19 Februari 2024

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 19 | E-Jazzy ||

Tema: Buatlah tokoh cerita hari ke-3 kalian bertemu dengan tokoh cerita hari ke-15!

LARISSA
(pembunuh berantai di warung kopi)
vs
TULISA
(alien yang diadopsi keluarga alien)

|| 995 Words ||

|| Slice of Life ||

"Tante!" raung Tulisa seraya menghempaskan pantat gelas kopinya ke meja. "Segelas lagi, Tante!"

"Ini sudah gelas keenam." Larissa mengamati enam gelas kopi yang berjajar di antara mereka. "Dan dari tadi kau minta tambah tapi tidak ada satu gelas pun yang kau habiskan. Sudahlah, pulang sana!"

Tulisa menangis nelangsa sambil mencengkram poni depannya, siku tertumpu di meja. "Saya kembung, Tante."

Larissa meletakkan gelas ketujuh latte pesanan Tulisa. "Ya sudah, nih, biar khatam nyawamu sekalian."

"Hidupku sulit, Tante."

"Aku enggak nanya, lho."

"Aku ternyata bukan anak kandung Papa dan Mama," lanjut Tulisa terisak-isak. "Kemarin mereka memberitahuku rahasia keluarga yang mengejutkan—aku sudah siap-siap mental karena sadar selama ini wajahku beda sendiri, kukira mereka mau bilang aku ini diadopsi. Ternyata bukan itu."

Larissa menghantamkan serbet pada tumpahan kopi di meja. "Jadi, mana yang benar?! Kau ini anak tiri atau bukan!"

"Aku anak tiri!" Tangisan Tulisa membesar. Suaranya berayun-ayun macam mesin sepeda motor yang digas maju-mundur. "Tapi yang mereka sampaikan bukan itu! Mereka membocorkan rahasia keluarga ke aku. Terus malamnya, gebetanku datang bareng orang tua asliku! Barulah kami sadar aku memang bukan anak kandung Papa dan Mama! Gebetanku merebut tahtaku sebagai anak bungsunya Papa dan Mama! Gebetanku juga sekarang sudah jadi adiknya Malcolm! Padahal Malcolm itu abang kesayanganku—karena abangku cuma dia! Tapi sekarang aku sudah enggak punya abang lagi!"

"Aku tidak paham sama sekali." Larissa menggeleng-geleng. "Tapi kedengarannya, lebih sulit hidupku. Karena hidupku bakal berakhir 15 jam lagi."

"Kalau mau berakhir, berarti enggak sulit, dong, Tante. Berarti tinggal tunggu jatahnya habis."

"Kurang ajar."

Tulisa mengelap hidungnya dengan punggung tangan. "Tante alien, bukan?"

"Itu pertanyaan menjebak?"

"Serius, nanya. Tante alien?"

"Bukanlah!"

"Berarti masih lebih sulit hidupku!"

Larissa memejamkan matanya letih sementara si anak SMA kembali meraung-raung di atas meja macam janda kehilangan suami.

"Sudah larut." Larissa bergegas ke depan dan membalikkan tanda buka menjadi tutup saat pelanggan terakhirnya pergi. "Pulang sana."

"Tante, hidupku sulit—"

"Tadi kau sudah cerita—"

"—aku enggak bisa bayar ...." Air mata Tulisa berlinangan lagi. "Gimana, dong, Tante?! Duit jajanku sudah habis buat foya-foya di gerobak pentol dan penjual kerak telor seberang jalan. Aku enggak bisa bayar kopinya ...."

Hidung Larissa kembang-kempis. Tanganya memelintir serbet kuat-kuat. "Kau beruntung kopi kutukanku sudah kuminum sendiri! Kalau tidak, targetku selanjutnya pasti kau!"

Tulisa berusaha meredam tangisan meski masih sesenggukan. "Apa, tuh, Tante? Tante bikin kopi sianida?"

"Bukan. Kopi kutukan khas warung ini. Tiap pelanggan yang meminum gelas kopi ke-13 yang kusajikan di warung ini pasti mati keesokan harinya." Larissa kembali ke balik meja dan melemparkan serbetnya ke antara gelas-gelas. "Kalau aku masih hidup besok, datang lagi ya. Soalnya mau kuminumkan ke kamu."

"Itu kedengarannya informasi top secret. Kok diceritakan ke aku?"

"Sudah kubilang, 'kan, aku tidak sengaja meminum sendiri kopi dari gelas ke-13 hari ini? Toh, aku bakal mati besok. Tidak ada bedanya kau tahu atau tidak."

"Ya sudah. Kalau begitu, Tante, aku alien."

"Wow," kata Larissa tanpa mengubah ekspresi datar di wajahnya. "Dari planet mana? Bekasi?"

"Dari Galaksi Andromeda." Tulisa menyampaikan dengan suara yang lebih tenang kali ini. "Awalnya, keluarga tiriku bilang kami dari Galaksi Magellan—bukan Magelang, bukan selat di Chile juga, tapi Galaksi Magellan yang banyak debu kosmik itu. Nah, begitu keluarga asliku datang dibawa oleh Montez—gebetanku sekaligus anak kandung Papa dan Mama—keluarga baruku juga memberi tahu bahwa kami pun alien dari Galaksi Andromeda. Agak upgrade sih, levelnya. Soalnya, keluarga asliku—termasuk aku—lahirnya dari bintang, bukan dari debu kosmik kayak keluarga lamaku. Tapi ... tetap saja ...."—Bibir Tulisa bergetar dan air matanya menggenang lagi—"Aku mau pulang ke Papa dan Mama yang lama ... dan Malcolm juga. Harusnya aku bersyukur saja meski lahir dari lubang telinga."

Larissa menggaruk-garuk pelipisnya bingung. "Ya kalau begitu, syukuri lagi saja. Setidaknya kau tidak kena senjata makan tuan dan menunggu ajal esok hari—seperti aku."

Kemudian, seseorang memasuki warung kopi itu. Saat menoleh, Tulisa melihat Malcolm di sana. "Tul. Ayo, pulang."

"Kau bukan kakakku lagi," debas Tulisa sengit. "Sana! Urus saja Dedek Montez-mu itu!"

Malcolm memasang ekspresi seperti hendak muntah, lalu menghampiri Tulisa dan Larissa. "Aku benci anak itu."

"Kenapa?" Tulisa mengernyit, lalu menyodorkan gelas kopi di tangannya. "Habisin, dong, Bang."

Malcolm meneguk isi gelas itu sampai habis, lalu berujar, "Aku tidak peduli kau dari bangsa kami atau bukan, Tulisa. Kau tetap adikku. Aku tidak suka Montez. Dia tidak menangis saat kuganggu, tidak memberiku makanan sisanya, dan kerjaannya cuma memamerkan kisah kesehariannya dengan pacarnya. Bocah tidak tahu diri! Dia harusnya sadar dia baru saja bikin kau patah hati—tapi malah mengocehkan pacarnya di depan mukaku!"

Larissa mendengkus. "Bisa kuinterupsi momen kakak-adik tiri kalian yang manis ini sebentar? Aku butuh seseorang membayar tujuh gelas kopi ini. Adikmu sudah menghabiskan uangnya buat kerak pentol—"

"Kerak telor," ralat Tulisa. "Sama pentol."

Malcolm mengeluarkan dompetnya dan membayar, membuat Larissa akhirnya tersenyum lagi.

"Tante, 'kan, bakal mati besok," kata Tulisa heran, "duitnya enggak bakal guna."

"Aku bakal berwasiat supaya uangku dikubur bersamaku."

Malcolm mengerutkan wajahnya seraya menatap adik tirinya dan di penjaga warung kopi bolak-balik. "Sebetulnya, kau ini ngapain di sini?"

"Adu nasib."

"Aku yang menang," beri tahu Larissa. "Aku meminum gelas kopi terkutukku sendiri dan akan mati besok."

"Aku yang menang, dong, Tante. Aku alien adopsi."

Larissa menggeleng-geleng, lalu menatap Malcolm. "Kau biasa saja mendengar ucapanku barusan? Tentang kopi di warung terkutuk dan aku yang bakal mati besok."

Malcolm merentangkan kedua tangannya dan mengedikkan bahunya. "Aku alien yang lahir dari lubang telinga ibuku, buyutku dari debu kosmik, dan adik tiriku berasal dari bintang di Andromeda. Kopi terkutuk kedengarannya oke saja."

"Tuh," kata Tulisa bangga. "Nasibku lebih absurd, 'kan? Aku yang menang."

"Kutunggu sepuluh menit lagi. Habiskan kopi-kopi ini." Malcolm menunjuk gelas-gelas di meja dan adiknya. "Habis itu, kuantar pulang ke rumahmu."

Tulisa mengangguk, lalu melambaikan tangannya saat Malcolm berjalan ke luar warung, memberi waktu pada kedua gadis itu untuk hang out pertama sekaligus terakhir mereka.

Tulisa kemudian menenggak kopi di gelas yang masih dipeganginya. Larissa ikut meraih gelas lain yang kopinya masih bersisa setengah, lalu menghabiskannya. Keduanya move on ke gelas selanjutnya dan menyulangi beban hidup masing-masing.

What on Bekasi is happening here? '-')/

Next>>> 20 Februari 2024

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro