18 Juni 2023

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 18 || 2554 words ||

| Tokoh cerita kalian baru saja berulang tahun yang ke-17. Tanpa ia sadari, ketika usianya menginjak 17 tahun, maka semua permintaan (hanya di hari ulang tahunnya) akan terkabul. Namun, seperti kata pepatah, "With great power comes great responsibility." |

| Teenfiction, Fantasy-comedy/Parody |
|| Kartu Wishlist ||

Ini adalah satu lagi cerita Delilah dkk. 2 Juni lalu yang berjudul "Tiket Lucid Dream"

Disclaimer:
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian/cerita, itu adalah kebetulan semata yang barangkali agak disengaja.

Aku dongok tidak tertolong. Saat mendapat hadiah misterius di hari ulang tahunku yang ke-17, berupa kartu wishlist yang dari surat ucapannya berjanji bahwa kartu itu akan mengabulkan semua permintaanku, aku bisa saja meminta uang 3 triliun atau dominasi dunia.

Palsu atau bukan, prank atau sungguhan—setidaknya, andai aku menghargai hadiah itu sedikit saja, mungkin aku akan menulis permintaan yang lebih waras. Namun, aku malah menulis permintaan-permintaan absurd, impian konyolku waktu kecil, dan khayalan-khayalan liar khas cewek puber. Mana kutahu, semua yang kuminta di kartu itu bakal terkabul keesokan harinya?!

Tebak apa yang kutulis.

1. Aku ingin masuk ke Hunger Game soalnya keren.

2. Aku ingin punya pacar mafia psikopat tampan.

3. Aku ingin melihat hantu-hantu lokal secara live dan merekamnya biar viral.

4. Aku ingin gebetan yang sudah menolakku jadi tergila-gila padaku.

5. Aku ingin mementung kepala kakak kelas yang merundungku waktu ospek.

6. Aku ingin menguasai jurus kamehameha.

7. Aku ingin pandai koprol buat ulangan praktik olahraga.

8. Aku demam panggung, semoga di tengah tugas drama nanti ada yang kesurupan dan kelasnya bubar.

9. Aku tidak mau presentasi, semoga ada invasi alien sebelum giliraan kelompokku.

10. Aku ingin makan sepuluh porsi seblak.

Lalu, wishlist itu kutempel di pintu kulkas buat lelucon. Saat melihatnya, Kak Uzaid, kakak laki-lakiku, terbahak-bahak dan dengan usil menambahkan nomor 11: Semoga Delilah jadi istri dukun profesional; soalnya dia tahu salah satu temanku yang keluarganya dukun itu naksir padaku.

Esok paginya, semuanya jadi kenyataan satu per satu.

"May the odds be ever in your favor." Dari pengeras suara terdengar ucapan seorang wanita berdandan menor dengan kostum yang semua warna dari atasan sampai bawahannya tabrakan. Di atas panggung, aku dan Idlan berdiri bersisian, dijadikan peserta Game Kelaparan yang sebentar lagi akan dikirim ke arena.

"Biar kutebak," kata Idlan seraya mengusap mukanya dengan frustrasi. "Wishlist-nya kamu pakai buat yang aneh-aneh."

"Biar kutebak," balasku, masih berusaha menahan gemetar dan keringat dingin di sekujur tubuh. "Kamu yang kirim barang aneh-aneh itu kemarin."

"Instruksinya jelas banget, Del!" Idlan meledak dalam emosinya. Kedua tangannya menekan-nekan udara seperti berusaha mendorong pemahaman sederhana ke dalam otakku. "Semua permintaan yang kamu tulis bakal terkabul! Dari segala macam permintaan di dunia, kamu minta MASUK KE HUNGER GAME?!"

"Game Kelaparan," koreksiku. "Nanti kena copyright."

Idlan menggerung jengkel. "Apa lagi yang kamu tulis di situ?"

"Jujur, aku lupa."

Idlan berteriak frustrasi sambil mengacak-acak rambutnya.

"Eh," kataku tersadar, "kenapa kamu di sini?"

Idlan berhenti berteriak. Matanya mengerling gugup ke arahku. "Aku ... juga pakai wishlist itu di hari yang sama."

Aku berdengap. "Kau juga menulis pengen masuk ke Game Kelaparan, ya! Hah! Berarti bukan cuma aku yang tolol! Kau enggak ada hak marah-marah ke aku, dong!"

"Enggak, Delilah—astaga! Cantik-cantik bolot!" Cowok itu mulai mencak-mencak lagi. "Aku ingin terlibat dalam semua permintaanmu! Aku kepingin berada di sana untuk melihat saat permohonanmu terkabul! Itulah yang kutulis! Masa begitu saja kau enggak paham?!"

Kutelengkan kepalaku. "Buat apa?"

Wajahnya jadi semerah tomat matang. "Kau serius butuh aku mengeja alasannya buatmu?"

"Kau butuh review barang? Nanti kalau terkabul semua, bakal kutulis ulasan dari keefektifan wishlist itu deh."

***

Sepanjang pertarungan berlangsung, Idlan dan aku mati-mati bersembunyi, kabur, atau berusaha jadi babu buat peserta lain sebelum berusaha kabur dan sembunyi lagi. Semua orang menyandang pedang, busur dan panah, tombak, bahkan kapak. Aku pakai gunting untuk memotong kertas karton saja tidak becus.

Namun, satu kali aku berhasil menghindari maut dengan melakukan roll depan. Tombak yang nyaris membuatku jadi Sate Delilah itu menancap ke tanah di mana sebelumnya aku berdiri.

Idlan menganga. "Bukannya kemampuan koprolmu cuma mentok jidat terus berguling ke kanan?"

"Itu salah satu permintaanku." Aku memberi tahunya. "Aku ingin pandai koprol."

"Kau menulis kemampuan lain yang lebih berguna?"

Lalu, aku teringat. "Aku bisa kamehameha."

Idlan tersaruk mundur. "Tidakkah jurus itu akan membunuhku juga?"

"Lari, atau panjat pohon." Aku melambai mengusirnya, lalu membuat kuda-kuda. Saat bola energi itu sudah terkumpul, aku berusaha melepaskannya. "Jurus Kamehame—"

"Copyright!" pekik Idlan di suatu tempat di atas pepohonan sana.

"Jurus gelombang Energi Yang Kesepian!"

Tamatlah riwayat musuh-musuh kami.

Idlan turun dari pohon dan menatapku terkagum-kagum. Ujarnya, "Dari mana kau tahu arti kata itu? Kau bukan tipe cewek yang bakal tahu sejarah nama raja Hawaii."

Kutiup sehelai poniku yang berantakan. "Aku aslinya pintar dan banyak ilmu. Saking banyaknya, otakku kayak sistem komputer—kadang not responding."

Idlan mengusap daun dari atas rambutnya. "Oke ... sekarang apa? Kita menang, 'kan?"

"Enggak tahu," kataku tegang. "Bagaimana kelanjutan film Game Kelaparan itu? Aku enggak nonton sampai selesai. Aku takut lihat mereka bunuh-bunuhan."

"Yah ... ini bakal spoiler. Dua peserta yang pura-pura pacaran demi menarik simpati penonton itu akhirnya memang menang, tapi mereka sempat berusaha bunuh diri pakai buah beracun supaya aturannya diubah untuk memenangkan dua peserta alih-alih satu."

Kami menemukan buah beracun itu di seberang danau. Lalu, diumumkan sebagai pemenang bahkan sebelum kami memetiknya. Pesawat ringan menjemput dan membawa kami. Segalanya lancar dan damai, sampai pesawat itu bergetar, lalu jatuh.

"Permintaan macam apa lagi ini?!" Idlan menjerit saat kami harus terjun darurat menggunakan parasut.

Kami mendarat dengan parasut di atas tanah lapang yang masih dikepung belantara. Ada lahan pekuburan yang dibatasi pagar kayu di satu sisi. Langit sudah gelap, dan tampaknya tak ada seorang pun kru pesawat yang selamat.

Kemudian, terdengar suara kikikan perempuan yang bergema, seolah dia tertawa langsung ke mikrofon dan speaker-nya tersebar di sepenjuru hutan yang mengepung kami.

Segera saja aku melompat dan memeluk Idlan di pinggang.

"Delilah!" Idlan mengangkat kedua tangannya seperti takut menyentuhku. "Jangan terburu-buru, Delilah! Kita harus bertahap! Lagipula, aku bukan cowok macam itu! Tapi, kalau kau memaksa—"

"Hantu!" Aku menunjuk seorang wanita tak berkaki yang menatap kami di dekat pagar lahan pemakaman. "KUNTI—"

Idlan buru-buru membekap mulutku. "Jangan. Kau bakal membuatnya tambah senang untuk mengganggu."

Mendengar itu, aku jadi makin histeris. Kakiku melonjak-lonjak, mulutku yang dibekap melantunkan beragam nada rengekan dan tangisan, air mataku berlinangan di tangan Idlan.

"Hadap sana." Idlan memutar badanku. "Alihkan pandanganmu ke tempat yang tidak ada setannya."

Namun, saat kami berbalik, mendadak kami sudah dikepung berbagai macam makhluk halus. Mulai dari yang bugil sampai yang terbungkus satu badan. Yang cekikikan sampai yang menangis sepertiku. Yang sendirian, berpasangan, sampai bawa-bawa anak. Yang utuh, yang bolong, yang botak, yang gondrong, yang cebol, yang sedang, yang tinggi besar—semua ada.

Aku terisak-isak dan mengeratkan pegangan ke pinggang Idlan.

"Jangan menangis. Sudah, sudah. Tidak apa-apa." Idlan menepuk-nepuk bahuku menenangkan. Dua tahun kami saling kenal, baru kali ini aku menyukuri fakta bahwa dia anak dukun. "Delilah, coba kau ingat-ingat permintaanmu. Kalau kita tuntaskan, mereka akan hilang."

Sambil masih menangis dengan jelek, aku terbata-bata menjawab, "P-permintaan ketigaku. Aku ingin melihat hantu-hantu lokal secara live dan merekamnya biar viral."

"Ngapain kau minta yang begitu kalau takut?"

"Aku pingin viral!"

Idlan mengeluarkan ponselnya yang entah bagaimana selamat meski telah melalui jurus kamehameha dan terjun darurat. Dia mengarahkan tanganku, membantuku merekam setan-setan yang mendadak berbaris dan berpose.

Lalu, mereka hilang saat hantu wanita yang terakhir mengedipkan sebelah matanya ke kamera sambil berkata, "Like dan share, ya!"

Aku menyedot ingus dan menyeka bagian bawah hidungku dengan punggung tangan, merasa lega sekaligus ngeri karena baru tahu hantu juga gila view. Lalu, seseorang mengulurkan selembar tisu padaku. Tanpa pikir panjang, aku mengambilnya dan berterima kasih, sampai kusadari itu bukan Idlan.

"Jangan menangis, Sayang," kata seorang pemuda tampan yang mengenakan setelan serba hitam. Di balik jas hitamnya, aku bisa melihat sepucuk pistol di saku kanan dan bungkus bening berisi pil haram di saku kiri. Aku mendongak dan melihat kekasih mafiaku sedang tersenyum manis padaku. "Kumohon, jangan menangis. Hanya aku yang boleh membuatmu menangis."

Aku menjerit saat si mafia merenggutku dari Idlan, lalu menjejalkanku ke jok belakang mobilnya yang entah muncul dari mana. Idlan berusaha mengejarku, tetapi pacarku—yang bahkan tak kuketahui namanya—mendorongnya sampai menabrak pagar kuburan.

"Permintaan apa lagi—"

"Pacar mafia psikopat!" rengekku sambil menggedor-gedor kaca mobil. "Idlan, tolong!"

Idlan memasang ekspresi wajah terluka saat menatapku. "Waktu kutanya tipe cowokmu, kau bilang mau cowok saleh yang rajin ke tempat ibadah!"

Pacarku masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudikan mobil menjauhi hutan. Namun, Idlan tidak menyerah. Cowok itu melompat dan menangkap bumper mobil, lalu bergelantungan di sana sepanjang jalan.

Aku menyelipkan badanku ke depan, lalu menotol bahu pacarku. "Sayang, aku pinjam pistol, dong."

Pacarku melirik spion. "Tentu, sayangku. Kau mau menyingkirkan bajingan itu, ya?"

"Iya." Kuutak-atik pistol itu, lalu bertanya bagaimana cara menembaknya. Setelah dia mengajariku, aku menembak pahanya, menyebabkan mobil oleng saat si mafia banting setir sampai menabrak trotoar. Sebelum turun dari mobilnya, aku mengeluarkan semua pelurunya dari magasin, lalu mengembalikan pistolnya. "Makasih, Sayang. Kita putus."

Sayang sekali, padahal dia bisa jadi pacar yang baik andai dia bukan mafia dan tidak psikopat.

"Sayang!" jerit seseorang, yang kukira adalah si mafia. Namun, saat aku menoleh, orang yang baru muncul ini adalah kakak kelasku yang diam-diam kutembak (tidak harfiah kok) bulan lalu.

"Oke." Idlan tersengal-sengal, muncul dari bagian belakang mobil. "Sekarang apa?"

"Delilah sayang," rintih kakak kelas yang sempat jadi gebetanku. Dia membawa sebuket bunga dan sekotak cokelat. "Aku bodoh menolakmu waktu itu. Aku menyesal. Ternyata aku cinta kamu! Ayo ke pelaminan!"

Idlan mengerutkan mukanya sedemikian rupa saat mengenali wajah gebetanku. "Bukankah dia ini kakak kelas yang dulu kau benci setengah mati karena merundungmu waktu ospek?"

Aku menyengir, setengah meringis. "Cinta sama benci kadang beda-beda tipis."

Kuambil sekotak cokelat di tangan si kakak kelas, lalu mementung kepalanya dengan itu. Dengan begini, permintaan 4 dan 5 terkabul sekaligus.

***

Kukira hidupku akan damai karena aku betul-betul lupa sisa permintaanku. Wishlist-nya juga sudah dibuang oleh ibuku. Menurut Idlan, tidak masalah meski ada yang mencoret-coret wishlist tersebut karena permintaan yang terkabul hanya permintaan yang ditulis dalam kurun waktu 24 jam setelah permintaan pertama ditulis.

Namun, meski ia sudah lenyap, permintaan yang kulupakan masih saja terkabul.

Aku baru teringat permintaan nomor delapan saat kelompok drama yang pertama sudah naik panggung di depan kelas.

"Idlan!" pekikku ketua kelasku seraya memegangi teman sekelompoknya yang mendadak jadi reog. "Panggil Idlan! Ada yang kesurupan!"

"Grawong! Aing Meong!"

Idlan sedang bersiap-siap di kelas sebelah yang kosong karena dia kelompok selanjutnya yang akan menampilkan tugas drama. Dalam kostum cowok saleh berpeci dan bersarung kotak-kotaknya, Idlan tersaruk-saruk masuk.

Guru kesenian kami menenangkan yang lain dan menjanjikan kelas bubar setelah ini karena semua orang syok. Ujarnya, kami boleh langsung istirahat atau menuju kelas berikutnya. Aku pun jadi teringat permintaan nomor kesembilan.

Setelah menenangkan teman kami yang kerasukan, Idlan segera berderap ke arahku.

"Iya, gara-gara permintaanku," kuakui sebelum dia bahkan mengucapkan sesuatu. Kugigit bibirku yang gemetar. "Maaf. Aku betul-betul tidak menyangka bakal begini."

"Walau pun kamu menyangka hadiahku cuma prank, tapi bisa-bisanya kamu membuat permohonan teman kita kerasukan!" Idlan kedengarannya kecewa sungguhan. "Walau enggak terkabul sekali pun, kok kau tega bikin permintaan seperti itu?"

"Pikiranku pendek." Kututup wajahku. Sekujur badanku gemetaran lagi seolah kami sekali lagi di lempar ke arena Game Kelaparan. "S-selanjutnya, aku harus ... mengungsikan seisi sekolah."

Idlan memucat. "Apa permintaanmu yang selanjutnya?"

"Invasi alien supaya tugas presentasi batal."

Idlan doyong ke samping. Satu tangannya berpegangan ke dinding, tangan lain mempertahankan sarungnya agar tidak melorot.

"Delilah ...."

"Aku tahu ..." isakku. "Aku mengacau. Lebih kacau daripada insiden Tiket Lucid Dream. Tapi, Idlan ... bagaimana ini? Aku tidak tahu harus melakukan apa ...."

"Tidak—sudahlah. Aku juga salah." Idlan menarik tangan yang menutupi wajahku, berusaha mengusap air mataku. "Tidak seharusnya aku kasih kamu barang aneh-aneh, padahal kamu sudah tegaskan berkali-kali kamu awam tentang profesi keluargaku. Aku juga egois. Aku kira aku bakal kelihatan keren di matamu. Maaf."

Aku menempelkan wajahku ke dada bajunya dan memeluk pinggangnya erat-erat. Idlan semula membatu akibat tindakanku, tetapi akhirnya dia hanya mengusap bahuku, berusaha menenangkanku.

Sejujurnya aku hanya tidak mau dia melihat wajahku yang jelek dan beringus.

***

Krisis berhasil ditanggulangi ketika Idlan menelepon ayahnya. Kami kenal omel untuk sesaat, tetapi pada akhirnya pria itu bersedia membantu kami. Jadi, Idlan dan aku bolos jam pelajaran selanjutnya demi mengadang alien di halaman belakang sekolah.

"Para alien itu bersedia mundur asalkan kita memenuhi beberapa syarat," beri tahu ayahnya Idlan. Dia mendengarkan lagi lewat device penerjemahnya, yang mampu menerjemahkan tulisan maupun lisan dari dan ke ratusan bahasa asing maupun bahasa gaib. "Mereka ingin segelas kopi pahit, 20 bungkus kacang asin, 13 butir telur ayam, dan 10 mangkuk seblak. Lalu, mereka ingin mengundang kita sebagai perwakilan bumi makan bersama mereka sebagai tanda damai."

Idlan berdecak sambil menggaruk kepalanya. "Aku baru tahu alien tuntutannya mirip arwah kuno yang biasanya merasuki orang—kecuali permintaan terakhir itu."

"Mereka tampaknya sudah menyadap berbagai tayangan bumi lewat satelit selama beberapa tahun belakangan untuk riset. Mereka penasaran dengan budaya kita yang mereka lihat dari iklan dan acara mukbang seblak."

Idlan dan aku berkeliling dari kantin sekolah sampai ke pasar dan rumah makan terdekat. Kami pun makan bersama para alien itu, yang wujudnya tidak jauh berbeda dari yang biasa kulihat di film-film—kepala gepeng, mata hitam besar, kulit reptil, jari-jari tangan panjang lancip, dan tubuh kurus mirip belalang.

Meski hampir mati dan sambil muntah ke bawah meja diam-diam, aku memaksakan diri makan sepuluh mangkuk seblak demi kedamaian dunia dan permintaan terakhirku dalam wishlist. Setelah kami mengantar para alien pergi meninggalkan bumi, ayahnya Idlan mesti mengantarku ke rumah sakit karena aku nyaris tewas pasca mukbang.

***

"Ini seharusnya mengajarkan sesuatu pada kalian," omel ayahnya Idlan lagi saat beliau mengemudikan mobilnya untuk mengantarku pulang. Matanya sesekali melirik spion, menatap garang padaku dan Idlan. "Barang-barang antik yang menyimpan kekuatan itu tidak untuk dipakai sembarangan. Ada alasannya Dukun Corporation menerapkan regulasi ketat tiap menjual barang. Kekuatan besar datang dengan tanggung jawab yang besar pula."

Idlan menggerutu, "Kata pria yang membiarkan Delilah memborong Tiket Lucid Dream beberapa waktu yang lalu."

Ayahnya Idlan tergagap. "Aku butuh uang untuk beli tiket konser Main Dingin saat itu."

"Maafkan saya," kataku lirih. "Seperti kata Idlan, walau kartu wishlist itu mungkin bohongan, tidak seharusnya saya bikin permintaan dongok macam itu."

Ayahnya Idlan mengangguk-angguk. "Setidaknya kau tidak lari dari tanggung jawab, Nak. Aksimu mati-matian memakan seblak itu luar biasa. Tanpa kau, harus aku atau Idlan yang memakannya, padahal kami sekeluarga tidak tahan pedas. Perlu kuakui, kau juga memberi pengaruh baik ke anakku. Dia bahkan menemanimu bertanggung jawab sampai akhir. Aku ingat saat dulu dia suka menggunakan barang-barang antik sembarangan lalu cuma bisa kabur, sembunyi di balik pintu, menangis sendirian saat tumbuh ekor di pantatnya—"

"AYAH!" raung Idlan.

"Terima kasih sudah menemaniku bertanggung jawab atas kekonyolanku sendiri," kataku seraya menepuk-nepuk tangan Idlan dengan lemah. "Nanti aku bakal tanggung jawab juga, deh, karena menyeretmu terus dalam tingkah bodohku."

Idlan bersedekap dan membuang muka ke samping. Suaranya begitu pelan saat menggerutu, "Kau boleh bertanggung jawab nanti waktu kita sudah dewasa ...."

Ayahnya Idlan mengernyit ke kaca spion. "Bukan begitu cara melamar anak perempuan, Nak. Nanti Ayah ajari kau bagaimana Ayah dulu melamar ibumu dengan cincin batu akik—"

"ENGGAK USAH!" Idlan meraung lagi. Wajahnya merah sampai ke leher kali ini. Mau tak mau aku tertawa.

Toh, apa yang Idlan rasakan sekarang ini cuma taksir-taksiran anak remaja, tidak serius, seperti aku yang kelihatannya cinta mati pada idola atau mafia fiksi, tetapi rasa itu berubah semudah musim berganti. Apa yang dia harapkan dariku saat ini suatu hari akan jadi sesuatu yang dia tertawakan saat dia tua nanti—seperti harapan-harapan konyolku di wishlist itu. Saat pikirannya lebih sehat, dia akan sadar betapa dongoknya menginginkan cewek baperan pembuat onar sepertiku sebagai istrinya. Makanya, rasanya mustahil kami sungguhan menikah saat dewasa nanti. Dia mustahil melamarku.

Namun, di antara kelegaanku sekarang, aku merasakan sesuatu yang mengganjal. Seolah ada yang terlupakan lagi olehku. Yah, mungkin hanya perasaanku. Mungkin yang mengganjal ini hanya bibit ambeien akibat 10 mangkuk seblak.

Kalau bisa dapat kartu wishlist dari toko bapaknya Idlan, kalian mau apa? :D

Next>>> 19 Juni 2023

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro