15 Juni 2023

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 15 || 3844 words ||

| Masuk ke website https://www.coolgenerator.com/cartoon-character-generator. Isi quantity dengan 5. Pilih salah satu karakter untuk menjadi tokoh utama cerita kalian. Tidak boleh refresh |

| Twisted Fairy Tale, Fantasy |
|| Cinder Ella ||

Umurku 13 tahun saat buku dongeng itu jatuh dari langit, menimpa kepalaku, dan membuatku pingsan sampai senja. Matahari nyaris hilang di ufuk barat ketika aku bangun. Buku itu masih menggeletak di sampingku.

"Cinderella." Kubaca judulnya. Kubuka halaman pertamanya, lalu mulai larut ke dalam kisahnya.

"Ella!" panggil salah satu saudari tiriku. "Apa yang kau lakukan, di hutan seperti ini sampai larut malam? Bicara pada hewan-hewan lagi? Ayahmu mencari-carimu!"

Kutinggalkan buku itu di sana dan menyusul Anastasia pulang ke rumah. Di tengah hutan, buku itu mungkin akan hilang besok, dibawa pergi hewan-hewan. Sekarang pun ia telah dikerubungi beberapa ekor tupai yang penasaran. Aku juga penasaran. Potret wajah gadis dalam buku cerita itu agak mirip denganku meski umurnya sudah 19 tahun di sana. Awal kehidupan kami juga cukup mirip. Kami sama-sama kehilangan ibu kami di usia kanak-kanak dan ayah kami menikah lagi dengan perempuan yang memiliki dua putri.

Namun, sampai sana aja kemiripan kami.

Cinderella yang malang kehilangan ayahnya entah pada usia berapa, lalu ibu tirinya mulai jahat padanya. Ayahku untungnya masih hidup, dan ibu tiriku tidak terlalu buruk. Dua saudari tiriku kadang menyebalkan, tetapi masih tertahankan.

Setidaknya sampai usiaku menginjak angka 16 dan ayahku lenyap ....

Ibu tiriku mulai menampakkan belangnya. Dia biarkan kedua putrinya memperlakukanku bak pesuruh, lalu mulai mengambil alih rumah. Kamarku dipindah ke loteng dekat cerobong asap yang penuh debu, arang, dan sarang laba-laba. Kusadari kisahku betul-betul sama dengan gadis malang dalam buku itu ketika mereka mulai mengejek penampilanku yang kotor tiap saat dan mulai memanggilku si gadis arang, Cinderella.

***

Tidak apa-apa. Kubisiki diriku yang letih tiap malam sebelum tidur. Jika aku memang gadis malang itu, kemalanganku akan berakhir saat Pangeran Charming datang menjemputku. Aku akan punya ibu peri. Sepatu kaca dan gaun-gaun indah itu akan jadi milikku. Takkan ada lagi pekerjaan berat yang harus kuselesaikan. Takkan ada lagi makan sisa hampir basi di piringku. Takkan ada lagi yang meneriaki dan mencecarku siang-malam. Aku hanya harus bersabar sampai umurku 19.

"Jika kau sudah tahu jalan ceritanya, kenapa mesti menunggu sampai bertahun-tahun?" cericit Jaq, salah satu kawan pengeratku. "Mengapa tidak mengubah nasibmu sekarang?"

"Apa yang bisa kulakukan?" tanyaku pada si tikus. "Aku hanya perempuan muda yang tidak punya apa-apa. Aku hanya bisa menunggu."

"Tapi kau bisa melakukan hampir segala hal!" Gus menimpali. "Masaklah sesuatu dan yakinkan seseorang untuk mempekerjakanmu di restonya. Jahitlah baju-baju bekas itu untuk membuat gaun-gaun baru, kau bisa menjualnya ke kota. Menyanyilah di alun-alun saat semua orang berkumpul untuk jalan-jalan sore, kau pasti bisa menghasilkan uang dari sana."

Aku mengerut di atas tempat tidurku. "Jika begitu, Pangeran Charming mungkin takkan menjemputku. Aku hanya harus menunggu."

Maka aku menunggu. Sampai usiaku 19 dan pesuruh kerajaan muncul di depan pintu kami, membawakan undangan pesta dansa. Segalanya berjalan sesuai yang ada di buku—Lady Tremaine tak membiarkanku pergi ke istana dan memberikan sederet tugas tak manusiawi malam itu. Aku ingat jelas di buku itu, Anastasia akan menghancurkan gaun buatanku dan Drizella akan memutuskan kalung manik-manik di leherku, maka aku tak repot-repot memperlihatkan pakaian pestaku pada mereka.

Sepanjang malam, aku menunggu kedatangan Ibu Peri. Aku mulai gugup saat makhluk magis itu tak kunjung muncul. Padahal sebentar lagi tengah malam. Lantaran kalut, aku mulai menangis sesenggukan—mungkin penantianku sia-sia. Mungkin nasibku tak seberuntung Cinderella dalam buku. Mungkin ini memang kisah yang berbeda.

Lalu, di sanalah dirinya; sang Ibu Peri, turun dari langit-langit loteng, tersandung salah satu sanggaan atap yang lepas dan ujung gaunnya tersangkut di tingkap jendela.

"Oh, kau datang!" sorakku bahagia.

"Ya, aku harus menjawab tangisan gadis baik hati nan malang, bukan? Tunggu, kenapa kedengarannya, kau seperti sudah tahu aku akan datang?"

Kuabaikan pertanyaannya dan segera mengambil gaun lusuhku dari dalam lemari. "Lekas—waktunya tidak banyak! Aku harus ke pesta sebelum acara dansanya dimulai. Oh, labu—mana labu mentah yang tadi sudah kusiapkan ... ah, ini dia!"

Sang Ibu Peri tercenung. "Kau sungguh ... penuh persiapan."

Ibu Peri mengayun tongkatnya, membenahi penampilan fisikku, menata rambutku, menyediakan sepasang sepatu kaca, menyihir kereta dari labu, dan mengubah kawan-kawan tikusku menjadi sepasang kuda.

"Bagaimana dengan gaunku?"

"Gaunmu baik-baik saja," ucap Ibu Peri, ikut kebingungan. "Tidak ada yang perlu diperbaiki. Itu gaun yang indah."

Kuganti tumpuan kakiku dengan gelisah. Gaun buatanku memang layak pakai, tetapi tidak cukup spektakuler untuk menarik perhatian sang pangeran seperti dalam buku.

Aku telah melakukan kesalahan. Alasan sang Ibu Peri memperbaiki gaunku yang sederhana menjadi lebih bersinar adalah karena gaun itu hancur di tangan kedua saudari tiriku. Maka, aku berlari ke dapur sambil mengenakan gaun itu, membakar ujungnya di tungku masak, dan memotong pitanya dengan pisau. Aku kembali ke loteng dengan gaunku yang sudah kacau.

Bahu Ibu Peri merosot. "Kau memasak ubi atau dirimu sendiri di dapur, hah?"

"A-aku memang ceroboh. Maaf."

Satu ayunan tongkat dan gaunku jadi memukau, persis seperti dalam buku itu. Ibu Peri mengayun tongkat sihirnya dua kali lagi karena tatanan rambutku lepas dan sepatuku menginjak sisa tomat di lantai dapur.

"Ingat, Sayang, kau punya waktu sampai—"

"Tengah malam, 'kan? Baiklah!" Mengabaikan Ibu Peri yang masih terpana, aku pergi menuju istana.

***

Ini persis seperti dalam buku. Pangeran Charming sungguh charming. Pemuda itu punya senyum percaya diri dan sepasang mata indah yang langsung terpaut padaku begitu aku memasuki ruang pesta.

Kami berdansa dengan diiringi musik dan dipandangi ratusan pasang mata yang iri. Ibu tiriku yang terjepit kerumunan dengki itu menatapku sambil memeyotkan bibirnya, Anastasia menggigiti sapu tangannya, dan Drizella menghentak-hentakkan kaki seperti anak 5 tahun.

Kami baru berdansa beberapa menit saat tengah malam tiba. Ini pasti gara-gara keterlambatan Ibu Peri karena dia merasa baru bisa datang setelah aku tersedu-sedu. Aku juga memakan banyak waktu dengan merusak gaunku sendiri.

"A-aku harus pergi!"

Tergesa-gesa, aku berlari keluar dari ruang dansa, dengan sang pangeran mengejar di belakangku. Kusingsing rok gaunku—beruntunglah aku punya pengalaman tiga tahun bersih-bersih rumah dan suruhan tak masuk akal ibu tiriku untuk mencari herba di hutan, aku berlari bagai kuda dan meloncati tiga anak tangga sekaligus. Aku hampir tersandung dan sepintas teringat bahwa, di dalam buku, aku bakal meninggalkan sebelah sepatuku. Jadi, aku lebih berhati-hati sampai ke depan kereta—

Tunggu—aku memang semestinya meninggalkan sepatuku untuk petunjuk! Sepatu kaca tertinggal itu justru akan jadi satu-satunya penghubung antara aku dan Pangeran Charming. Bagaimana bisa aku melupakan yang satu itu!

Aku sudah berada di anak tangga terbawah. Sudah terlambat untuk kembali. Jadi, kulepaskan sepatu kacaku dan kulempar ke atas begitu saja.

Sepatu kaca itu mengenai Pangeran Charming di muka, menewaskannya seketika.

Tapi bohong. Dia cuma pingsan.

Aku sudah memastikannya setelah terburu-buru dan dengan panik berbalik kembali ke atas. Saat kuperiksa, denyut nadinya masih ada. Hanya memar pada bagian bawah matanya dan sedikit jejak tanah beralur alas sepatu menjiplak di jidatnya. Kepala sampingnya benjol sedikit karena menghantam anak tangga. Sepatu kacaku pecah karena menghantam anak tangga.

Akibat keteledoran ini, waktuku makin banyak berkurang. Para pengawal istana berhamburan keluar untuk mengejar sang pangeran, gaun indahku sudah berganti jadi pakaian yang gosong dan robek-robek, keretaku kembali berwujud labu mentah, dan kawanan tikusku sudah berlarian entah ke mana.

Mendapati sang pangeran terkapar dengan memar di wajah, para pengawal segera berpencar untuk mencariku. Semua gerbang ditutup. Aku terjebak.

Aku berputar ke tangga lain, menyusup kembali ke dalam istana yang pintunya belum dijaga. Untuk beberapa saat aku berputar-putar tanpa arah, tak tahu harus ke mana dan tak mengerti kenapa tempat ini luasnya seperti satu kota.

Kutemukan suatu pintu dengan tangga batu di dalamnya. Kunaiki tangga itu, terus ke puncak, diterangi cahaya obor yang makin lama makin jarang. Di puncaknya, tampak sebuah pintu kayu yang dipalangi. Kuangkat palang itu susah payah, membuka pintu tersebut, lalu masuk tanpa pikir panjang.

Di dalamnya adalah sebuah ruang kamar yang seharusnya mewah, tetapi tampak tak teruru. Tirainya gelap dan barangkali tak pernah dicuci. Karpetnya kotor dan kasar. Kursi-kursinya tampak tua dan mejanya dipenuhi setumpuk buku. Pencahayaan yang begitu temaram nyaris membuatku tak menyadari seseorang yang duduk di tepi ranjang besar berkelambu tipis.

"Halo?" ujar pemuda itu. Wajahnya mirip sekali dengan Pangeran Charming, tetapi tambutnya sedikit lebih pendek dan pirang, tubuhnya mungkin sedikit lebih tinggi, tetapi posturnya saat berdiri tidak setegap Pangeran Charming meski mereka sama-sama memiliki bahu lebar dan perawakan kekar yang serupa. Suaranya pun lebih lembut dan ringan saat berujar lagi, "Siapa di sana?"

Saat itulah aku menyadari matanya buta. Pangeran Charming memiliki sepasang bola mata cokelat yang fokus menatapku saat kami berdansa, tetapi pemuda ini seolah kebingungan di mana aku berada meski aku berdiri tepat di hadapannya di seberang ruangan. Disorot secercah cahaya lilin di atas nakas di sampingnya, bola matanya cokelat terang, nyaring kuning keemasan.

"Maaf," lirihku gemetar. "S-saya tersesat. Saya mencoba pulang, tetapi ... partner dansa saya—anu, d-dia tak sadarkan diri, jadi seisi istana mengejar saya."

Pemuda itu mengernyit sesaat, lalu terkekeh ringan. "Maksudmu, kau membuat partner dansamu pingsan? Seorang duke atau count? Jadi para pengawalnya mengejarmu?"

"Eh, semacam itulah."

"Duduklah." Masih tertawa, dia melambai ke tengah ruangan, di mana kursi-kursi berada. "Tunggulah di sini sampai keadaan lebih tenang."

"T-terima kasih."

Sementara pemuda itu berjalan pelan ke meja panjang di sudut ruangan, aku duduk di kursinya sambil membenahi robekan di gaunku seadanya. Kudengar kelontang gelas piala dan gesekan tutup ceret. Ketika aku berdiri secara refleks, pemuda itu menghentikanku dengan lambaian tangannya. "Tidak apa-apa, duduk saja. Meski tak bisa melihat, aku sudah terbiasa dengan seisi ruangan ini."

Namun, aku tetap berjalan ke arahnya dan membantunya menuang minuman.

"Pestanya masih berlangsung?" tanya pemuda itu, yang kedengarannya penuh harap.

"Ya," jawabku. "Anda tidak turun untuk menghadirinya?"

Lalu, aku menyesali celetukan pertanyaan bodoh itu.

"Meski aku bisa, Yang Mulia akan kena serangan jantung kalau aku datang," ujarnya sambil tertawa ringan, seolah-olah itu lucu. "Dia tak ingin seorang pun tahu anak tertuanya buta."

Gelas piala meluncur dari tanganku ke meja dan cipratan airnya membasahi bagian depan gaunku.

"Hah?" Aku ternganga. "Anda—"

"Cheston, mantan calon putra mahkota, kakak dari Pangeran Charming yang barangkali masih berdansa di bawah sana saat ini." Sang pangeran menghadapku, membungkuk memperkenalkan diri dengan satu tangan tertangkup di dada. Tangannya kemudian terulur meminta tanganku. "Dan dengan siapakah aku bicara saat ini?"

"Ci—m-maksud saya Ella. Saya Ella. Eleanor Tremaine."—Lalu terlintas di benakku, mungkin tak seharusnya kusebutkan nama lengkapku, kalau-kalau dia akan mengirim para pengawal juga mengejarku besok pagi.

"Putri Marcus Tremaine?"—Duh, tuh, 'kan—"Betul, 'kan? Di mana ayahmu sekarang?"

Aku mengerjap bingung. "Yang Mulai Pangeran ... ayah saya sudah meninggal. Tidakkah Anda mengetahuinya?"

"Meninggal?" ulangnya terkejut. Kemudian, duka menghiasi wajahnya. "Ah, tentu saja. Karenanya dia tidak pernah datang lagi. Maafkan aku karena tak mengetahuinya. Dan maafkan aku karena menyinggungnya kembali. Aku turut berduka."

Berbagai pertanyaan memenuhi kepalaku, yang seketika kumuntahkan begitu saja. "Pangeran, berapa lama Anda terkurung di sini? Apakah Anda tahu, Yang Mulia tidak pernah sekalipun menyinggung tentang Anda? Seisi kerajaan hanya tahu bahwa Pangeran Charming adalah satu-satunya pewaris tahta. Orang-orang mengira anak pertama Yang Mulia Raja sudah meninggal sebelum lahir karena keguguran Ratu 23 tahun lalu. Apakah Anda selama ini disembunyikan di sini? Dan, apakah maksud Anda tadi, ayah saya pernah mengunjungi Anda?"

"Seumur hidupku aku terkurung di sini, kecuali saat aku bisa menyelinap dengan bantuan beberapa ajudan dan pengawal yang setia padaku," jawabnya sembari meraba lantai untuk meraih kembali gelas piala yang kujatuhkan. Buru-buru kuambil lap di atas meja untuk membersihkan air yang kutumpahkan. "Ya, aku tahu seisi kerajaan mengira aku sudah mati. Nama 'Charming' awalnya akan diberikan padaku. Tapi saat Yang Mulia diberi tahu bahwa putranya buta, beliau meminta agar aku disembunyikan. Aku dinamai Cheston. Adikku yang lahir dua tahun kemudian dinamai Charming. Baginya, nama itu pasti lebih pantas untuk adikku ketimbang anak pertamanya yang buta."

"Tidak. Anda jauh lebih charming daripada Pangeran Charming," kataku sungguh-sungguh.

Pangeran Cheston tertawa renyah lagi. Dia kembali menuangkan minuman ke gelas piala baru untukku. "Tentang ayahmu, aku menemuinya saat salah satu ajudan membantuku menyusup ke kota. Aku juga butuh keluar dari sini, kau tahu? Aku butuh membangun koneksi sebelum adikku mendapat hasutan dari pendukungnya untuk melenyapkanku. Aku harus belajar bertahan hidup sendiri karena para pelayan kadang lupa aku hidup di sini. Jadi, aku pergi keluar. Aku bertemu ayahmu dan belajar berdagang darinya. Kugunakan anggaranku untuk mendirikan serikat dagang sendiri dengan para ajudanku sebagai perantara. Jika bukan ayahmu yang datang kemari, akulah yang mendatanginya. Sayangnya, sudah beberapa tahun belakangan ayahmu tidak datang, para ajudanku pun kesulitan menemuiku karena tampaknya Yang Mulia menyadari aku keluar diam-diam. Bertahun-tahun ini, para pelayan suruhan ayahku yang membawaku keluar sesekali untuk menghirup udara segar meski jarang. Di bawah pengawasan mereka, aku tidak bisa bebas untuk berhubungan dengan para ajudanku, atau belajar berkuda dan berpedang lagi."

"B-berkuda?" tanyaku seraya mengekorinya duduk ke kursi di tengah ruangan.

"Ya. Mulanya aku memang nyaris mati—berkuda cukup sulit meski kau punya penglihatan normal. Tapi aku berusaha. Berlatih dua kali lebih keras. Belajar berkuda dan berpedang juga berguna untuk mempertajam fokus dan kesigapanku. Meski tidak bisa melihat, aku bisa meraba dan merasakan apa yang terjadi di sekitarku—" Tangannya terulur sedikit, meraih selimut tipis di lengan kursi, dan meletakkannya ke pangkuanku. "Sejak tadi aku bisa mendengarmu kedinginan."

"Gaun saya agak kacau karena ... lari-larian." Aku menunduk malu seraya menarik selimut itu ke sekujur badanku.

Pangeran Cheston dan aku lantas bertukar cerita semalaman. Aku bercerita tentang gaun-gaun yang kubuat, perhiasan murahan yang kujalin dari manik-manik peninggalan ibuku, juga tentang tikus-tikus yang menjadi sahabatku—Pangeran Cheston mendengarkan dengan penuh ketertarikan. Dia ramah, lembut, sabar—nyaris berkebalikan dari adiknya yang tampak percaya diri, kuat, dan senang gerak cepat.

Satu jam sebelum matahari terbit, Pangeran Cheston membantuku menyelinap keluar lewat halaman belakang istana. Dia punya jalur rahasia yang senang dipakainya untuk kabur diam-diam.

"Yang Mulia Pangeran," kataku seraya mencopot sepatu kacaku yang tinggal sebelah dan memberikannya. "Berikanlah sebelah sepatu ini ke adik Anda—bernegosiasilah dengannya menggunakan sepatu ini sebagai alat tukarnya. Minta dia agar menghubungkan Anda kembali dengan ajudan Anda. Pergilah dari istana ini. Hiduplah menjelajah dunia luar sana, bebas seperti ayah saya."

Aku menarik napas berat. Aku siap menerima hukuman mati atas permak muka putra mahkota. Tak ada gunanya bersembunyi. Sebelah sepatuku yang pecah pasti masih ada pada Pangeran Charming. Para ajudan istana pasti akan menyusun kembali pecahannya sebagai barang bukti. Mereka akan tetap datang dari rumah ke rumah untuk mencari pemilik sepatu ini untuk alasan yang berbeda dari buku: untuk mencari tersangka penyerangan wajah pangeran.

Setidaknya, jika Pangeran Cheston memberikan sepatu ini pada Pangeran Charming, dia mungkin punya kesempatan bebas dari sini. Aku bersimpati padanya, karena kami sama-sama tak bebas.

Tidak apa-apa. Aku siap mati. Hidupku tak lagi berarti jika harus pulang ke ibu tiriku, tanpa harapan menikahi Pangeran Charming.

"Ella," ujar Pangeran Cheston seraya menunduk hormat padaku, "untuk kebaikan hatimu, aku berterima kasih. Aku menikmati malam yang kuhabiskan mengobrol denganmu—sedikit sekali orang di kerajaan ini yang seperti dirimu, yang tak memperdulikan standar keelokan."

"Standar keelokan?"

"Kau tetap memanggilku 'pangeran' meski mataku buta. Kebanyakan orang tak repot-repot memperlakukanku sebagai keluarga kerajaan karena kekurangan yang kumiliki. Kau pun dengan sangat murah hati memujiku, meski aku yakin adikku lebih memenuhi standar keelokan kerajaan ini. Aku tak bisa melihat wajahmu, akan tetapi aku bisa mendengar dan merasakan kecantikanmu."

***

Sesuai dugaanku, para ajudan istana datang ke rumah kami suatu hari, membawa sebuah sepatu kaca ... yang anehnya retak-retak. Kelihatannya ini adalah sepatu kaca yang satu lagi—yang pecah di anak tangga, dan mereka menyusunnya kembali.

Apakah Pangeran Cheston tidak memberikan sebelah sepatu yang masih utuh itu pada Pangeran Charming?

Yah, tidak ada bedanya. Mereka tetap di sini untuk menangkapku. Ibu tiriku bahkan tak repot-repot menyembunyikanku saat mengetahui bahwa tujuan pengepasan sepatu ini adalah untuk mencari terdakwa hukuman mati.

Namun, saat aku dan kedua saudari tiriku dibariskan untuk mencoba sepatu itu, Pangeran Charming muncul menggebrak pintu depan, dengan wajah yang masih agak bengkak dan kepala diperban, diiringi beberapa pengawal yang berusaha mengejarnya.

"Berani-beraninya kalian, tanpa sepengetahuanku—" Pangeran Charming masuk dengan oleng. Tangannya melimbai para pengawalnya. "Pemilik sepatu kaca ini akan kujadikan ratuku! Takkan kubiarkan dia dihukum mati!"

"P-pangeran," gagap ajudannya yang masih memegangi sepatu kaca. "Ini perintah Yang Mulia Raja—"

"Ayahanda akan mengerti setelah aku mengajaknya bicara nanti!" tukas Pangeran Charming. "Mana bisa aku membiarkan ratuku dieksekusi!"

Anastasia berdengap dramatis seraya menyisir rambutnya dengan jari. Drizella melompat-lompat girang dan menyela antrean untuk mengenakan sepatu. Lady Tremaine segera saja berusaha mendorongku, tetapi aku tak membiarkannya. Harapanku untuk hidup sudah kembali!

"Tidak muat," sang ajudan meringis seraya memaksa sepatu itu terpasang ke kaki Drizella yang besar. Kemudian, dia meringis lagi saat memaksa sepatu yang sudah setengah terpasang itu untuk lepas dari kaki saudari tiriku.

"Tidak—tunggu!" Drizella berlari ke dapur. "Tunggu sebentar!"

Namun, sang ajudan tidak menunggu. Dia segera menyuruh Anastasia maju.

Kukejar Drizella karena curiga. Benar saja—gadis itu tengah mengiris tumitnya sendiri, berusaha mengurangi ukuran kakinya agar muat di sepatu kaca.

"Jangan!" Aku berusaha merebut pisau daging dari tangannya, tetapi Drizella berkelit. "Untuk apa kau memotong kakimu sendiri demi sepatu—"

"Kau takkan mengerti!" Dengan air mata membanjiri wajahnya, gadis itu tersedu-sedu. "Gadis kurus sepertimu dan Anastasia takkan pernah mengerti! Tak peduli seberapa sedikit aku makan, berat badanku selalu naik dua kali lebih cepat dari ibuku sendiri, yang porsi makannya tiga kali lipat diriku! Tak ada pria di kerajaan ini yang mau denganku karena ukuran tubuhku, dan semua gadis memandangku rendah hanya karena aku satu-satunya yang tidak pernah menarik perhatian laki-laki—ini satu-satunya kesempatanku! Dan yang ada di sana itu sang pangeran sendiri! Hanya ini satu-satunya cara untuk menyingkirkan kaki gemuk ini!"

Drizella memotong tumitnya meski aku berusaha menghentikannya. Bersamaan dengan itu, Anastasia masuk sambil terisak-isak. Direbutnya pisau daging dari tangan Drizella.

"Anastasi—" Aku menutup mulut dengan syok saat gadis itu memotong ibu jarinya sendiri. "Kenapa—"

"Kakiku terlalu panjang untuk sepatu itu," ringisnya gemetaran. Matanya melirik kakiku dengan iri. "Bukannya aku memintamu untuk paham bagaimana rasanya jadi perempuan jangkung yang membuat para pemuda terintimidasi dan membatalkan pernikahan hanya karena tidak mau punya istri yang lebih tinggi dari mereka."

Namun, sepatu itu tetap saja tak muat di kaki mereka. Drizella dan Anastasia berusaha memotong lebih banyak bagian kaki mereka, tetapi Lady Tremaine menghentikan keduanya. Tentu saja, pada akhirnya tangisan pilu dari kedua putrinya membuat ibu tiriku ikut tersedu-sedu bersama mereka, sepenuhnya melupakan impiannya untuk bermenantu Putra Mahkota.

Tiba giliranku. Kumasukkan kakiku ke dalam sepatu itu—

Tidak muat.

Kakiku tidak bisa masuk sepenuhnya.

Apakah ... karena sepatu ini pernah pecah? Retakannya memang masih terlihat ... dan barangkali, karena susunannya tak sempurna, ukurannya jadi sedikit mengecil.

Jika aku memaksakannya sedikit, ini bisa muat, tetapi ia pasti akan pecah begitu aku berdiri di atasnya. Sang ajudan pun akan sadar kalau aku menekan kakiku keras-keras.

Kutarik kakiku kembali. Sekujur badanku gemetar. Ini kesempatanku satu-satunya untuk keluar dari rumah ini. Aku tidak ingin kehilangannya. "Tunggu sebentar."

Tanpa pikir panjang, kuraih pisau daging yang dijatuhkan Anastasia dan pergi ke dapur. Kuiris tiap sisi kakiku, lalu kembali keluar sambil terpincang-pincang untuk mencoba sepatu itu.

Muat.

Tak ada yang peduli pada darah yang berceceran. Tak ada yang menanyakan mengapa kami memotong kaki. Lagipula, rumah ini adalah rumah terakhir di kerajaan yang mereka datangi. Mereka hanya peduli sepatu ini muat pada seseorang.

Seseorang yang berkaki kecil, tidak gemuk, tidak jangkung. Standar keelokan.

"Ratuku," panggil Pangeran Charming saat aku jatuh ke pelukannya. Bukan dalam artian romantis, tetapi kakiku gemetar di dalam sepatu terkutuk ini. Pangeran Charming mengamati wajahku saksama. "Apakah ... malam itu kau mengenakan riasan wajah atau bagaimana? Penampilanmu sedikit ... berbeda."

Apakah yang kulihat di matanya itu sebuah kekecewaan?

Kutatap ibu tiriku, yang masih merengkuh kedua putrinya yang berdarah-darah. Aku ingin membalas semua perbuatannya, memberi tahu Pangeran bahwa penampilan buruk rupaku saat ini tidak lain diakibatkan semua perlakuan kejam keluargaku. Pakaianku tak layak, rambutku tak terawat, dan wajahku kusam dibandingkan dengan dua putrinya yang berkulit sehat. Namun, mendengar tangisan mereka yang menyedihkan, seluruh kebencianku lenyap.

Saat aku memotong kakiku sendiri, aku sama saja dengan mereka.

***

Kehidupanku yang bahagia berlangsung persis seperti yang ada di buku: Pangeran menikahiku, lalu tamat.

Kebahagiaanku benar-benar hanya bertahan satu halaman, dalam beberapa kalimat singkat.

Lembaran kehidupanku selanjutnya terisi oleh pengabaian saat sang Pangeran memiliki selir baru. Tak peduli seberapapun cantiknya diriku, akan selalu ada gadis baru yang membawa standar keelokan baru. Meski aku akan selalu menjadi ratunya, sang Pangeran butuh memperkuat posisinya dengan menikahi para anak gadis dari keluarga terpandang lain.

Gadis-gadis dengan kaki normal.

Tak lama setelah masuk ke istana, kakiku kian lemah. Tampaknya aku tanpa sengaja melukai otot tumitku. Hanya dalam hitungan hari, kakiku cacat permanen.

Bahkan saat kerajaan diserang, hampir runtuh, dan mengalami perang saudara, tak seorang pun ingat untuk menyelamatkanku di kamarku. Para pelayan semata membantuku bertahan hidup dengan membawakan makanan, pakaian, dan kebutuhanku lainnya, tetapi hampir tak ada yang repot-repot membawaku ke luar sana atau memberitahuku perkembangan dunia luar. Bahkan Pangeran Charming telah sepenuhnya melupakanku, atau dia sudah mati di medan perang.

Aku seperti Pangeran Cheston dahulu. Sang Pangeran sendiri saat ini entah ada di mana—dirinya telah kabur di hari yang sama saat pertemuan kami.

Saat terjadi revolusi, akhirnya salah satu pelayan membuka kunci kamarku, memberi tahu bahwa pemberontakan telah mencapai istana. Dia membantuku kabur, memapahku keluar, menyanggaku sampai kami keluar dari istana ... setidaknya hingga kami mencapai hutan. Ketika mendengar suara langkah di belakang kami dan melihat cahaya obor di kejauhan, pelayan itu akhirnya meninggalkanku.

Dengan kaki yang mati rasa, aku menyeret diri sejauh yang mampu kulakukan. Aku berhasil mencapai bukit berbatu dan masuk ke dalam celahnya yang cukup untuk menampung separuh badanku. Kututupi bagian bawah tubuhku dengan dedaunan yang gugur dan menguning.

Siang berganti malam. Malam berganti siang. Aku meringkuk di sana selama dua hari lamanya.

Saat hujan turun, kupaksa diriku merangkak keluar untuk minum. Bibirku yang pecah-pecah terasa kering.

Pandangan mataku kabur dan lenganku yang kurus tak lagi mampu menyangga bobotku. Aku jatuh di atas lumpur, lalu bergelung menunggu kematianku.

Beberapa ekor tikus kotor berdatangan, lalu mulai menggigiti bagian kakiku yang telah membusuk. Saat mata kami bertemu, tikus-tikus itu membeku. Sepertiku yang mengenali mereka, mereka pun mengenaliku.

"Jac, Gus," lirihku pada kawan-kawan lamaku, "maafkan aku melupakan kalian hari itu. Aku bahkan tidak pernah mencari kalian lagi setelah sihir kereta labu itu hilang. Gemerlap istana membutakanku. Seharusnya aku menuruti saran kalian. Seharusnya aku menolong diriku sendiri, dan menolong kalian. Seharusnya aku tidak menunggu pangeran. Maafkan aku ... kalian pasti ketakutan selama ini."

Tikus-tikus itu berdecit, lalu berlarian entah ke mana.

Kupejamkan mataku, bersiap untuk tidur selamanya, tetapi kemudian sepasang tangan yang hangat menyentuh lenganku.

"Beruntung kau pernah bercerita padaku tentang tikus-tikus itu," bisiknya. "Kalau tidak, aku pasti akan menebas tikus-tikus aneh itu yang menggigiti kain celanaku, menarikku kemari."

Suaranya masih selembut yang kuingat. Kubuka mataku dan melihat sepasang mata keemasannya yang menatap hampa karena tak mampu melihat, namun sorotnya bagai selimut yang melingkupi dan menenangkanku.

"Aku akan mengangkatmu, oke?"

Aku mengangguk, lalu berpegangan pada lengannya saat Pangeran Cheston menyelubungi tubuhku dengan jubahnya dan mengangkatku.

"Pangeran." Kudengar seseorang memanggilnya. "Istana sudah diamankan. Para buruh yang mendobrak masuk berhasil mempertahankan posisinya. Semua bangsawan yang menghuni istana telah diamankan, termasuk Yang Mulia Raja dan Ratu, tetapi adik Anda berhasil kabur."

"Dia takkan bisa kabur jauh-jauh," jawab Pangeran Cheston. Dia kembali menatapku meski matanya tak benar-benar melihatku. "Maafkan aku. Kurasa, kau akan jadi janda dalam waktu dekat."

"Tidak apa-apa," kataku serak. "Bunuh saja ... bajingan itu. Dia sering menghina gaun-gaun buatanku, berkata bahwa Ratu tidak boleh mengotori tangan untuk membuat gaun sendiri."

"Begitukah?" Pangeran Cheston tersenyum. "Aku tidak mempermasalahkan jika ratuku membuat pakaian untuknya sendiri jika itulah yang disukainya. Itu ... jika sang ratu bersedia tidak mempermasalahkan bersuami orang buta."

"Aku tidak mempermasalahkan itu. Orang buta lebih baik daripada pangeran rabun yang hanya punya mata untuk wanita lain." Kueratkan peganganku di lehernya. "Di mana sepatu kaca saya ... yang satu lagi?"

"Tentu saja aku menyimpannya." Pangeran Cheston mengecup keningku, lalu mulai berjalan membawaku dengan arahan ajudannya. "Aku sempat memberikannya pada Charming sesuai saranmu, lalu kucuri kembali. Mana bisa kubiarkan dia memiliki bagian dari dirimu lama-lama. Tentu aku harus merebutmu kembali."

DEADLINEEEEE

Next>>> 16 Juni 2023

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro