atau siswi populer dari klub cheerleader, biasanya kau jadi pelaku utama perundungan. Posisi aman kedua adalah klub pencinta alam—mereka menjelajah hutan-hutan, air terjun, sampai pesisir pantai pulau ini. Mereka biasanya bukan pelaku maupun korban—coba saja pukul salah satu dari mereka, dan nantikan tanganmu retak atau teman-temannya balik menyerangmu.

Jika kau terisolasi dari lingkungan sosial, tidak bergabung dengan klub mana pun, kau akan jadi sasaran empuk perundungan. Statistik menunjukkan 50% siswa-siswi yang meregang nyawa karena perundung di sekolah ini tidak tergabung dalam klub mana pun, lalu sekitar 35% korban lainnya berasal dari klub buku, klub catur, atau klub sains. 15% sisanya bisa dari mana saja—guru yang terlalu ikut campur, staf yang berusaha menghukum siswa-siswa bermasalah, anak-anak klub seni, dan lain-lain.

Satu tingkat di atas klub-klub yang tadi kusebutkan ada klub bahasa dan debat—mereka biasanya takkan jadi sasaran asal menutup mulut mereka. Di atas lagi adalah klub komputer dan fotografi—mereka seringnya aman karena beberapa anggotanya adalah kaki tangan para tukang bully.

Lalu ada tempatku bernaung: klub majalah sekolah. Kami juga memegang mading. Intinya semua publikasi cetak. Kasta kami hanya satu tingkat di bawah klub penyiaran. Selain fakta, kami juga menampilkan gosip dan berita bohong—seringnya berita bohong. Kami bisa menaikkan derajat seseorang dan menghancurkan hidup yang lain dalam semalam. Selama kami tidak mengganggu nama baik para perundung, tidak ada pula yang berani mengganggu kami.

Saat bergabung, aku hanya berniat mencari ketenangan hidup. Aku bisa saja bergabung ke klub olahrga atau pencinta alam. Aku tidak pernah bermasalah dengan pekerjaan fisik. Namun, kurasa suasana dalam klub-klub itu tidak bagus untuk tujuan "ketenangan hidup" yang kucari. Aku mungkin akan berakhir jadi tukang bully karena tekanan lingkungan, atau nilai-nilaiku jadi anjlok karena terlalu fokus dengan kegiatan luar. Klub majalah sekolah bukan pilihan terbaik, tetapi pilihan paling aman.

Aku akhirnya lepas dari ayahku yang tengik dan ibuku yang tukang selingkuh, aku menolak jadi korban lagi di sini. Orang tuaku yang tidak waras mengirimku ke sini setelah suatu malam mendapat telepon dari polisi setempat bahwa anak mereka mengutil di supermarket. Ayahku sedang mabuk saat itu dan cuma berucap, "Rowan siapa?" Sedangkan ibuku tak membuang waktunya dan langsung mengurus kepindahanku ke sekolah asrama ini.

Klub majalah sekolah memberiku ketenangan hidup yang kucari-cari pada bulan pertama. Tidak banyak yang kami kerjakan dan semua anggotanya ramah padaku. Kemudian, Ezra, anak kelas 11 dan satu-satunya senior di klub ini mengangkat dirinya sendiri jadi ketua dan tiba-tiba memutuskan bahwa klub kami sudah terlalu lama menganggur. Dia memaksa kami bangkit dari kubur dan mulai menyuruh-nyuruhku seenak dahinya.

Dengan jengkel, aku beranjak ke kelas sebelah dan mewawancarai beberapa anak yang berada di TKP. Satu kali mendengar saja, aku tahu mereka melebih-lebihkan cerita. Mereka barangkali tak benar-benar ada di sana saat itu, hanya mengaku-ngaku saja. Hanya dua anak yang sejauh ini bisa kupercaya karena cerita mereka cocok.

Saat ke ruang kesehatan untuk menemui Darwin, aku dicegat perawat sekolah. Darwin baru bisa tidur, ujarnya, setelah 24 jam belakangan mengigau tentang hantu yang menggelayuti punggungnya dan mencoba mencungkil matanya. Namun, perawat sekolah itu kelihatannya riang sekali—barangkali Darwin pernah melakukan sesuatu padanya. Kalau perawat ini menaruh sesuatu di minuman Darwin yang membuat anak itu mencret dan bisulan, aku takkan terkejut.

Akhirnya aku memutuskan untuk menemui Naya. Kelas 10-4. Sebetulnya jam sekolah sudah lewat lama sekali, tetapi aku berharap di masih ada di kelasnya. Aku tidak mungkin masuk asrama cewek.

Aku berdiri di depan pintu kelas 10-4 dan tidak memercayai keberuntunganku—dia masih di sana, sendirian, di bangku paling ujung dekat jendela nomor dua dari belakang. Aku yakin itu dia karena aku belum pernah melihat wajahnya di sekolah ini, padahal aku mengenal semua anak kelas 10.

Gadis itu punya rambut lurus panjang melewati garis bahu, poni panjang pada sisi-sisi telinganya ditarik dan diikat ke belakang. Matanya cokelat terang dan tampak sendu, atau mungkin ini efek cahaya matahari sore yang mengenainya dari jendela. Sulit dipercaya dia membuat Darwin yang itu kehilangan kendali terhadap kandung kemihnya. Gadis ini tidak terlihat kuat atau dihinggapi hantu sama sekali—atau setidaknya, aku berharap bakal ada banyak setan-setan melayang di sekitarnya.

Dia terlihat salah tempat—pembawaannya anggun dan sikap duduknya mengingatkanku pada putri-putri bangsawan abad pertengahan. Dia lebih cocok mengenakan gaun sutra dan bunga-bunga di rambutnya daripada seragam sekolah asrama kami yang minta ampun jeleknya. Tangannya memegangi sebuah buku catatan berwarna kelabu ....

"Buku catatan terkutuk!" Aku berdengap. Naya mengangkat wajahnya dan memergokiku, jadi aku langsung masuk dan menghampirinya. "Itu buku catatan terkutuk! Kau duduk di kursi Karin—anak yang hilang sekitar awal tahun ini. Sejak itu, semua anak yang duduk di kursi ini bertingkah aneh dan mati pada hari ke-30 terhitung setelah mereka menduduki kursinya."

Naya berdecak. "Sekarang aku tahu kenapa cuma kursi ini yang kosong."

"Tidak ada yang mencoba memperingatkanmu tentang kursi ini?"

Gadis itu mengangkat bahunya. "Tidak ada yang mau bicara denganku."

Aku menatapnya bersimpati. "Hari pertama memang selalu berat. Tapi, nanti—"

"Tidak." Gadis itu menepis ucapanku dengan tangannya. "Tidak apa-apa. Aku lebih suka begini. Teman sekamarku anak baik, jadi aku tidak butuh teman lagi. Aku lebih suka punya satu atau dua teman saja yang tidak merepotkan daripada banyak teman tapi semuanya Darwin."

Aku sependapat. Kutarik kursi di depannya dan duduk. "Jadi, kau membuka buku itu?"

"Ya." Gadis itu membalik-balikkan halamannya dengan malas. "Memang buku terkutuk. Banyak sekali rumus fisika di dalamnya."

"Karin suka fisika," ujarku. "Dari riset kecil yang kulakukan dua bulan lalu, gadis itu hilang sesaat setelah menemui guru fisika yang mengajar kelasnya kala itu. Jadi, guru fisika itulah yang dituduh sebagai tersangka—dia dipecat dan dikirim ke penjara, sampai sekarang. Tapi,"—kucondongkan tubuhku dengan suara dipelankan—"berdasarkan penelusuranku, banyak hal-hal ganjil dalam tuduhan itu. Si guru fisika yang dijadikan tersangka sedang bekerja lembur menilai tugas semua anak kelas 10 sampai tengah malam, lalu pulang ke asrama guru dengan petugas sekuriti sebagai saksinya. Karin, menurut kesaksian teman sekamarnya, sudah hilang sejak sore. Dalam rentang waktu itu, mustahil si guru fisika melakukan sesuatu padanya. Aku tahu soalnya aku pernah terpaksa membantu salah satu guru menilai lembar ujian siswa, dan pekerjaan itu memakan waktu dan tenaga."

Naya menelengkan kepalanya seolah baru menyadari sesuatu. "Dan siapakah kau ini, Tuan Detektif?"

Aku mengulurkan tangan. "Rowan Lonyn. Kelas 10-1. Aku bukan Darwin, jadi kau boleh menganggapku teman."

Dia menjabat tanganku. Tangannya kecil dan lembut, membuatku teringat pada adik tiriku. Aku jadi kangen padanya—meski hubungan darah kami cuma setengah, dia anggota keluargaku yang paling waras dan manis. Terakhir kami bertemu, saat ibuku membawaku ke rumah selingkuhannya.

"Naya Airell," balas gadis itu. Lalu, dia kembali membuka buku catatan terkutuk. "Kalau sekarang kita berteman, Rowan Lonyn, aku akan butuh bantuanmu."

Kusambar kesempatan emas ini. "Mari kita melakukan pertukaran."

Dia mengernyit. "Semacam pertukaran nyawa?"

"Tidak seekstrem itu." Kucondongkan lagi badanku ke arahnya dengan kedua tangan bertumpu ke mejanya. "Aku akan bantu kau, apa pun itu, selama 24 jam ini. Kau bisa suruh aku melakukan apa pun. Sebagai gantinya, kau harus menjawab sejujur-jujurnya dan selengkapnya 24 macam pertanyaan yang kupunya untukmu, untuk kupublikasikan di majalah sekolah. Artikel apa pun yang kukeluarkan nanti, entah itu berdampak buruk atau baik bagimu, kau harus menerimanya."

"Kita baru berteman selama satu menit, dan kau sudah memanfaatkanku." Dia luar dugaan, gadis itu tersenyum miring. "Boleh. Kuterima tawaran itu."

Dia membuka buku catatan terkutuk dan memperlihatkan skema aneh tak masuk akal yang digambar pada dua halaman terakhirnya. Kuamati gambaran itu lekat-lekat sampai masuk akal—itu denah, dan tampaknya terletak di pedalaman hutan pulau Circian karena ada gambaran air terjun dan tebing-tebing di sekitarnya. Ada simbol-simbol fase bulan pada satu sisi halaman, bulan sabit awal dilingkari dengan spidol merah celemotan.

"Air terjun ini yang biasanya didatangi anak-anak klub pencinta alam. Aku pernah ke sana untuk meliput kegiatan mereka."

Mata Naya berbinar. "Bagus—jadi aku meminta orang yang tepat. Antar aku ke sana malam ini."

"Malam ini?!" protesku. "Tempat ini tidak bisa dicapai semudah itu. Kami bahkan butuh dua kali berkemah sebelum bisa sampai di sana. Aku bolos seminggu penuh saat ke sana."

"Aku akan bantu kau, apa pun itu, selama 24 jam ini." Dia menirukan ucapanku. "Kau bisa suruh aku melakukan—"

"Oke, oke." Aku mendengkus. "Malam ini, tapi kuperingatkan. Akan sulit mencapainya cuma dalam semalam."

Naya terpaku sebentar. Kepalanya ditelengkan ke satu sisi, alisnya mengernyit. Gadis itu kemudian mengangguk. "Oh, betul juga. Makasih, kau sangat berguna."

"Apa?"

"Oh, aku tidak sedang bicara denganmu," ujarnya. Jarinya menuding ke sisi bahunya. "Aku tadi bicara dengan Illa."

Aku terkekeh. "Illa—seperti siswi yang kabarnya dibunuh Lisa dan masih tidak diketemukan mayatnya sampai sekarang?" Kudapati ekspresi wajahnya tidak berubah, membuat tawaku lenyap. "Kau bercanda."

Naya menyibak sejumput rambutnya ke belakang bahu. "Setelah kasak-kusuk tentangku di lobi sekolah dan caramu membahas buku terkutuk, kukira ini takkan membuatmu terkejut."

"Sejujurnya, aku bukan orang yang percaya hantu atau takhayul semacam itu," akuku. "Bahkan kalau pun hantu itu ada, kurasa mereka takkan bisa melakukan apa pun terhadap orang hidup. Mereka ada atau tidak, tak ada bedanya."

"Illa sakit hati mendengarmu."

Aku tak mengacuhkan ucapannya. "Lagi pula, aku melakukan penelusuran tentang buku terkutuk karena itu memang pekerjaanku. Aku percaya atau tidak, tak ada hubungannya. Semua orang di sekolah ini senang membaca cerita picisan yang membuat mereka tak bisa tidur di malam hari. Aku bisa saja menuliskan berita bahwa besok dunia kiamat tanpa memercayainya sedikit pun—selama mereka membaca dan menyukainya."

"Prinsip yang bagus." Naya tersenyum. "Kalau begitu, malam ini, pukul 11, kita ketemu di belakang asrama cowok. Illa punya jalan pintas agar kita tak perlu dua kali berkemah—aku benci berkemah."

"Kenapa harus selarut itu?" tanyaku keberatan. "Lagi pula, bagaimana kau bisa menyelinap keluar dari pengawasan penjaga asramamu? Aku tidak punya masalah menyelinap karena penjaga asrama cowok bisa disogok pakai rokok, tapi penjaga asrama kalian itu Bu Dhia yang lebih mirip penjaga pintu neraka daripada penjaga asrama cewek. Dan perlu kuingatkan, andai kau belum melihatnya, aku ini cowok. Sepasang cewek dan cowok keluar asrama tengah malam—kalau ada yang memergoki kita, ketenangan hidupku bisa hancur."

"Aku akan urus semua itu. Jangan rewel." Dia berdiri dan menyandang tasnya, kemudian mengedipkan sebelah matanya padaku. "Jangan telat untuk kencan pertama kita, Rowan."

***

Sesuai perjanjian, aku datang pukul 11 tepat ke belakang asramaku. Naya sudah di sana dengan pakaian kasual biasa dan jaket tebal serta topi rajut merah muda.

"Sebelum kita ke air terjun itu," ujarku sambil melirik cangkul di tangan gadis itu, entah didapatnya dari mana. "Bisa kau beri tahu aku kenapa kita harus ke sana?"

"Untuk menggali makamnya Karin."

"Oh." Aku mengangguk, kemudian menegakkan punggung. "Apa?!"

"Aku tadi sempat tidur dan mendapat mimpi menyebalkan," ujar Naya. "Cewek itu—si Karin—mendatangiku dalam mimpi dan mencoba menakut-nakutiku, menekanku agar menemukan tubuhnya yang dikubur dekat pohon paling besar di sekitar air terjun itu. Jadi, kubilang padanya, Iya, iya, tak perlu kau suruh aku memang berniat menggali badanmu jadi tidak usah bawel. Dia pergi sambil memberengut."

Aku menganga sebentar. "Kau tidak takut?"

"Apa yang mesti kutakutkan?" Tangannya menekan sebelah pipinya dengan kepala terteleng. "Aku cewek rapuh yang sedang berduaan dengan cowok yang besarnya hampir dua kali lipat badanku di tengah malam—kurasa itu jauh lebih menakutkan daripada Karin."

Aku menggertakkan rahang. "Kau yang suruh aku ke sini."

Naya memeluk tubuhnya sendiri dan menundukkan kepala, selayaknya cewek rapuh tak berdaya yang ketakutan, tetapi aku bisa melihat kuluman senyum usil yang mati-matian disembunyikannya. Dia menyerahkan cangkul di tangannya ke tanganku.

"Soalnya selama 24 jam kau adalah babuku." Gadis itu menarik kerah jaketku dan berjalan lebih dulu ke arah hutan. Dilihat dari mana pun, kelihatannya aku seperti hewan peliharaan dengan tali kekang dan ujung tali itu ada di tangannya. "Kau boleh mengajukan beberapa pertanyaan sekarang, tapi pertanyaan ke-20 sampai terakhir cuma akan kujawab saat masa kerjamu sebagai babu hampir habis."

Jadi, sambil membawa cangkul di satu tangan dan alat perekam suara di tangan lain, aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan dasar yang umum sampai yang bersifat pribadi—tempat dan tanggal lahirnya, sekolah lamanya, penyebab dia dikirim kemari, sejak kapan dia bisa melihat hantu, apa saja yang bisa dia lakukan pada makhluk-makhluk gaib itu, dan sebagainya.

Tanpa kusadari, kami sudah tiba di dekat air terjun itu.

"Apa—" Aku tergagap. "Tapi ini bahkan belum tengah malam! Bagaimana bisa—"

Udara berdenyar di sisi Naya, membentuk sesosok gadis dengan rambut panjang menjuntai dan darah pekat merembes dari mulutnya. Pekikanku lenyap di pangkal tenggorokan. Aku melompat ke belakang, punggung membntur pohon, dan hampir kehilangan kendali terhadap kandung kemihku sendiri.

"Terima kasih, Illa." Naya mengusap puncak kepala si gadis hantu dengan sayang. "Kau sangat membantu."

Aku terduduk ke semak-semak. "Hantu sungguhan ...."

Naya memutar bola matanya. "Illa baru saja membuat kita memotong jarak dan waktu. Di dimensi mereka, ruang-waktu tidak berfungsi seperti di dunia kita. Sekarang, buat dirimu berguna, Rowan." Dia mengeluarkan buku catatan terkutuk dari dalam ranselnya dan melemparkannya ke pangkuanku. "Kau kenal area ini lebih baik daripada aku atau Illa. Kau telaah denah itu dan temukan lokasi mayatnya Karin. Cewek menjengkelkan itu mulai menggangguku."

Aku membuka halaman terakhir buku tersebut dengan jari tangan yang masih terasa kebas dan gemetaran. "Mengganggumu?"

"Dia berbisik-bisik ke telingaku sejak tadi—mengancam bakal membunuhku dan sebagainya."

Aku berdiri dan mencoba untuk tidak melihat Illa di sampingnya. "Dia tidak bisa sungguhan melakukan itu, 'kan?"

"Bisa," jawab Naya enteng. "Kau pikir, kenapa anak-anak yang duduk di bangkunya mati setelah hari ke-30? Karin meneror mereka. Perlu kuakui, Karin punya bakat. Bahkan aku yang sudah terbiasa dan tidak pernah takut lagi pada hantu, merasa tidak nyaman waktu tadi dia muncul di cermin toilet asrama sebelum aku menyelinap keluar."

"Kalau begitu, bukankah bakal berbahaya kita menggali keluar jasadnya sekarang?" tanyaku. Aku mulai berjalan mendekati suara riak air, mengarah ke hilir sungai tempat air terjun bermuara. "Bagaimana kalau jasadnya yang membusuk tiba-tiba bangun dan menyerang kita? Kenapa tidak kita tunggu sampai besok pagi? Aku bisa memberi tahu guru dan meminta mereka memanggil polisi. Biarkan mereka menggali keluar jasad cewek itu agar dia bisa dikebumikan dengan layak."

"Tidak. Dia tidak layak mendapatkan itu."

Entah apa maksudnya. Namun, aku melakukan tugasku saja. Aku mengecekk tiap pohon, bebukitan, semak-semak tajam, dan pola jalan sampai ke hilir sungai. Suara air terjun menenangkan saraf-sarafku, tetapi aku tegang lagi begitu melirik Illa yang terus mengekori kami. Gadis hantu itu kelihatannya sudah jadi pengikut setia Naya atau semacamnya.

Aku menggali sampai dua kali dan tak menemukan apa-apa. Naya tidak mau membantu karena, katanya, cangkulnya cuma satu. Aku bilang, kami bisa saja gantian. Namun, gadis itu mulai mengoceh lagi tentang cewek rapuh tidak berdaya yang dipaksa bekerja oleh cowok besar yang mencoba memanfaatkannya. Padahal menurutku, akulah yang sedang dimanfaatkan olehnya. 24 pertanyaan jadi terasa tidak layak untuk ini.

Pada penggalianku yang ketiga, kami menemukan gadis itu.

Aku menutup hidungku dan buru-buru melompat mundur. Meski terbungkus kain, baunya hampir membuat bulu hidungku gosong. Namun, Naya malah melangkah maju dengan secarik kain yang entah sejak kapan sudah terikat di wajahnya, menutupi hidung dan mulutnya.

"Naya, hati-hati—"

"Hei." Aku sama sekali tak mempersiapkan diriku untuk hal macam ini—gadis itu menendang mayat Karin yang masih terbungkus kain. "Keluar kau."

Kabut hijau serupa gas beracun membumbung keluar dari jasadnya, membentuk sesosok gadis muda cantik dengan rambut bergelombang. Berbeda dengan Illa yang susah kulihat wajahnya, hantu Karin begitu mirip manusia hidup, tetapi entah bagaimana membuatku jauh lebih takut.

"Kau menggali jasadku," ujar si hantu dengan senyum licik di bibirnya. "Sebagai ucapan terima kasih, aku akan—"

"Aku tidak mau." Naya menukas. "Apa pun yang kau tawarkan, aku menolak. Aku tidak akan membebaskan hantumu atau memberi jasadmu pemakaman layak karena kau tidak pantas untuk itu."

"Apa?" tanyaku. "Apa aku melewatkan sesuatu?"

"Gadis ini," ujar Naya seraya menunjuk Karin dengan ibu jarinya, "berpacaran dengan senior kelas 12, mantan anggota klub pencinta alam. Lalu dia menggoda guru fisikanya sendiri. Dia hamil dan menggugurkan kandungannya di sini, membuang oroknya di sungai, lalu meminta pertanggungjawaban pada kedua cowoknya karena dia tidak tahu yang mana ayahnya."

Wajah Karin berubah gelap. "Keduanya tidak mau bertanggung jawab."

"Jadi, kau mengancam si senior kau bakal bunuh diri dengan melompat dari tebing air terjun itu," ujar Naya. "Tapi, ancaman kosongmu itu keterusan dan kau mati sungguhan. Dia menguburmu di sini karena takut dituduh."

"Dan aku akan mengutuk hidup kalian berdua." Hantu Karin membesar dua kali lipat, rambutnya beriak, wajahnya menyala kebiruan temaram. Aku terduduk saat hantunya menerjang ke arahku, tetapi dia berhenti sesenti dari wajahku.

Kami menoleh ke arah Naya, yang mengikatkan secarik kain putih ke leher benyek jasad Karin. Kain putih itu penuh simbol-simbol dan aksara yang tidak kupahami. Apa pun itu, Naya membelenggu hantu Karin dengannya.

Hantu Illa terkekeh-kekeh bangga di sisi Naya. Aku sendiri merasakan getaran aneh di jantungku, melihat gadis itu berdiri tanpa rasa takut, memegangi tubuh orang mati.

"Kau—" Hantu Karin berdengap. "Apa yang kau lakukan!"

"Mengikat ruhmu. Soalnya," kata Naya seraya menginjak punggung jasad Karin, "mulai hari ini sampai hari kiamat nanti, kau adalah babuku."

:.:.:

"Bones, sinking like stones, 

All that we fought for, 

Homes, places we've grown, 

All of us are done for."

Don't Panic, song by Clairity
Originally by Coldplay

Doakan saya masih hidup sampai 13 hari ke depan ( /'-')/

Next >>> 16 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro