15 November 2019

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| E-Jazzy | 1085 words ||

| Short Story |

| Indigenous - Cerita Lepas |

Tema:
Pembelianbenda tanpa terencana mengakibatkan perang dunia

Mari kita lanjutkan episode 2 November silam, masih di kampung halaman Zamrud, tak lama setelah aku dan Nila menginvasi kamarnya Mpok Del—sepupu ipar Zamrud—karena kamar yang mestinya kami tempati ternyata milik almarhum kakek Zamrud.

Sore ini kami bertolak ke toko oleh-oleh, sekadar mencari barang bukti bahwa kami liburan di pulau tetangga. Aku mencukupkan diri dengan sebuah gantungan kunci bertuliskan identitas kota yang kami kunjungi. Toh, asal aku pulang dengan tubuh utuh saja sudah lebih dari cukup sebagai oleh-oleh yang bagus buat ibuku.

Abu di sisi lain terus menyasar stan camilan—kue semprong, dodol, dan aneka keripik rasa buah. Kurasa semua itu tidak akan sampai utuh-utuh ke rumahnya.

Safir di rak belakang. Sibuk mencari jilbab untuk ibunya dan sarung untuk ayahnya, dia bilang. Namun, yang dia lakukan sejak tadi cuma membandingkan harga. Bolak-balik sampai sepuluh rak, lalu pada akhirnya kembali ke rak pertama hanya untuk mendapati semua benda yang diincarnya di awal sudah diambil orang.

Sedangkan Nila malah celingukan mencari kursi untuk duduk, hendak melanjutkan bacaannya. Tampaknya dia tidak peduli dengan oleh-oleh sama sekali.

"La." Kulihat Safir menegurnya. Tangannya mendorong keranjang belanjaan Nila yang masih kosong. "Kamu nggak beli sesuatu buat orang rumah? Mungkin adikmu kepingin sesuatu."

"Sudah, kok," jawab Nila tanpa mengangkat wajah dari buku yang kupinjami. Tangannya menepuk-nepuk tas punggung yang bertengger di kakinya.

"Apa yang kamu bawakan?"

"Grey minta aku bawakan Pulau Jawanya ke rumah walau sudah kuberi pengertian tidak mungkin muat dalam ransel. Kami akhirnya berkompromi hanya secuil bagian dari pulau ini. Jadi, aku menyendoki segenggam tanah berpasir di depan rumah panggungnya Zamrud dan kusimpan dalam plastik."

Safir seperti kena serangan jantung. "Apa?! Cuma itu?!"

"Ada kerikilnya juga, kok."

Safir berkhotbah panjang lebar, mengingatkan Nila bahwa cewek itu sudah berjanji akan lebih peka terhadap sekitarnya, dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya. Barangkali karena tidak mau memperpanjang masalah, Nila melirik kotak bros pada rak di sisinya, lalu menjumput asal salah satu bros paling besar dan melemparkannya ke dalam keranjang belanja.

Omelan Safir reda sebentar, lalu pemuda itu memungut bros tersebut untuk melihat harganya. Omelannya dimulai lagi perihal betapa banyaknya bros yang jauh lebih murah dan bagus di kotak itu ketimbang yang Nila pilih.

Kadang aku bingung apakah Safir sedang mencoba berperan jadi pacar Nila atau malah ibunya.

Di belakangku, Zamrud terus mengekor.

Dia sedari tadi sibuk dengan ponselnya yang berbentuk clamshell dengan kamera beresolusi VGA keluaran terbaru tahun ini. Di antara kami semua, memang hanya Zamrud yang punya ponsel. Jadi, jika ingin menelepon orang rumah, kami pakai ponselnya.

"Kamu nggak ikut beli?" tanyaku ke Zamrud.

"Ha? Iya, iya," jawabnya tak nyambung.

Aku mengerjap, lalu menguji. "Kalau begitu, oleh-oleh kami ini kamu yang bayar semua, ya?"

"Ha? Oke," jawabnya lagi tanpa mengalihkan pandang dari layar gawai. Jelas sekali dia tidak mendengarku.

Abu yang kebetulan melintas di belakangku tak sengaja mendengar itu, lantas dia berseru, "Yes!"

Cowok itu pun meraup semua yang bisa dibawanya, lalu meluncur ke tempar Safir dan Nila untuk membawakan berita gembira itu agar dia tak tampak memanfaatkan Zamrud seorang diri.

Aku menguji lagi, "Zam, aku sama Nila nggak sengaja bikin guci di ujung kamar retak kemarin malam waktu kami bercanda."

"Wah, bagus," jawabnya sambil angguk-angguk, masih tak fokus. "Bagus banget."

"Kami lihat hantu kakekmu dua hari yang lalu."

"Kayaknya begitu."

"Nila sempat diare semalam karena perutnya nggak cocok dengan makanan di sini."

"Keren, dong."

"Aku beli oleh-oleh yang harganya dua puluh juta, ya?"

"Hm, bisa, bisa."

Holang kaya.

Kepalang sebal, aku merebut ponselnya dan memeriksa apa yang membuatnya jadi terputus dengan dunia. Ternyata pesan singkat dari orang tuanya.

"Apa ini?" tanyaku saat mendapati bahwa dia sedang berkirim pesan dengan ayah dan ibunya secara terpisah. Lalu, aku sadar sudah berbuat salah. "Eh, orang tuamu lagi bertengkar? Wah, maaf."

Zamrud, anehnya, tak marah sama sekali. Mungkin aku hanya terlalu terbiasa dengan Nila yang, jangankan kucampuri kehidupan pribadinya, kutanyai dia sudah mengerjakan PR atau belum saja tampangnya langsung berubah seolah aku mengajaknya menenggak racun tikus.

"Ibuku membeli sesuatu yang nggak disukai oleh ayahku," desah Zamrud lesu. "Dan harganya mahal banget. Ibuku berdalih dia salah perhitungan, tapi ayah tetap marah karena ibu nggak bilang-bilang dulu padanya hendak beli sesuatu. Mereka bertengkar, lalu ibuku bilang kalau ayahku juga sering menghamburkan duit buat hobinya yang tidak ada gunanya. Jadi, ibuku curhat padaku, begitu juga ayahku. Dan aku tidak bisa memihak siapa-siapa."

Aku menepuk-nepuk ubun-ubunnya dengan iba. Zamrud jarang bertemu dengan orang tuanya—setahuku, ayah dan ibunya senang pelancongan ke belahan dunia lain. Ibunya pernah jadi tour guide untuk beberapa waktu yang amat singkat, sebelum akhirnya bertemu dengan ayahnya Zamrud yang berprofesi sebagai fotografer alam. Setahun belakangan, mereka terjebak di wilayah Afrika karena, mengutip omongan Zamrud, selain hobi travelling, orang tuanya juga hobi tersesat. Untung ibuku cuma guru SMP yang bersahaja.

"Padahal mereka sedang melintasi Republik Afrika Tengah," keluhnya lagi dengan napas tersendat seperti hendak menangis. "Kamu tahu Afrika Tengah itu keadaannya bagaimana? Mereka lagi perang saudara sejak tahun lalu—padahal tanpa itu saja kriminalitas di sana sudah tinggi! Dan ayah-ibuku malah memilih sekarang untuk tak saling bicara satu sama lain!"

Aku berjengit. "Kok bisa sampai ke sana?"

"Ya, gara-gara perkara beli barang itu! Karena teralih dengan pertengkaran dan proses pembatalan pembelian, mereka malah jadi terpisah dari teman-teman sesama komunitas yang seharusnya pergi ke Cameroon! Hanya gara-gara salah beli barang, orang tuaku malah menambah perang di Afrika!"

Aku jadi makin iba. Pasti susah sekali mengurus orang tua macam itu. Untung ibuku seorang yang terencana, terutama dalam berbelanja. Harga cabai dan sekilo telur saja dipertimbangkannya seperti menteri keuangan mengurus anggaran negara.

"Bagaimana kalau ibuku diculik dan mereka minta tebusan sembako seharga miliaran?!" dengap Zamrud mulai overthinking. "Bagaimana kalau ayahku malah ikut jadi kriminal di situ?! Bagaimana kalau orang Afrika tahu kewarganegaraan orang tuaku dan jadi membawa perang kemari gara-gara mereka berdua?! Bagaimana kalau—"

"Bagaimana kalau kamu telepon mereka, dan bicara baik-baik supaya mereka jadi lebih rasional?" bujukku.

Kami meminta tolong ke Mpok Del cara menelepon lintas negara. Sementara Mpok Del mengurusi ponselnya, Zamrud dan aku teralih pada masalah besar lainnya: anggaran belanja oleh-oleh.

Tanpa sempat kami hentikan, trio kwek-kwek itu sudah di depan kasir. Pandangan mata mereka penuh harap sampai-sampai Zamrud tak sampai hati mengakui kesalahpahaman ini. Akhirnya, terpaksa Zamrud memakai uang tabungannya yang semestinya dia pakai untuk beli game konsol baru.

"Nah ...." Kutepuk-tepuk punggung Zamrud. "Setidaknya setelah ini kemarahan orang tuamu terhadap satu sama lain bakal teralihkan kepadamu yang menggelapkan uang tabungan. Mereka mesti berbaikan demi merajammu."

"Mereka akan berbaikan," gumam Zamrud lesu, "sebagai gantinya aku kena marah dan tak bisa beli game konsol?"

Aku mengangguk syahdu. "Kamu anak berbakti, Zam."

Bingung mau ngomong apa di sini ._.

Doakan saya masih hidup sampai 15 hari ke depan ( /'-')/

Next >>> 16 November 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro